Rumah Kejujuran
Oleh: M Taufan Musonip
1.
Apakah kalian percaya kejujuran?,
kejujuran bagiku semacam catatan kecil yang kugulung dan kumasukan kedalam
botol lalu kuhanyutkan. Sekarang mana ada botol-botol berkeliaran tanpa nama? Apakah
kalian hanya mengharapkan gemelataknya saat mereka beradu di sebuah gubuk
penadah?
Kejujuran memiliki garisnya sendiri.
Terkadang seseorang tak dapat memenuhinya, bukan karena ia tidak jujur, tapi
karena ia sedang kalah. Kejujuran bagaimanapun merupakan anak kandung
kekuasaan. Camkan ini, anak kandung kekuasaan.
Maka sekarang bagiku kejujuran
semacam catatan kecil yang kugulung dan kumasukan ke dalam botol dengan merek
minuman tertentu.
2.
Aku tak pernah berpikir untuk
tersingkir pada perhelatan memperjuangkan kejujuran. Orang-orang
memperjuangkannya semata-mata untuk mendekati kas organisasi. Kejujuran adalah
upaya menciptakan sesuatu supaya kas organisasi mengalir ke tangan setiap
orang, pada saat itulah setiap orang menjadi sejahtera. Tapi di dunia ini tak
pernah ada hukum kesamarataan, setiap kekuasaan adalah kantong dari momentum
aliran dana.
Kupikir, hanya orang-orang yang
jujurlah yang memiliki niat memanfaatkan keberadaan rumah-rumah organisasi
untuk berjuang didalamnya. Meraih kekuasaan, merentang kejujuran.
Aku salah satunya, aku berada di sana
bertahun-tahun. Dan kurasakan kejujuran menjadi terhambat ketika tak ada orang
yang peduli rumah-rumah organisasi harus didiami banyak orang yang mabuk pada
kekuasaan.
Himawan Dwi Prasetyo, Wait 100 X 120 oil on canvas |
Setiap aku menciptakan sebuah proyek,
dan aliran uang dari kas organisasi terjadi, orang-orang lebih menyukai berdiam
diri. Mereka terlalu malas untuk memperjuangkan kekuasaan. Mereka sudah tidak
jujur pada diri mereka sendiri. Padahal jika mereka mau memasukinya, mereka
akan terberdayakan. Memang tak ada yang bisa langsung mengais rejeki nomplok,
jadi orang kaya baru. Semua harus dilalui dengan perjuangan yang militan.
Resikonya ketika rumah-rumah itu selesai dibangun dan
sepi dari orang-orang yang mau menghuninya, maka ia menjadi semacam proyek gagal
bagiku, padahal masih banyak dana yang mesti aku kucurkan.
Terpaksalah semuanya kembali
kualirkan kepada sahabat-sahabatku yang itu-itu juga. Dan pastilah aliran dana
itu akan mendadani kami para anggota menjadi orang elite di hadapan kalian,
membuat orang mulai kasak-kusuk, hendak membangun organisasi lain yang dananya
mengalir dari sebuah negeri antah-berantah hingga orang-orang yang mulai
menuduh kami telah berbuat korup: dana itu terlalu lama menganggur di kas
organisasi, dan karena kehabisan akal, uang itu kami pergunakan untuk berpesiar
melakukan studi banding, demi kemajuan organisasi. Itu pun masih cukup murah,
akhirnya terpaksa sebagian uang kami pergunakan untuk hura-hura sekedar
melupakan ramainya kasak-kusuk kalian.
Terkadang aku sering berteriak,
“kalau berani, masuklah ke rumah kami dan mulailah bertarung secara jujur!”.
Teriakan itu memang mengundang para pecaring, tapi di sana pertarungan bukan
malah terjadi, mereka akhirnya takluk pada kekuasaannya sendiri yang bermuara
pada kekuasaan-kekuasaan besar. Mungkin mereka baru menyadari arti sebenarnya
kejujuran. Kejujuran adalah usaha menciptakan rumah-rumah organisasi dan
mulailah dengan membuat pintu gerbangnya.
3.
Mungkin kalian pikir aku terlalu
gegabah memaknai kejujuran. Tapi bolehlah kalian bertanya kepada kata hati
masing-masing, ujung dari perjuangan ini tak lain adalah kebahagiaan. Kebahagiaan
adalah akumulasi dari berbagai kecemasan dan perenungan terdalam mengentaskan
kegelisahan yang tak berujung.
Pernah ada seorang pemuda yang selalu
keras bersuara tentang proyek-proyek pembangunan kami. Katanya proyek-proyek
pembangunan kami meminggirkan kaum yang lain. Aku tertawa mendengarnya, pemuda
itu tak tahu arti kebahagiaan sebenarnya.
Apa kalian yakin orang-orang yang
bernaung dalam rumah-rumah kumuh itu tidak bahagia?. Aku lihat justru melihat mereka
lebih bahagia dari kehidupan kami, tak ada hari-hari mereka tanpa kebahagiaan.
Mereka tak pernah mengeluh dengan kemiskinannya. Adapun kesedihan yang diukir
para pengemis, itu adalah topeng hasil phantasmenya menghadapi penderitaan.
Sebuah karya sebagaimana adikarya para begawan, sebagai hasil permenungan dari
kegelisahannya terhadap hidup. Topeng, tak lain semacam kejujuran mengentaskan
penderitaan-penderitaan.
Mereka terus menegakan kejujuran
setapak demi setapak, membangun tubuhnya sendiri. Esok lusa tiba-tiba aku lihat
seseorang dari mereka besar dengan monumen perjuangan mereka sendiri. Siapa
yang tahu dengan nasib orang, perjuangannya telah membawanya tinggal di sebuah
apartemen mewah.
Aku katakan kepada pemuda itu,
sejauhmana ia mendatangi mereka dengan tulus. Sejauhmana ia benar-benar merasakan
kemiskinan itu, pemuda itu gelagapan. Ragap dengan kemiskinan yang
diperjuangkannya sendiri. Pemuda itu hanya mengalami kemiskinan dari buku-buku
tebal tak bernyawa yang bertumpukan bagai kejujuran yang tersandra.
Aku sendiri merasakan kemiskinan persis
bagaimana mereka merasakannya, aku ini besar di jalanan. Aku pernah menjadi
asongan, menjadi penjaga sebuah pabrik yang bersengketa, pernah menjadi
pemulung bahkan tukang parkir. Aku tanyakan pada pemuda itu, berapa penghasilan
seorang pedagang asongan dalam satu hari?. Ia tak menjawab pasti, hanya
menyodorkan teori-teori sosial yang membuatnya pening sendiri.
Aku tahu pemuda ini cerdas bukan main.
Sayang, kejujurannya masih tergadaikan oleh soal-soal akademis. Maka aku
tantang dia agar berkenan mampir ke rumah organisasi kami, membenahi persoalan
bersama-sama. Ia menggeleng, idealismenya masih memenjaranya dengan taat.
Apapun organisasinya, bagaimanapun
haruslah mendekat pada pusat kekuasaan pada kas organisasi. Biar bisa hidup dan
bertahan. Tapi pemuda itu malah memilih merdeka, bebas dari kepentingan
siapapun. wah…wah ini lagi, jangan-jangan pemuda itu tak pernah tahu arti
daripada kemerdekaan.
Kemerdekaan bagiku semacam
kumpulan-kumpulan kesedihan yang mengkristal. Dan terkadang kemerdekaan adalah
semacam penghancuran kristal-kristal kesedihan itu sendiri.
Ahhh… tiba-tiba aku merasa khawatir
pada tatap kemerdekaan pemuda itu: suatu saat karena keputusasaannya mengarungi
hidup, justru ia ingin memotong jalan kemerdekaan itu dengan bunuh diri secara
terhormat. Kalian tentu tahu maksud dari kata-kataku ini.
“Hidup ini harus dipandang dengan
mata yang abu-abu,” kataku padanya.
“Maaf aku hanya meyakini perjalanan
yang lurus.” Tukas pemuda itu penuh semangat.
Hari pun memanggil senja melintas di
cakrawala, masih banyak yang mesti diselesaikan, pada akhirnya aku hanya bisa
berpesan pada pemuda itu dengan penuh kasih sayang sebelum volvo-ku berbelok ke
arah keramaian:
“Berhati-hatilah menghadapi kejujuran,
kejahatan terjadi karena adanya rasa malas untuk berbicara pada kejujuran
tentang penderitaan yang harus dientaskan.”
Lalu tatap pemuda itu penuh dendam
menusuk jantungku. Tapi kemacetan di pertigaan jalan lebih menantang dari
tatapannya. Kutembus keramaian, keramaian seperti pusat kesunyian dari rasa
suntuk dan dendam kesumat orang-orang yang ada di balik kaca kendaraan.
4.
Siapa bilang negeri ini miskin?. Aku
saja sekarang sedang menyimpan uang miliaran, aku bingung mau kualirkan ke mana
lagi dana ini. Bahkan tiap hari di negeri ini terjadi ratusan juta hingga
miliaran transaksi.
Di jalan bebas hambatan, hampir tiap
jam kulihat truk besar mengangkut beratus-ratus sepeda motor dan kendaraan
mewah. Kalau tidak ada transaksi, mana bisa truk-truk itu berkeliaran bersama
debu jalanan.
Negeri ini bukan miskin tapi malas.
Malas mengumpulkan uang banyak, lalu orang memilih kredit jangka panjang untuk
memiliki sebuah rumah. Malas mendatangi rumah-rumah besar organisasi kami, lalu
memilih mengemis. Malas berjuang menegakkan kekuasaan lalu memilih menjadi teroris.
Malas menghadapi kecemasan lalu memilih berkonspirasi.
Aku tidak, dengarlah, aku tidak
pernah berniat berkonspirasi. Hanya aku bingung saja, uang miliran ini mau
kualirkan ke mana, akhirnya seorang pengusaha datang dengan cara meyakinkan
untuk meminjam uangku, maka bila besok berdiri sebuah apartemen berlantai 120
janganlah kalian menyalahkan keputusanku: di mata kalian pastilah aku seorang
penjahat organisasi yang membela kepentingan para pengusaha.
Aku pernah berniat mengalirkan uangku
untuk proyek besar pembangunan sistem transportasi, tapi orang-orang itu,
orang-orang yang menjadi corong para sopir bus dan angkutan umum, menghibaku
menjadi orang yang tak tahu diuntung. Mereka tak mau kehilangan pekerjaan.
Sementara diantara mereka, masih saja ada yang lebih menyukai berkendara dengan
kendaraan pribadi ketimbang kereta api atau alat transportasi yang sudah kami
sediakan.
Beruntung suatu hari bencana terjadi,
banjir dan gempa bumi, kualirkan dana itu pada mereka dengan penuh keikhlasan,
sebuah bencana akan membuat sebuah bangsa bisa berubah melihat dunia, itulah
yang disebut dengan fenomena cathastrope.
Aku juga pernah mengalirkan uang ini
pada orang-orang miskin, tapi payahnya usaha mereka tak pernah bertahan lama.
Dan uangku raib begitu saja. Aku jadi bulan-bulanan lawan politikku. Tapi
bukanlah aku, jika tak bisa bernegosiasi dengan cara yang paling canggih,
mereka lalu berusaha melupakan semuanya.
Uang yang terlalu lama terpendam di
sakuku membuatku sering tergoda untuk menggunakannya demi kepentingan
pribadiku. Istriku menyarankanku agar uang itu diendapkan pada sebuah usaha
restorasi. Aku tergoda, tak ada salahnya kupikir, pendapat istriku itu. Dari
pada mengendap terlalu lama. Toh, ini bukan korupsi, ini hanya upaya
mengendapkan dana supaya berbuah keuntungan. Dan dua setengah persen dari
keuntungan itu akan kusedekahkan pada kemiskinan. Biarlah mereka belajar
mengelola uang dengan jumlah yang kecil, nyatanya banyak orang kaya mendadak,
stress gara-gara uangnya menguap begitu saja.
Aku mulai memikirkan bagaimana uang
itu bisa dicairkan tanpa orang-orang audit itu tahu aku mencairkannya, caranya
mudah, aku buat saja rumah organisasi baru, agar orang-orang lingkaran dalam
yang menguasai kas organisasi percaya bagaimana aku selalu bekerja dengan baik.
Uang itu lalu mengalir dengan mudahnya. Tetapi rumah itu seperti rumah-rumah
yang lainnya tetap kosong tak berpenghuni. Tak ada kegiatan sama sekali.
Kalian tertarik menghuninya?
Datanglah ke dalam rumah-rumah
organisasi kami akan kuajarkan bagaimana berbuat jujur kepada diri kalian
sendiri, dan satu hal lagi yang akan kukatakan pada kalian tentang kejujuran,
ia adalah bagaimana caranya bertahan hidup.
Aku bingung ke mana uang ini harus
kualirkan? Kalian tak bisa menunggu, datanglah ke sini di rumah besar
organisasi kami.
***
Cikarang, 29 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar