Minggu, 20 November 2011

Cerpen

Sang Eksekutor
Oleh: M Taufan Musonip

Aku mencurigai apa yang telah sesungguhnya terjadi di dunia ini, Brigitta. Tidak terjadi sebagaimana adanya kukira, dan tiba-tiba aku hanya harus percaya pada merdu suara dawaimu. Apakah mungkin aku harus mencinta Tuhan melalui dirimu, kasih. Dia seperti menjelma dalam jemari halusmu dalam dawai, dalam merdu lagumu itu.
Tapi ketika kenyataan lewat di kepalaku, aku harus bertanggung jawab pada peristiwa. Aku harus membunuh senja, menikam pagi yang melingkupi tubuh kita. Melumuri keindahan dengan darah. Sebab, kasihku, kau tahu aku adalah sang eksekutor, ditengah perebutan orang-orang memperjuangkan kedamaian. Dan dengan darah kupersembahkan dawai yang melekat di bahumu itu. Di dadaku suara dawaimu bersatu dalam kegelisahan: Dawaimu menyayat-nyayat keberadaanku, kau menciptakan purnama, aku membunuhnya. Kau memberiku pilihan, dan aku bertanggung jawab pada peristiwa, kupilih jalan penuh darah sambil terus menghidupkan bayang-bayang kerinduan terhadapmu.
Matahari meringkuk di pembaringan, bulan berendam di permandian. Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh malam, kita adalah yang membuat semua peristiwa menjelma waktu.
Di jalan ada sebuah mobil menjemputku, dawaimu terus melengking di jauhan, terekam dalam sukma pendengaranku. Mata indahmu terus mengambang di jalanan, terbias oleh kabut malam yang merenda setiap liku jalan.
***

Minggu, 13 November 2011

Esai

Kreatifitas Angkatan Muda dalam Memaknai Kembali Persatuan Indonesia*
Oleh M Taufan Musonip

Angkatan muda dalam sejarah perjuangan Indonesia selalu menjadi faktor utama gerakan perubahan. Lahirnya peristiwa-peristiwa dunia diserapnya secara cepat sebagai pengetahuan yang membuatnya berdaya, ternyata melalui sebuah perkumpulan lah, peristiwa yang telah menjadi ilmu pengetahuan itu direduksi ke dalam sebuah simbol. Simbol itu merupakan pemicu lahirnya semangat kaum muda dalam melakukan perubahan-perubahan.
Gagasan Pemuda pada 1928 yang keluar dalam statement Sumpah Pemuda merupakan hasil perenungan terhadap simbolisasi kata “pencerahan” yang merupakan dampak dari lahirnya peristiwa politik balas budi oleh pemerintah kolonial Belanda. Maka simbolisasi itu menjadi inspirasi bagi segenap angkatan muda dalam tiap perkumpulannya. Meski pada awalnya hanya berkembang pada kalangan priyayi semata.
Bagaimana ikrar Sumpah Pemuda harus menjadi runutan angkatan muda sekarang dalam upaya simbolisasi yang lebih segar? Simbolisasi bahasa, semangat dan kewilayahan Indonesia haruslah merupakan sebuah ruh bagi tantangan bangsa Indonesia sekarang dan masa depan. Sumpah Pemuda sebagai pemahaman nasionalisme belum sampai kepada hadirnya pencerahan pada setiap pergaulan angkatan muda.   

Sabtu, 12 November 2011

Esai

          Motif Perulangan Dalam Ekstase Malna
Oleh: M Taufan Musonip

Tendar.net

Saya memercayai apa yang pernah dikatakan Tia Setiadi1 bahwa Afrizal Malna sampai saat ini masih kuat menghembuskan konsep sufisme pada sebagian besar sajak-sajaknya, meskipun dalam strukturnya Malna menempatkan kosakata yang seolah tak menangkar jangkauan spiritual sufistik itu ---terlebih banyak benda-benda dan ungkapan mundan dan kekinian didalamnya.
Secara fundamental Tia telah mengambil referensi dari Esai Abdul Hadi WM “Nafas Sufisme dalam Sajak-sajak Afrizal Malna” yang pernah dimuat di Harian Suara Karya 1984. Dengan itu kita meyakini bahwa pada dasarnya  Malna memulai aktifitas persajakannya pada saat ia terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat sufistik.
Salah satu komponen terpenting struktur sajak-sajak sufistik adalah hadirnya unsur perulangan, sebagaimana pernah ditelisik oleh JC Burgel. Perulangan identik dengan rasa mabuk atau ekstase, simbol rasa cinta seorang manusia kepada Tuhannya.  

Jumat, 11 November 2011

Esai

             Seni Sastra Islam: Membangun Suasana Islami
Oleh: M Taufan Musonip

Wassily Kandinsky, Untitled.
           Serigrafi / Seriegraphy, 50 x 65 cm
Meskipun sudah cukup banyak perhatian para tetua di dunia seni khususnya sastra, membahas prihal sejauhmana Islam memberi  batasan-batasan terhadap kesenian tanpa mengurangi kehendak seorang seniman yang memegang jati dirinya sebagai muslim mampu menjadikan karyanya di garda terdepan, menjunjung nilai-nilai kesenian sebagai cermin dari upaya pembebasan belenggu penjajahan kemanusiaan namun tetap manusiawi.
Seni bukanlah sesuatu semata-mata untuk menyimpan gagasan. Bukan juga media semata-mata untuk menyampaikan pesan. Seni adalah artefak yang muncul dari pengejawantahan seorang penyair atas eksistensinya. Proses berkesenian adalah upaya menegakan kedirian seorang manusia yang mandiri. Oleh karenanya apakah benar seni sebagian besar merupakan bentuk sekularisasi paling nyata dari agama?
Jika tak bisa dinyatakan demikian, agama seyogyanya haruslah menjadi spirit dari proses berkesenian itu. Fungsi agama sebagai bentuk spirit seharusnya tidak membatasi kebebasan berkreasi, di satu sisi. Di sisi lain semestinya ia menjadi pengaping kebebasan itu ke arah kemanusiaan.

Rabu, 09 November 2011

Cerpen

       Sorot Mata
Oleh: M Taufan Musonip

1/
Orang yang kupanggil lewat telepon itu begitu girang saat kukabarkan bahwa dirinya diterima bekerja di perusahaan di mana aku bekerja.

Aku tahu, sebelum ini dia memanggul beban yang berat. Sebagai seorang lelaki dia memiliki tanggung jawab menafkahi anak dan istrinya. Maka saat kukabarkan kepadanya bahwa dirinya layak menjadi karyawan, setidaknya aku telah meringankan beban lelaki itu sebagai kepala rumah tangga.

Aku turut bahagia. Sebab sebagai seorang lelaki aku pernah mengalami betapa bahagianya jika aku bisa bekerja dari masa menganggur yang lumayan lama.

“Kau lulus, karena selain bisa menyetir, pengalamanmu bekerja sebelumnya membuat perusahaan memilihmu.” Kataku.

Dengan memilihnya aku telah mengorbankan calon pekerja yang lain untuk tidak meloloskannya. Semoga aku tidak salah pilih.

Yang aku suka darinya adalah kepandaiannya berbicara. Dengan kelihaian berbicara seseorang telah mengangkat dirinya sendiri dari manusia biasa menjadi manusia luar biasa. Itulah yang kutahu tentang ilmu retorika Aristoteles.

Maka kehadirannya adalah harapan untuk membesarkanku. Kupikir dia lelaki yang dapat membantu meloloskanku untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dari sekarang. Jika itu terjadi maka aku dan dia akan berbagi kebahagiaan. Aku akan membahagiakan keluargaku sebagaimana dia.

Cerpen

           Rumah Kejujuran
Oleh: M Taufan Musonip

1.
Apakah kalian percaya kejujuran?, kejujuran bagiku semacam catatan kecil yang kugulung dan kumasukan kedalam botol lalu kuhanyutkan. Sekarang mana ada botol-botol berkeliaran tanpa nama? Apakah kalian hanya mengharapkan gemelataknya saat mereka beradu di sebuah gubuk penadah?
Kejujuran memiliki garisnya sendiri. Terkadang seseorang tak dapat memenuhinya, bukan karena ia tidak jujur, tapi karena ia sedang kalah. Kejujuran bagaimanapun merupakan anak kandung kekuasaan. Camkan ini, anak kandung kekuasaan.
Maka sekarang bagiku kejujuran semacam catatan kecil yang kugulung dan kumasukan ke dalam botol dengan merek minuman tertentu.

Esai

Wacana Uang dalam Agenda Seni Sastra Hari ini
Oleh M Taufan Musonip

Adalah Bandung Mawardi dalam esainya Uang, Modernitas dan Tafsir Sastra telah menuturkan bahwa eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia. Selanjutnya ia berkata:

Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra1.

Anehnya Mawardi menarik wacananya pada karya sastra yang terbit abad XX tanpa menyebutkan secara spesifik karya mana saja pada masa itu yang menjadi pertanda lahirnya arus besar kesusastraan  bagaimana prihal uang telah benar-benar mempengaruhi kultur masyarakat ketika itu.

Selasa, 08 November 2011

Esai

Eksibisi Budaya dalam Wisata Kuliner Seorang Kritikus
Oleh M Taufan Musonip

Sudjana Kerton, The Dusk (1987),
Cat minyak di atas kanvas /
Oil on canvas, 125 x 148 cm, Inv. 201/SL/A
Banyak komentar dari beberapa teman mengenai rasa nasi bakar yang saya coba jual belum lama ini. Isinya berbagai kritik, saran juga pujian. Saya seorang sastrawan, seperti beberapa orang bilang, tentunya punya cara bagaimana menanggapinya. Sebagai seorang sastrawan, kebetulan saya lebih banyak menulis kritik untuk karya-karya beberapa penyair dan cerpenis.
Dalam dunia sastra kritikus sebenarnya hadir sebagai marketer. Kritik membicarakan apa yang dihadirkan sebuah artefak karya. Dan kritikus yang baik adalah bagaimana membicarakan sebuah karya secara berimbang. Kritik bermanuver dua arah, pada pembaca dia mencoba menarik karya sebagai sebuah artefak yang sesungguhnya dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang layak untuk dibaca, lainnya adalah memberi masukan kepada pencipta karya untuk membangun karya di masa depan lebih baik.

Senin, 07 November 2011

Cerpen

Melukis Ayuni
Oleh M Taufan Musonip
MILK 3

Karya Alexa Meade, "MILK". menjadikan susu sebagai kanvas, lih.
http://www.merdeka.com/gaya/milk-seni-lukis-di-atas-kanvas-susu.htm

1/
Semua perangkat lukisannya sudah dipersiapkan dalam satu tas. Bintang sudah datang lebih awal dari janjinya, Ini hari yang penting bagi seorang pelukis amatir macam Bintang, karena akan melukis objek perempuan untuk melahirkan karya kontemporer, seorang perempuan yang sudah banyak dikenal orang di dunia pembebasan.
 Setidaknya memang begitulah adanya Ayuni, perempuan cantik ini ingin digambar persis hamparan alam yang tanpa pakaian, sudah sejak masa baligh mungkin ia menginginkan hal itu, semasa ia mulai broken home, semasa ia betul-betul mulai merasakan pemberontakan dirinya terhadap orang tuanya yang aristokrat dan kolot.
 Dalam masa-masa itu Ayuni betul-betul merasakan bagaimana rasanya diusir atau terusir dari kebahagiaan keluarganya, ketika sang ayah memergoki dia sudah bercinta dengan seorang pria dalam sebuah kamar kost-nya.

Esai

Penciptaan Tanda dalam Usaha Meningkatkan Minat Baca
Oleh: M Taufan Musonip

“Kita sendiri adalah bagian akhir dari metamorfosa hurufi”
/1/
Dinamika Keruangan, Fadjar Sidik (1969)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 94 x 64 cm, Inv. 383/SL/B

Apa yang dapat kita maknai dari kutipan di atas? Frasa itu pernah menjadi jiwa bagi tradisi tarekat aksara abad pertengahan di Persia, di Indonesia tradisi hurufi menjadi begitu berkembang dalam lukisan kaligrafi. Namun bukan lukisan kaligrafi biasa yang dimaksud, ia adalah sejenis tulisan tolak bala yang ditempel di setiap dinding rumah. Kaligrafi itu dibuat dalam kertas putih, dibentuk dalam rupa lingkaran, segitiga atau pedang. Terkadang dinukil pula ayat suci Al Qur’an, bercampur baur dengan huruf-huruf dan gambar-gambar simbolik.
Meski indah, tradisi hurufi seperti ini jarang diapresiasi seperti layaknya lukisan kaligrafi mainstream yang ada di masjid-masjid atau gedongan. Kehadirannya yang sarat simbolik dan selalu ada di rumah-rumah kaum pinggiran, membuat lukisan ini selalu bernuansa klenik. Saya ingin menarik tradisi hurufi tersebut ke dalam wacana budaya literasi masyarakat Indonesia yang dinilai sedang terpuruk.

Sabtu, 05 November 2011

Esai

       Menaklukkan Kegelisahan dalam Perenungan atas Modernitas
Oleh: M Taufan Musonip

1/
Usaha perburuan gagasan telah membuat kegelisahan begitu dirayakan. Kehidupan modernitas sudah begitu mengerikan. Di setiap sudut jiwa selalu bergaung lolong serigala, yang membuat kelelawar selalu beredar menghinggapi tiap-tiap ruang kosong yang telah lama berlumut dan lembab. Itulah yang telah menjadikan kehendak penciptaan terus menerus mengkremus kabut hitam dalam setiap langkah.
Manusia modern sebenarnya bisa jadi  tengah terjebak dalam hegemoni perayaan kegelisahan itu. Ia didesak oleh semacam kebaruan-kebaruan yang hendak diciptakannya. Ketidakmampuan mengatasinya, membuat mereka terjebak dalam jurang-jurang hedonisme, tapi sesungguhnya dia hidup diantara geliat ciptaan-ciptaan, menjadi semacam konsumsi.
Popo Iskandar, Kucing
Cat minyak di atas kanvas /
Oli on canvas, 120 x 145 cm, Inv. 150/SG/A
 (1975),  
Sampai di sana kegelisahan bukan menjadi takluk. Kehancuran gagasan bukan pertanda munculnya kekuatan akan tetapi sebaliknya: sebuah pemandangan tentang peradaban yang runtuh, atau rapuhnya kebudayaan sebuah bangsa.

Jumat, 04 November 2011

Esai

 -->Mencoba Melalui Perjalanan Asketisme

Oleh: M Taufan Musonip
“Mungkin saatnya kita segera mengasingkan diri, Radhar. Ketempat paling asing di dunia ini. Sudah tidak ada yang bisa kita ajak bicara. Kecuali Tuhan sendiri. Di satu tempat yang dingin dan sepi kita akan mendapatkan perkataanNya.”
Kalimat itu yang ingin saya sampaikan kepada seorang Budayawan besar bernama Radhar Panca Dahana. Seorang Budayawan yang pernah tersangkut hukuman oleh Alm. Rendra, hidup dalam pengasingan sebuah sel yang sempit, untuk penempaan diri memahami dirinya sebagai manusia dalam usaha-usaha mendalami ilmu teater.
Sebagaimana Radhar, filosof yang lama mempelajari kebudayaan agama Hindu, Arthur Schopenhauer, memilih moksa sebagai jalan terakhir ketika dunia sedang dilanda tragedi. Diam adalah salah satu solusi ketika manusia lainnya sudah tak lagi dapat diajak bicara.

Cerpen

--> Hujan Darah
Oleh: M Taufan Musonip

Ilustrasi diambil dari Lakonhidup.wordpress.com
merupakan ilustrasi cerpen saya sendiri di Republika
“Aku akan menurunkan darah dari langit jika kalian terus memaksaku meninggalkan tanah ini!” Seru Taksu sambil berdiri dengan gagah menantang barisan buldoser. Siapa percaya kutukan itu, orang-orang hanya percaya bahwa ia sudah gila. Menantang buldoser sendirian.
Dari jauh Lurah Jati berteriak dengan serak supaya Taksu minggir. Tapi Taksu tak bergeming, lebih baik mati dari pada harus merelakan tanahnya. Buldoser terpaksa nekat, menggusur ladang dengan garang. Mereka pikir Taksu akan minggir. Tak selangkah pun ia mundur.
Lima Buldoser tak bergerak berhadapan dengan tubuh kurus Taksu sendirian. Mereka gugup dengan keberanian tua renta itu. Pertarungan sementara berhasil dimenangkan. Untuk mengucap sukur dan menguatkan hatinya membela haknya ia masuk ke dalam gubuk, gubuk bambu tempat para petani biasa bersembahyang.

Esai

-->Di Ambang Gila

---Sebuah Pengantar Untuk Buku Penyair Ade Riyan Purnama
Oleh: M Taufan Musonip
merenung hujan kemunafikan
wajah-wajah asing
bersimpang pandang…
(Kalender Lalu, h.1)

Padahal seperti kebiasaan saya menulis ulasan, saya selalu menggunakan metode deduksi: setiap karya tak pernah lepas dari cara pandang dan lingkungan di mana penyair tinggal.
Sementara saya harus melupakan metode deduksi, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, bahwa nyatanya menjadi penyair itu memang merangsang orang secara das ding an sich memiliki multiple kemampuan, alasannya klasik karena profesi penyair masih terkucilkan dalam dunia kerja dan belum juga dapat dijadikan profesi untuk meraih kekayaan, maka ia selalu mencari sambihan pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Rata-rata seorang penyair menjadikan pekerjaan menulisnya sebagai kerja ekspresi, dan ekspresi itu perlu biaya. Pekerjaannya yang lain akan mensupport kerja ekspresi itu.
Di sini saya merasa diingatkan oleh ungkapan Schact tentang alienasi, bahwa pada ciri masyarakat modern, orang-orang seharusnya tidak lagi takut pada keterasingan. Secara sengaja keterasingan diciptakan untuk membangkitkan multiple kemampuan, menjadi penyair tidak harus anti marketing dan tidak harus selalu menyepi.
Di Indonesia, khususnya kesastraan Indonesia, dunia kepenyairan berkembang dalam kantong-kantong komunitas. Komunitas secara aktif mampu melihat bakat baru dari berbagai lintas profesi yang ada di dalamnya dan mendorong penerbitan buku. Komunitas menjadi semacam agen pencarian bibit baru, sekaligus pusat transaksi: apapun yang terjadi hubungan antar manusia tak pernah luput dari aktifitas ekonomi.

Kamis, 03 November 2011

Cerpen

-->Layang-layang Naga
Oleh M Taufan Musonip

     Nung, mendapati ayahnya sedang menyusun keping-keping kolase. Pikirannya mengembara bagaimana dapat membuatnya menjadi sebuah cerita utuh. Ayahnya sekarang lebih banyak membisu, tak pernah mengerti bahwa kolase-kolase itu tak dapat disusun sebagaimana pikiran menginginkannya.


     Bocah itu menginginkan ayahnya seperti sediakala dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan remeh temeh yang selalu melintas dikepalanya. Seperti pertanyaan tentang siapa pemilik layang-layang naga, yang selalu terbang mengibaskan ekornya siang hari menjelang senja. Ia masih berharap ayahnya dapat membuatkan untuknya. Ayahnya bukan pembuat layang-layang, ia hanya seorang pembuat cerita.

Rabu, 02 November 2011

Esai

       -->Volkerwanderung Dunia Maya
Oleh: M Taufan Musonip


Abas Alibasyah,
Cat minyak di atas kanvas 
/ Oil on canvas, 100 x 66 cm, Inv.
Bisa jadi ketika sebuah nilai estetika yang diyakini melembaga, ia akan menciptakan dominasi. Maka muncullah istilah oposisi biner yang dikatakan Beni Setia (Pikiran Rakyat, 12 Desember 2010), mungkin merujuk kepada beberapa kekuatan yang sudah lama melembaga bahkan sejak masa kolonialisme. Sehingga semata-mata politis.  
Kekuatan-kekuatan itu terus mengalami evolusi, seiring dengan nilai-nilai luar yang mempengaruhinya, bahkan mungkin beberapa kekuatan terdegradasi menjadi bagian akumulasi kekuatan yang ada. Misalnya, pada masa tahun 1960an, Lesbumi adalah salah satu sayap kebudayaan bagi eksistensi kaum muslim dalam meyakini pandangannya tentang estetika, tak pelak bertarung dengan sayap-sayap kebudayaan lain yang bermuara pada kepentingan-kepentingan politik.

Esai

-->Tragedi Kekacauan Gelombang Cahaya

---telaah atas Buku Antologi Puisi Fuad:
 Awan Hitam, Saat dan Peristiwa
Kegelapan adalah inti daripada cahaya
(Fuad, Buku Awan Hitam, Saat dan Peristiwa: Mijil Publisher)
Telaah atas buku Fuad tidak harus dimulai dari statementnya atas eksistensialisme sebagaimana keyakinannya. Akan sulit mencari interkoneksi antara kegelapan dengan cara “mengada” penyair bawah sadar ini. Sebab eksistensialisme selalu memiliki tanda keberhadiran, sesuatu yang selalu dihubung-hubungkan dengan emanasi, menamburnya sebuah gelombang cahaya dalam ranah kehidupannya. Maka apa yang menjadi maksud paradoks antara keberhadiran dengan kegelapan, noktah hitam yang terkadang menjadi anak haram sejarah, sesuatu yang mungkin dilupakan dan terlupakan.

Esai

              Sastra Islam Yes, Media Massa Islam No
Oleh: M Taufan Musonip

Tak ada lagi kepercayaan bahwa kehidupan duniawi dan kehidupan langit tergambar secara dualisme. Orang-orang eksistensialis meyakini, kebersatuan itu bermula dari kesadaran manusia untuk mencipta. Menyelesaikan dirinya sebagai manusia yang mampu menundukan semesta.
Maka ritus-ritus kesucian haruslah memberi resonansi kesadaran akan kreatifitas manusia, yang secara fitrah adalah mahluk-mahluk sekuler, manusia yang tak pernah terhindar dari persoalan-persoalan duniawi.
Jika demikian, sebenarnya agama tak pernah absen dari unsur-unsur keprofanan, jika ia memiliki abstraksi dimensi hukum pengaturan semesta (sains dan teknologi) dan sosial. Semakin sekuler, semakin religiuslah ia. Hal ini berkebalikan dengan sekularisasi di barat, semakin sekuler ia semakin menjauhlah ia dari agama, meskipun pada dasarnya tak semua pemikir di barat salah memahami sekularisasi itu. Masih ada para pemikir di sana, yang kuat sekali keyakinan keagamaannya, tapi tak pernah absen dari sumbangannya terhadap dunia.
Namun bagaimanapun, pada akhirnya religiositas haruslah menempuh puncak daripadanya, yang bersumber dari mistifikasi sebagai inner circle keilahian. Kata mistik tak harus lagi diartikan sebagai klenik, hal-hal yang kita sebut semata-mata sebagai takhayul. Kata mistik, dalam pengertian mutakhir diartikan sebagai puncak dari eksebisi pemikiran manusia.
Para sastrawan dewasa ini berhasil memanfaatkan ritus-ritus suci dalam membangkitkan spiritual kehidupan manusia. Memiliki pandangan mistik, sebagai puncaknya. Sebut saja karya-karya pengarang, yang hilir mudik di media massa. Seperti karya pengarang muda Miftah Fadhli, Masjid Penuh Malaikat (Republika, 5 Desember 2010) atau Suara Adzan karya Suhairi Rachmad (Republika, 14 November 2010). Menandakan momentum karya seni sastra sebagai semangat ---meminjam istilah Heiddeger--- sein zum tode, bagaimana dengan cerdas pengarang mengaitkan antara kematian dengan kehidupan.
Sein zum tode, mempersoalkan bahwa waktu di dunia adalah sebuah penyadaran, semakin manusia menghendaki ilmu pengetahuan yang dikelilingi oleh kehendak kreatif dirinya maka ia akan selalu mengalami kebinasaan.
Tak ada waktu yang cukup bagi kemalasan, raga-raga yang melawan sang atma. Waktu selalu merupakan tiang penyangga antara langit dan bumi. Maka memerlukan loncatan-loncatan supaya aliran darah selalu sempurna menggerakan tubuh, dalam berbagai gesturenya.
Di sanalah maka kematian selalu berdampak pada sejauhmana manusia memiliki kemampuan berderma. Kemampuan inilah yang menjadi inspirasi bagaimana unsur mistik dikaitkan dengan kehidupan sekuler, kehidupan yang masih berkutat pada persoalan kesenjangan ekonomi dapat dijadikan sebagai dasar empati antar umat manusia.
Kematian dalam hal ini menjadi moda bahwa manusia haruslah semakin peduli kepada sesama, dalam tiap waktunya. Waktu menjadi bergerak dinamis, persoalan “ada” manusia bukan lagi menjalani waktu mekanis, tapi waktu ada, sesaat setelah ia berkorban terhadap sesama.
Simak misalnya Cerpen Rifan Nazhif (Tangan, Republika 26 Desember 2010) yang hampir senafas unsur mistiknya dengan pengarang muda Miftah Fadhli (Masjid Penuh Malaikat), sang aku yang berprofesi sebagai penulis lepas, berhari-hari kehilangan tangannya untuk dipergunakannya menulis. Beberapa jemarinya kaku tak bisa digerakan, keadaan itu membawanya dirinya untuk segera mengadu kepada Sang Pemilik Tangan, Pemilik Raga Absolut, di tempat ibadahnya. Maka pengarang telah menyimpulkan bahwa kejadian yang menimpa dirinya, adalah karena selama ini sang aku tak pernah berderma kepada sesama yang di simbolkan dalam tokoh lain.
Ritus
Pengarang nampak berhasil memanfaatkan ritus-ritus suci dalam mendengungkan resonansi sekularisme yang benar (entmytologisierung). Miftah Fadhli berhasil membuat suasana mistik dalam simbol masjid yang terkunci, atas meninggalnya seorang dermawan, karena kematiannya diumumkan oleh ‘para malaikat’ (Masjid Penuh Malaikat).
Akan tetapi apakah yang religius selalu menambatkan ritus-ritus suci di dalamnya?. Sehingga hal itu menjadi semacam standar penilaian bahwa sebuah karya sastra yang menukil simbolisasi agamanya adalah sesuatu yang layak, pada eksistensi media massa bernafaskan Islam?.
Padahal karya sastra religius terutama sastra islami dengan acuan nilai-nilai kebenaran yang diyakininya musti meliputi hal yang lebih kompleks. Jika Agama Islam mengafirmasi pengaturan  dunia secara lebih konkret oleh sains, mengapa tidak ada karya sastra islami yang memiliki warna saintifik?. Jika Agama Islam meyakini politik sebagai cara dalam kehidupan manusia mengenai pengaturan kehidupan melalui kepemimpinan, mengapa tidak ada karya sastra islami yang menandingi karya-karya sastra bernuansa politik yang menandingi karya-karya Martin Aleida atau Eka Kurniawan ditempat lain. Jika agama Islam konsen terhadap ketertindasan, kenapa tidak ada penilaian karya-karya sastra yang bermuatan itu dikategorikan sebagai karya sastra islami?
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bahwa media massa islam yang memuat karya sastra  jumlahnya semakin kecil, sisanya adalah media-media massa yang selalu mengusung politik jihadis, dan cenderung anti kesastraan.
Oleh karenanya kita tertambat pada media islami yang ada, yang dapat menampung karya sastra terlepas dari penilaian simbolisasi keagamaan. Mengingat apa yang pernah disampaikan Kuntowijoyo dalam bukunya yang bertema islami (Muslim Tanpa Masjid, Mizan), tentang seni sastra Islam, dia pernah bertanya senada dengan kampiun pelukis kaligrafi Indonesia, AR Fachruddin (Pak AR), “Apakah benar, seni sastra Islam dapat meningkatkan kesadaran keimanan pada penikmatnya?”--- sejalan dengan sejauhmana misalnya, penikmat karya kaligrafi dapat meningkatkan keimanannya setelah ia menikmati karya tersebut? Demikian pula halnya dengan menara-menara indah yang ada di setiap masjid, sejauhmana ia dapat menyadarkan orang-orang yang melewati dan menikmati keindahan menara itu bisa merubah dirinya menjadi manusia yang bertambah keimanannya terhadap Tuhan. Apakah kesenian bernafas religius dapat menjaminnya?. Jika tidak, bukankah hal itu menjadi suatu yang mubah?.
Pada akhirnya kita meyakini bahwa sejatinya seni sastra islami, bukanlah semata-mata sebagai alat dakwah tapi merupakan sebuah bentuk aktualisasi dan tasbih bagi penciptanya. Jika ia harus berkiblat pada kesenian secara adiluhung, dua prasyarat itu (aktualisasi diri dan tasbih) musti lebih kental dari prihal yang pertama (dakwah). Jika ia harus menjadi media penyampai nafas nilai-nilai agama ia haruslah bersifat syi’ar ketimbang dakwah.
Menyadari hal itu, nyatanya masih ada karya-karya bernafaskan islami yang berfokus kepada mistifikasi dan unsur spiritual tidak ditampung oleh media bernafaskan Islam karena tidak memuat ritus-ritus kesuciannya. Apakah kemudian harus berbunyi statemen dari para pengarang, seperti ungkapan Caknur: Sastra Islam Yes, media massa Islam No?.
***
Cikarang, 29 Desember 2010
Dimuat di Majalah Sabili Januari 2011

Esai

-->Dari Puisi ke Aksi

---Hasil Pembacaan Buku Mata Yola Penyair Yoyong Amilin
Oleh M Taufan

An Nifari, dalam Al Mawaqif Al Mukhathabat, menulis puisinya dimulai dari rasa merdeka jiwanya terhadap dunia. Menulis puisi berarti membangun posisi yang menentang arus pengetahuan. Sebuah katarsis, yang memunculkan kredo. Semacam transendensi kepada struktur baru, mengenai bentuk penciptaan prinsip berpuisi. Maka pada posisi ini, penyair betul-betul mandiri.
Puisi tak pernah lepas dari dua pendekatan, kontemplatif dan konseptis. Sang pencinta aksiden, Sutardji Calzoum Bahri, puisi-puisinya, meskipun lekat dengan mantra, yang seolah-olah anti intelektual itu tak dapat dilepaskan dari kredonya: jika puisi adalah kursi, maka ia bukan tempat duduk, melainkan kursi itu sendiri.

Esai

        -->Di Ambang Kematian Para Pembaca
Oleh: M Taufan Musonip

Membaca karangan-karangan dalam dunia seni kesusastraan harus membuat seorang manusia berdaya secara individu, guna memperoleh keberlimpahan makna, merefleksikan seni itu sendiri ke dalam prilaku kehidupan. Arif Bagus Prasetyo (Majalah Horison, Edisi Januari 2011), meneruskannya dengan membuka wacana dalam kritik sastra sebagai sebuah genre yang memiliki kepekatan nilai seni ketimbang usaha membuka makna orisinalitas dalam sebuah karangan.
Postmodernitas tak ayal selalu beriringan dengan usaha kontemporer lainnya, sebuah perayaan tumbangnya kekuatan metanarasi. Sejak Deridda membangun istilah dekontruksi, narasi sebagai sounding kebenaran menjadi begitu absurd, ketika dikatakanolehnya segala teks adalah metafor (Nietzsche).

Esai

  -->Dilematika Sang Simtom
---Sebuah refleksi atas pembacaan Buku Puisi Simtom-simtom Sebelum Penyair Karya Ganjar Sudibyo (Ganz)
Oleh: M Taufan Musonip

Wassily Kandinsky, Serigrafi / Seriegraphy, 50 x 65 cm, Inv. 97/SG/C
Anak panah sudah dilesakan, mengenai jantung Sang Ada. Matahari mendung. Bintang kehilangan gantungan. Simtom-simtom sebelum penyair terurai. Ia berpusat pada tragedi, runtuhnya segala sesuatu.
Disusunlah batu-batu pengetahuan menjadi partisi, menghikmahi atma yang menjulang di langit. Tapi pengetahuan tak dapat menghentikan waktu. Ia terpaksa mengamini mitos sebagai atma itu sendiri. Penghubung antara langit dan bumi.
Simtom-simtom sebelum penyair adalah rangkaian tragedi-mitos-pengetahuan, yang pusatnya adalah kejadian. Jika manusia meyakini bahwa pengetahuan adalah representasi segala sesuatu seperti dinyatakan Bacon, maka mitos tak lain adalah daya guna dari pemanfaatan atasnya. Itulah makanya pengetahuan tak lain mitos itu sendiri.

Esai

         -->Menyoal Kritik Sastra di dalam Era Digital
Oleh: M Taufan Musonip

Sebuah kritik atas karya sastra di era informasi sekarang ini memautkan genre kritik sastra yang mandiri di antara genre-genre sastra lainnya. Muatan seni didalamnya akan lebih pekat ketimbang hanya membicarakan soal orisinalitas karya dan makna yang di bedah sebagai esensi bendawi sebuah teks sastra.
Ini memberi ekses genre kritik sastra akan lebih dilirik oleh para penikmat seni sastra. Atau seperti istilah yang dikemukakan Arif Bagus Prasetyo bukan lagi sebagai jembatan yang dibangun antara sebuah karya dengan pembacanya, namun jembatan mewah yang dibuat sang kritikus sebagai stimulus menikmati genre kritik.

Esai

Mencoba Mengangkat Martabat Perempuan
---Hasil Pembacaan Terhadap Buku Puisi Eko Putra
Oleh: M Taufan Musonip

Tercipta keyakinan bahwa mahluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah wanita, ia di buat dalam enam masa, sesaat sebelum Tuhan tinggal di atas Arsy (QS 7-54), menjenjang atma, perlu seseorang berperan sebagai pasangannya.
Nampak kontorversial sebenarnya hal itu, sebab seperti kita yakini, justru lelaki awal mula diciptakan, oleh karenanya perempuan diciptakan terakhir dari tulang rusuk lelaki. Tapi ada kalanya fakta yang tersembunyi ini bisa disigi, sebab Ayat Suci jika ia mirip puisi, ada banyak subtansi yang mesti ditaja kembali prihal sisi lain awal mula penciptaan semesta.