Oleh: M Taufan Musonip
Ilustrasi diambil dari Lakonhidup.wordpress.com
merupakan ilustrasi cerpen saya sendiri di Republika
|
“Aku akan menurunkan darah dari
langit jika kalian terus memaksaku meninggalkan tanah ini!” Seru Taksu sambil
berdiri dengan gagah menantang barisan buldoser. Siapa percaya kutukan itu,
orang-orang hanya percaya bahwa ia sudah gila. Menantang buldoser sendirian.
Dari jauh Lurah Jati berteriak dengan
serak supaya Taksu minggir. Tapi Taksu tak bergeming, lebih baik mati dari pada
harus merelakan tanahnya. Buldoser terpaksa nekat, menggusur ladang dengan
garang. Mereka pikir Taksu akan minggir. Tak selangkah pun ia mundur.
Lima Buldoser tak bergerak berhadapan
dengan tubuh kurus Taksu sendirian. Mereka gugup dengan keberanian tua renta
itu. Pertarungan sementara berhasil dimenangkan. Untuk mengucap sukur dan
menguatkan hatinya membela haknya ia masuk ke dalam gubuk, gubuk bambu tempat
para petani biasa bersembahyang.
Taksu sendirian mengumandangkan
adzan. Meski belum waktunya salat.
***
Kaspari, anaknya mendatangi Taksu di
gubuk langgar. Membujuknya untuk rela meninggalkan lahan itu. Taksu hanya
komat-kamit membaca dzikir, saat Kaspari terus berbicara.
“Ayolah, Abah. Kita tak akan kuat
melawan mereka. Mereka memegang surat kepemilikan dan izin mendirikan usaha.”
Ujar kaspari.
Taksu sama sekali tak menanggapi.
Hanya kesal dan sesal dalam hatinya, anaknya sendiri tak mampu ia pertahankan
membela kepentingan keluarga dan leluhurnya.
“Kita tak punya bukti, Bah. Mereka
hanya tahu, kita sudah berpuluh-puluh tahun menggarap tanah ini. Ayolah, mereka
juga sudah memberikan santunan buat kita. Kita syukuri saja, pergi ke kampung
lain, semoga saja berkah.”
Mendengar itu amarah Taksu meledak,
beruntung ia dapat menahannya dengan salat. Kaspari tahu kemarahan ayahnya
dalam salat. Ia beranjak pergi dengan
langkah yang dingin.
Di depan gubuk langgar ada beberapa
kuburan yang dinaungi beringin dan kamboja. Kuburan leluhur dan keluarganya
yang mesti ia jaga. Sebelumnya Kaspari juga datang, mengatakan bahwa kuburan
leluhur itu akan dipindahkan ke tempat yang lebih aman jika nanti tanah itu
jadi dibangun pabrik.
Waktu itu Taksu masih mau diajak
bicara. Kaspari menjelaskan, bahwa ada usaha lain selain berladang. Menurutnya
di kampung lain mereka bisa membuka kelontongan atau ngojek. “Dunia belum
kiamat, Abah. Kita bisa usaha yang lain!.”
Taksu saat itu meradang. Baginya
kemampuannya hanya bisa berladang. Berpindah kebiasaan bukanlah hal mudah.
“Dasar bodoh!, kamu tidak lihat nasib orang-orang yang meninggalkan
kampung, heh?. Lihat Mereka yang pergi
ke kota? Hidup mereka di sana kebanyakan susah, hanya satu dua saja yang
berhasil. Mau ke luar negeri? Di sana juga orang banyak yang mati. Di kampung
lain belum tentu tanahnya lebih baik, banyak orang pindah kampung juga pada
kelaparan!.”
Kaspari tak bisa membantah. Ia tahu
sendiri karakter bapaknya yang keras kepala itu. Ia hanya bisa pergi sambil
memikirkan cara lain agar bapaknya mau menurut.
***
Kali ini Taksu kembali terdesak ke
gubuk. Untuk kesekian kalinya mereka menggusur tanah itu dengan buldoser.
Kaspari dari jauh menyaksikan itu dengan linangan airmata, dalam benaknya ia bangga
pada bapaknya yang kukuh pada pendirian.
Buldoser hendak merangsek langgar
itu. Sayup-sayup suara Lurah Jati memberi semangat buldoser untuk bersiap merobohkan langgar
sambil terus berusaha memperingatkan Taksu untuk menyerah.
“Keluarlah Taksu!. Ini bukan tanahmu.
Bos Iwul pemiliknya. Beruntung bertahun-tahun kau di beri kesempatan
menggarapnya…!.”
Taksu sama sekali tidak kendur.
Orang-orang kampung terus berteriak agar Taksu keluar. Sama sekali tak ada
tanda-tanda orang tua itu akan keluar. Malah terdengar suara adzan di dalam
langgar.
“Dasar balela!.” Sahut seseorang.
“Taksu. Apa-apaan kau ini?!, keluar!.” Seru yang
lain.
Maka dengan isyarat tangan Lurah
Jati, buldoser bergerak merangsek. Dari jauh Kaspari melihat Taksu malah
mendirikan salat. Waktu itu tepat waktu dzuhur. Debu melintas pada setiap mata
yang menyaksikan. Daun kamboja jatuh dengan resah. Ada yang berbisik ke dalam
setiap sanubari, kematian sedang melayang-layang di udara.
“mati!”
“konyol”
“Bego!”
“Taksu!”
Begitu teriak para penyaksi.
Tak ada satu pun dari mereka yang memihak lelaki renta
keras kepala itu.
***
Satu-satu sahabatnya pergi. Mereka sudah
menyerah lebih dulu sebelum perang dimulai. Uang yang dibagi-bagikan Iwul
membuat mereka berubah pikiran, untuk tidak lagi bersama Taksu dalam satu garis
perjuangan.
Pernah satu kali, Sukri sahabat
dekatnya datang ke langgar, setelah berminggu-minggu sama sekali tak kelihatan
batang hidungnya. Taksu sangat senang, ia berapi-api agar sahabatnya itu
mempertahankan pendiriannya: menjaga tanah warisan leluhur. Tapi ada yang aneh,
setelah sempat menghilang Sukri jadi gemar mengotak-atik barang barunya,
Telepon genggam keluaran terbaru.
Taksu menanyakan dari mana Sukri
mendapatkan barang mewah itu. Sukri menjawab dengan enteng: “Dari Iwul.” Taksu
meledak bukan kepalang, diusirnya sahabatnya itu dari langgar.
Sahabat sejati telah pergi
meninggalkannya sendirian. Tak ada lagi yang bisa diajaknya bicara, dan Taksu
sudah mulai membisu.
Tapi ada yang berdiri di belakang, membelanya
dengan darah. Kaspari menantang buldoser sebelum sempat menggilas langgar. Ia membelanya,
mungkin bukan karena tanah warisan leluhur, tetapi karena rasa cinta terhadap bapaknya
sendiri.
Sekali lagi buldoser mundur.
Meninggalkan bapak beranak itu dalam rintihan. Berkali-kali Taksu mengajak
anaknya bicara, tapi bahasa sudah remuk bersama tubuh yang bermandikan darah.
***
Kampung itu menjadi amis dan asin,
karena di serang hujan darah. Darah melintas ke tiap-tiap pintu rumah bersama
jeritan dan rintihan yang merasuk kepada setiap penghuninya. Para manajer
pabrik dan pegawai pemerintah mengusahakan inventaris kendaraan, karena mereka
takut kecipratan darah, darah itu bisa membuat orang terkena penyakit
mematikan, kulitnya melepuh disertai demam dan mual-mual.
Di jalanan orang-orang memakai masker
untuk menahan bau amis. Langit menjadi pucat. Antrean kendaraan mengambang
bersama darah yang bertempias di tanah. Setiap orang jadi mudah naik darah. Seorang
lelaki setengah baya tiba-tiba menghardik seorang pemuda berponco karena sepeda
motornya telah menyerempet mobilnya, tanpa disadari darah bercipratan di
tangan, lelaki tengah baya itu tiba-tiba mati di tengah jalan.
Pernah Lurah Jati mendatangi Taksu
untuk membujuknya menghentikan doanya. Taksu bilang ia tak pernah berdoa agar
Tuhan menurunkan darah dari langit. Taksu justru berdoa agar Tuhan
menghentikannya. Tapi Hujan darah itu terus saja mengguyur kampung itu hingga
meluas sampai perkotaan.
Meski sekeliling langgar tanah-tanah
sudah menjadi pabrik, Taksu berhasil mempertahankan langgar dan tanah kuburan.
Ia hidup di sana sampai kematian menjemputnya.
Kini banjir darah itu datang satu
tahun sekali, pemerintah dibuat pusing memikirkannya: pabrik-pabrik lumpuh,
wisatawan terkena travel warning, sungai-sungai mati oleh darah, ikan-ikan
menjadi buas. Pada tahun 2040 bencana ini dinobatkan sebagai bencana resmi
negara.
***
Cikarang, 16 September 2010
Republika 21 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar