Minggu, 20 November 2011

Cerpen

Sang Eksekutor
Oleh: M Taufan Musonip

Aku mencurigai apa yang telah sesungguhnya terjadi di dunia ini, Brigitta. Tidak terjadi sebagaimana adanya kukira, dan tiba-tiba aku hanya harus percaya pada merdu suara dawaimu. Apakah mungkin aku harus mencinta Tuhan melalui dirimu, kasih. Dia seperti menjelma dalam jemari halusmu dalam dawai, dalam merdu lagumu itu.
Tapi ketika kenyataan lewat di kepalaku, aku harus bertanggung jawab pada peristiwa. Aku harus membunuh senja, menikam pagi yang melingkupi tubuh kita. Melumuri keindahan dengan darah. Sebab, kasihku, kau tahu aku adalah sang eksekutor, ditengah perebutan orang-orang memperjuangkan kedamaian. Dan dengan darah kupersembahkan dawai yang melekat di bahumu itu. Di dadaku suara dawaimu bersatu dalam kegelisahan: Dawaimu menyayat-nyayat keberadaanku, kau menciptakan purnama, aku membunuhnya. Kau memberiku pilihan, dan aku bertanggung jawab pada peristiwa, kupilih jalan penuh darah sambil terus menghidupkan bayang-bayang kerinduan terhadapmu.
Matahari meringkuk di pembaringan, bulan berendam di permandian. Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh malam, kita adalah yang membuat semua peristiwa menjelma waktu.
Di jalan ada sebuah mobil menjemputku, dawaimu terus melengking di jauhan, terekam dalam sukma pendengaranku. Mata indahmu terus mengambang di jalanan, terbias oleh kabut malam yang merenda setiap liku jalan.
***


Brigitta, Suara dawaimu masih tersisa di jantungku.
Di sebuah gedung orang-orang tengah mengadakan sebuah pesta. Resepsi pernikahan anak salah satu pembesar organisasi. Aku hadir di dalamnya sebagai seorang pembunuh bayaran, menghuni kamar lantai 11, dengan senapan yang kupasang di ambang jendelanya. Aku adalah kecurigaan yang melintas dalam drama setiap ramah-tamah di gedung itu.
Semua akan baik-baik saja, manis. Setelah aku menembak seorang lelaki yang ada dalam riuh pesta itu, kita akan berlibur di Kuta, menikmati matahari terbit dan senja sepuas-puasnya. Dia adalah Tomasoa seorang pemuda yang telah mengibarkan nama Jamalhari sebelum pemilihan ketua organisasi, berlangsung beberapa tahun lalu. Dia terhubung dengan banyak sarikat buruh, komunitas-komunitas sastra dan kelompok-kelompok pemuda. Jamalhari menjanjikan kucuran dana melalui Tomasoa setelah satuan-satuan itu mendukungnya.
Hidup tak hanya memerlukan kejujuran. Tomasoa tak menyadari itu. Kekuasaan tak bisa hanya diperoleh hanya dalam semalam. Jamalhari tak menyukainya bukan karena dia pandai mengobarkan perjuangan kelompok-kelompoknya, tapi kehendak berkuasa yang bergerak tanpa gelombang. Pelan-pelan diikrarkannya kata-kata revolusi yang membuatnya mendapatkan simpati. Jamalhari tidak menyukai itu. Tapi upaya pertama Jamalhari mencari kesalahan-kesalahan Tomasoa dalam organisasi, tidak berhasil. Tomasoa pemuda lempang tak pernah ada masalalu tercatat dia melakukan korupsi, padahal dalam teori konspirasi, semua bisa terjadi. Kepandaian Tomasoa adalah kemampuannya mengalirkan bagian uang dari kas organisasi untuk membiayai gerakan-gerakan pemuda bukan untuk proyek-proyek besar organisasi. Maka dengannya Jamalhari mengutusku untuk menembaknya.
Ini terlalu rumit untukmu, manis. Dan aku tak berani mengatakan ini bagian dari pada seni berkuasa. Seni yang agung tak bisa dikaitkan dengan cara-cara kotor. Tapi aku harus melakukannya, aku menginginkan ada saat-saat bersama denganmu dalam sebuah liburan yang panjang membiarkan diriku sendiri hanyut dalam dawaimu dan bercinta sepuas mungkin.
Aku amati semua orang dalam teropong senapanku di gedung itu, tiba-tiba saja aku merasakan diriku seperti Penembak Misterius dalam kisah “Keroncong Pembunuhan” yang ditulis oleh Sukab. Kisah-kisah yang pernah kau kirimkan ketika aku berada di Boston mengikuti pelatihan intelejen. Ah, manis, realitas dan fiksi nyatanya hanya dipisahkan oleh garis tipis, dan aku sering mendapati diriku adalah lakon yang dihadirkan seorang pengarang. Setiap peristiwa memiliki pengarangnya sendiri. Pengarang kupikir adalah seseorang yang telah mengubur realitas  demi realitas yang diciptakannya sendiri.
Tapi jangan pernah berpikir bahwa lakon Budong, kekasihmu ini diciptakan oleh Jamalhari, bukan. Jamalhari hanya bagian tokoh lain yang berbeda karakter saja, ada pengarang yang menciptakannya pula, dan aku tak bisa mengantarmu sampai pada siapa pengarang itu.
Aku hanya ingin suatu saat engkau tahu, bahwa aku mencintaimu dengan peluru-peluru yang tertanam di dada-dada orang yang menginginkan lebih cepat kematiannya.
Arlojiku sudah kumatikan tepat pukul tujuh. Waktu adalah peristiwa saat aku tembakan peluru di dada pemuda itu. Dan kita akan berlibur di Kuta, menikmati senja dan bercinta sepuas-puasnya.
***
Setelah menembak Tomasoa, Mobil yang tadi menjemputku tak juga tiba di pelataran parkir. Padahal sopir itu sudah kuperintahkan untuk menjemputku secepatnya saat dia mendengar suara tembakan untuk Tomasoa.
Aku terpaksa menumpang sebuah taksi. Kau pasti masih memainkan dawaimu, manis. Dawaimu adalah inspirasiku untuk membunuh. Aku ingin membawakanmu dawai yang baru, dan aku harus berhenti di sebuah pusat kota, untuk membelinya.
Tapi di jalanan, langit biru itu memendarkan cahaya, sebuah helikopter berkeletar di atas  taksi yang aku tumpangi. Beberapa kendaraan patroli mengepungku. Kutodongkan pistolku pada sopir. Dia sopir yang mahir ternyata, mampu mengimbangi kecepatan mobil-mobil patroli itu.
Aku berhasil memasuki jalan-jalan sempit, dan menyaksikan beberapa mobil dan sepeda motor patroli saling bertabrakan karena ulah sopirku. Pada sebuah gang aku akhirnya meninggalkan taksi itu, helikopter masih mengintaiku dengan lampu sorotnya di atas kepala, anginnya berkepusu menerbangkan atap-atap seng bedeng-bedeng kumuh.
Aku menuju sebuah tempat gelap menghindari kecurigaan orang-orang yang memburuku. Sebuah lorong kumuh bau dan penuh bacin. Beberapa orang gelandangan tiba-tiba keluar dari lubang itu dan mematung di jalanan gang. Di atap-atap rumah penduduk bayang-bayang sepasukan penembak dan beberapa patroli menyelidiki keberadaanku.
Kubuka ponselku untuk menanyakan pada salah seorang staff Jamalhari, tentang pengejaran para polisi itu terhadapku. Staff itu mengatakan bahwa jalan cerita telah berubah. Dia tidak memberikan alasan adanya perubahan itu.
“Serahkan saja dirimu, tak lama kami akan membebaskanmu.” Begitu ujarnya.
Tapi tiba-tiba aku merasa kecurigaan melingkupiku. Aku memilih diam dalam gelap dan membiarkan orang-orang bersenjata itu terus bergerak mencariku. Kupeluk revolverku, sambil terus mendengarkan senandung dawaimu yang selalu terekam dalam sukma pendengaranku.
Aku kangen kamu Brigitta.
***
Cikarang, 26 Oktober 2011
Dimuat di HU Lampung Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar