Sang Eksekutor
Oleh: M Taufan Musonip
Oleh: M Taufan Musonip
Aku mencurigai apa yang telah sesungguhnya
terjadi di dunia ini, Brigitta. Tidak terjadi sebagaimana adanya kukira, dan
tiba-tiba aku hanya harus percaya pada merdu suara dawaimu. Apakah mungkin aku
harus mencinta Tuhan melalui dirimu, kasih. Dia seperti menjelma dalam jemari halusmu
dalam dawai, dalam merdu lagumu itu.
Tapi ketika kenyataan lewat di
kepalaku, aku harus bertanggung jawab pada peristiwa. Aku harus membunuh senja,
menikam pagi yang melingkupi tubuh kita. Melumuri keindahan dengan darah.
Sebab, kasihku, kau tahu aku adalah sang eksekutor, ditengah perebutan
orang-orang memperjuangkan kedamaian. Dan dengan darah kupersembahkan dawai
yang melekat di bahumu itu. Di dadaku suara dawaimu bersatu dalam kegelisahan: Dawaimu
menyayat-nyayat keberadaanku, kau menciptakan purnama, aku membunuhnya. Kau
memberiku pilihan, dan aku bertanggung jawab pada peristiwa, kupilih jalan
penuh darah sambil terus menghidupkan bayang-bayang kerinduan terhadapmu.
Matahari meringkuk di pembaringan,
bulan berendam di permandian. Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh malam,
kita adalah yang membuat semua peristiwa menjelma waktu.
Di jalan ada sebuah mobil
menjemputku, dawaimu terus melengking di jauhan, terekam dalam sukma
pendengaranku. Mata indahmu terus mengambang di jalanan, terbias oleh kabut
malam yang merenda setiap liku jalan.
***
Brigitta, Suara dawaimu masih tersisa
di jantungku.
Di sebuah gedung orang-orang tengah
mengadakan sebuah pesta. Resepsi pernikahan anak salah satu pembesar
organisasi. Aku hadir di dalamnya sebagai seorang pembunuh bayaran, menghuni
kamar lantai 11, dengan senapan yang kupasang di ambang jendelanya. Aku adalah
kecurigaan yang melintas dalam drama setiap ramah-tamah di gedung itu.
Semua akan baik-baik saja, manis.
Setelah aku menembak seorang lelaki yang ada dalam riuh pesta itu, kita akan
berlibur di Kuta, menikmati matahari terbit dan senja sepuas-puasnya. Dia
adalah Tomasoa seorang pemuda yang telah mengibarkan nama Jamalhari sebelum
pemilihan ketua organisasi, berlangsung beberapa tahun lalu. Dia terhubung
dengan banyak sarikat buruh, komunitas-komunitas sastra dan kelompok-kelompok
pemuda. Jamalhari menjanjikan kucuran dana melalui Tomasoa setelah satuan-satuan
itu mendukungnya.
Hidup tak hanya memerlukan kejujuran.
Tomasoa tak menyadari itu. Kekuasaan tak bisa hanya diperoleh hanya dalam
semalam. Jamalhari tak menyukainya bukan karena dia pandai mengobarkan
perjuangan kelompok-kelompoknya, tapi kehendak berkuasa yang bergerak tanpa
gelombang. Pelan-pelan diikrarkannya kata-kata revolusi yang membuatnya
mendapatkan simpati. Jamalhari tidak menyukai itu. Tapi upaya pertama Jamalhari
mencari kesalahan-kesalahan Tomasoa dalam organisasi, tidak berhasil. Tomasoa
pemuda lempang tak pernah ada
masalalu tercatat dia melakukan korupsi, padahal dalam teori konspirasi, semua
bisa terjadi. Kepandaian Tomasoa adalah kemampuannya mengalirkan bagian uang
dari kas organisasi untuk membiayai gerakan-gerakan pemuda bukan untuk
proyek-proyek besar organisasi. Maka dengannya Jamalhari mengutusku untuk
menembaknya.
Ini terlalu rumit untukmu, manis. Dan
aku tak berani mengatakan ini bagian dari pada seni berkuasa. Seni yang agung
tak bisa dikaitkan dengan cara-cara kotor. Tapi aku harus melakukannya, aku
menginginkan ada saat-saat bersama denganmu dalam sebuah liburan yang panjang
membiarkan diriku sendiri hanyut dalam dawaimu dan bercinta sepuas mungkin.
Aku amati semua orang dalam teropong
senapanku di gedung itu, tiba-tiba saja aku merasakan diriku seperti Penembak
Misterius dalam kisah “Keroncong Pembunuhan” yang ditulis oleh Sukab.
Kisah-kisah yang pernah kau kirimkan ketika aku berada di Boston mengikuti
pelatihan intelejen. Ah, manis, realitas dan fiksi nyatanya hanya dipisahkan
oleh garis tipis, dan aku sering mendapati diriku adalah lakon yang dihadirkan
seorang pengarang. Setiap peristiwa memiliki pengarangnya sendiri. Pengarang
kupikir adalah seseorang yang telah mengubur realitas demi realitas yang diciptakannya sendiri.
Tapi jangan pernah berpikir bahwa
lakon Budong, kekasihmu ini diciptakan oleh Jamalhari, bukan. Jamalhari hanya
bagian tokoh lain yang berbeda karakter saja, ada pengarang yang menciptakannya
pula, dan aku tak bisa mengantarmu sampai pada siapa pengarang itu.
Aku hanya ingin suatu saat engkau
tahu, bahwa aku mencintaimu dengan peluru-peluru yang tertanam di dada-dada
orang yang menginginkan lebih cepat kematiannya.
Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul
tujuh. Waktu adalah peristiwa saat aku tembakan peluru di dada pemuda itu. Dan
kita akan berlibur di Kuta, menikmati senja dan bercinta sepuas-puasnya.
***
Setelah menembak Tomasoa, Mobil yang
tadi menjemputku tak juga tiba di pelataran parkir. Padahal sopir itu sudah kuperintahkan
untuk menjemputku secepatnya saat dia mendengar suara tembakan untuk Tomasoa.
Aku terpaksa menumpang sebuah taksi.
Kau pasti masih memainkan dawaimu, manis. Dawaimu adalah inspirasiku untuk
membunuh. Aku ingin membawakanmu dawai yang baru, dan aku harus berhenti di
sebuah pusat kota, untuk membelinya.
Tapi di jalanan, langit biru itu memendarkan
cahaya, sebuah helikopter berkeletar di atas taksi yang aku tumpangi. Beberapa kendaraan
patroli mengepungku. Kutodongkan pistolku pada sopir. Dia sopir yang mahir ternyata,
mampu mengimbangi kecepatan mobil-mobil patroli itu.
Aku berhasil memasuki jalan-jalan
sempit, dan menyaksikan beberapa mobil dan sepeda motor patroli saling
bertabrakan karena ulah sopirku. Pada sebuah gang aku akhirnya meninggalkan
taksi itu, helikopter masih mengintaiku dengan lampu sorotnya di atas kepala, anginnya
berkepusu menerbangkan atap-atap seng bedeng-bedeng kumuh.
Aku menuju sebuah tempat gelap
menghindari kecurigaan orang-orang yang memburuku. Sebuah lorong kumuh bau dan
penuh bacin. Beberapa orang gelandangan tiba-tiba keluar dari lubang itu dan
mematung di jalanan gang. Di atap-atap rumah penduduk bayang-bayang sepasukan
penembak dan beberapa patroli menyelidiki keberadaanku.
Kubuka ponselku untuk menanyakan pada
salah seorang staff Jamalhari, tentang pengejaran para polisi itu terhadapku.
Staff itu mengatakan bahwa jalan cerita telah berubah. Dia tidak memberikan
alasan adanya perubahan itu.
“Serahkan saja dirimu, tak lama kami
akan membebaskanmu.” Begitu ujarnya.
Tapi tiba-tiba aku merasa kecurigaan
melingkupiku. Aku memilih diam dalam gelap dan membiarkan orang-orang
bersenjata itu terus bergerak mencariku. Kupeluk revolverku, sambil terus
mendengarkan senandung dawaimu yang selalu terekam dalam sukma pendengaranku.
Aku kangen kamu Brigitta.
***
Cikarang, 26 Oktober 2011
Dimuat di HU Lampung Post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar