Sorot Mata
Oleh: M
Taufan Musonip
1/
Orang yang
kupanggil lewat telepon itu begitu girang saat kukabarkan bahwa dirinya
diterima bekerja di perusahaan di mana aku bekerja.
Aku tahu,
sebelum ini dia memanggul beban yang berat. Sebagai seorang lelaki dia memiliki
tanggung jawab menafkahi anak dan istrinya. Maka saat kukabarkan kepadanya
bahwa dirinya layak menjadi karyawan, setidaknya aku telah meringankan beban
lelaki itu sebagai kepala rumah tangga.
Aku turut
bahagia. Sebab sebagai seorang lelaki aku pernah mengalami betapa bahagianya
jika aku bisa bekerja dari masa menganggur yang lumayan lama.
“Kau lulus,
karena selain bisa menyetir, pengalamanmu bekerja sebelumnya membuat perusahaan
memilihmu.” Kataku.
Dengan
memilihnya aku telah mengorbankan calon pekerja yang lain untuk tidak
meloloskannya. Semoga aku tidak salah pilih.
Yang aku suka
darinya adalah kepandaiannya berbicara. Dengan kelihaian berbicara seseorang
telah mengangkat dirinya sendiri dari manusia biasa menjadi manusia luar biasa.
Itulah yang kutahu tentang ilmu retorika Aristoteles.
Maka
kehadirannya adalah harapan untuk membesarkanku. Kupikir dia lelaki yang dapat membantu
meloloskanku untuk meraih jabatan yang lebih tinggi dari sekarang. Jika itu
terjadi maka aku dan dia akan berbagi kebahagiaan. Aku akan membahagiakan
keluargaku sebagaimana dia.
2/
Aku kemudian
berhadapan dengan sorot matanya. Itu adalah lubang mata yang dalam yang hampir
saja tatapanku tak dapat merengkuh maksudnya. Perkenalan adalah dua tatapan
yang saling bertemu untuk menggali maksud awal dari sorot mata seseorang.
Tapi kupikir
dia sepadan. Sepadan, dalam artian pada akhirnya dia bisa mengerti apa yang
membeku dalam lidahku. Apa yang selama ini selalu tersimpan dalam pikiran akan
mendapat peraduannya.
Selama ini
aku tak dapat membuka lubang kunci mulut atasanku. Dia ekspat, masih terhambat untuk bisa sekedar mengerti apa yang ingin kuutarakan
demi kemajuan perusahaan. Bukan hanya persoalan bahasa. Tetapi dia cukup keras
kepala untuk menerima semua pendapatku. Mungkin karena ekspat, dia tak mau dikatakan aku lebih pintar darinya. Menjadi ekspat bukankah dia telah membawa
identitas kebangsaan yang terkandung dalam dirinya? Apa jadinya jika aku
sebagai seorang pribumi akan lebih pintar darinya? Apalagi dia seorang bos.
Atau memang aku tak memiliki kemampuan untuk mempengaruhinya?
Maka aku
selalu ingin membuktikan semua pendapatku benar. Tapi aku perlu seseorang untuk
pembuktian itu. Orang baru ini kupikir bisa membantuku. Aku percaya pada sorot
matanya, setidaknya untuk permulaan: orang ini memiliki bentuk mata yang cukup
tangguh dalam menghadapi apapun.
Ternyata
benar, dia mampu menyelesaikan transaksi-transaksi yang kuperintahkan kepadanya
untuk menyelesaikannya. Secepat kilat dia dapat mengenal dekat para klien,
tahap ini aku dapat melihat sorot matanya yang penuh daya pikat.
Keberhasilan
yang membuat atasanku tertawa lebar. Dan kupikir ini adalah keberhasilanku
pula.
Ternyata
orang baru ini bukan sekedar pintar menciptakan transaksi. Dia dapat membantuku
menjawab persoalan-persoalan kantor yang sudah bertahun-tahun tidak terjawab.
Perlahan-lahan aku dapat menyelesaikannya satu persatu atas sarannya. Dengan ini
pekerjaanku semakin bertambah meski gaji yang kudapatkan masih sama seperti
yang dulu, setidaknya ini adalah titik awal keberhasilan.
Atasanku
kembali tertawa lebar. Dan membuat aku terus bersemangat menyelesaikan masalah
kantor satu demi satu. Dan dengan itu intensitas hubunganku dengannya semakin
berkurang.
Kulihat ada
sorot mata yang lain yang berpancar dari orang baru itu. Saat dia kepergok
bersama atasanku mengitari pabrik, para operator, dan mesin produksi. Sesuatu
yang sering kulakukan sebelum sibuk seperti sekarang. Dalam sorot matanya
kulihat pancaran siasat yang licik. Apa aku tidak salah memilihnya sebagai
bawahanku?
Kemampuannya
berbicara dapat mempengaruhi bosku dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
lain.
3/
Akhirnya kami
duduk dalam satu meja. Atasanku, Orang baru itu, dan aku. Ini adalah momentum
yang aku tunggu-tunggu. Pasti atasanku akan mengumumkan pengangkatanku sebagai
seorang manajer.
Kami
bersulang dengan bir, seperti yang biasa dilakukan oleh para eksekutif muda
saat merayakan keberhasilan.
Maka saat itu
adalah paling menentukan hidupku. Atasanku memilih Hendrikus orang baru itu
sebagai seorang manajer baru. Dan aku hanya menjadi bulan-bulanan euphoria
mereka saja.
Aku seperti
dipaksa menangkap bintang diangkasa bersama bir yang sudah aku tenggak. Aku tak
mampu mabuk, meski atasanku menginginkannya. Hanya kepalan tinju yang kulipat di dada, dengan berpura-pura
turut bahagia. Apakah aku telah salah memilih orang baru itu?
“Kau tak
salah memilih dia!” Seru atasanku setengah mabuk sambil menunjuk ke muka orang
baru itu. Mereka kemudian tertawa. Aku juga tertawa, pura-pura tertawa.
4/
Kalau aku
menjadi manajer aku bisa membelikan rumah untuk anak istriku. Ternyata
kebahagiaan Hendrikus diterima bekerja di perusahaanku tak membuat aku lebih
bahagia.
Istriku murka
mendengar semuanya. Bertahun-tahun mengabdi, yang didapat hanya rasa kecewa.
Yang layak menjadi manajer seharusnya aku. Tetapi atasanku tak menghargai
sedikitpun pilihanku terhadap orang baru itu. Ucapan tak cukup. Aku
menginginkan kekuasaan. Sebagai seorang lelaki aku menginginkan kekuasaan.
“Papa harus
bilang sama Mr Jay. Kalau tidak Papa akan terus disepelekan. Coba takut-takuti
dengan pengunduran diri, kalau memang dibutuhkan dia akan takut kehilanganmu.”
Kata istriku disuatu malam sambil melipat pakaian seragam anakku, setelah
disetrikanya.
Kata-kata itu
terus mengiang ditelingaku. Kupikir benar apa kata istriku, kekuasaan adalah
hak semua orang.
Maka
kusampaikan apa yang menjadi keinginanku. Tapi Mr Jay tak mau terima, dan jika
itu pilihannya mundur, dia menyarankanku untuk mundur saja. kali ini ucapan
bukan lagi retorika. Ucapan kali ini adalah bumerang yang dapat menyayat lidah
sendiri. Begitu sakit.
Hendrikus
berhasil menjadi kaki tangan Mr Jay kepadaku dia berkata, “hati-hati dengan
bicara. Bicara harus singkron dengan pikiran.”
Pikiran Yang
bagaimana?.
“perusahaan
tidak membutuhkan pekerja, tapi pekerja yang membutuhkan perusahaan.” Lanjut
Hendrikus.
Aku mendebat,
Karyawan dan perusahaan sama-sama saling membutuhkan. Tapi dia menimpal, “kamu
keluar besok juga sudah ada penggantinya, di belakangmu beribu-ribu manusia
mengantre untuk mendapatkan pekerjaan.”
Mr Jay merasa dibela. Senyumnya sinis
dimataku. Lalu aku memperhatikan dan baru sadar bahwa mata Mr Jay dan Hendrikus
sama-sama memiliki mata yang sipit. Sama-sama memiliki sorot mata yang licik.
Apa karena persoalan bentuk mata Mr Jay lebih memilih Hendrikus daripada aku?
“Aku salah
telah memilihmu Hendrikus!.” Kataku dalam hati. Dan karena merasa ditelikung
aku memilih mengundurkan diri. Perebutan kekuasaan memang selalu menyakitkan.
Tapi rasa sakit selalu membuat orang sepertiku ingin memuntahkan amarah dari
luka-luka kecil yang selama ini terbendung.
Saat itu
entah mengapa aku mulai mengorek informasi. Dari sopir pribadi atasanku tentang
apa-apa yang biasa dikerjakan atasanku sekarang.
“Pada malam
hari dari bar biasanya mereka akan menuju lounge di sudut kota, atau bermain
biliar sampai pagi.”
“bar mana?”
Tanyaku.
“…”
Ah, itu nama
bar yang biasa aku datangi bersama klien saat Hendrikus belum genap menjadi
kaki tangan atasanku.
Entah apa
yang akan aku lakukan. Yang jelas aku merasa marah dengan apa yang mereka
lakukan. Mereka berbahagia dari transaksi-transaksi besar yang aku ciptakan
baik melalui tangan Hendrikus maupun diriku sendiri.
5/
Di
persimpangan jalan, di muka sebuah bar pistolku menanti dua orang yang ingin
kuhabisi. Masih ada kesempatan untuk mempertimbangkan bagaimana aku dapat
menunjukan sorot mataku yang lebih hebat dari mereka. Mata bulat yang memuat
dendam dan rasa sakit selama bertahun-tahun.
Pukul 23.30
pada arlojiku. Tuhan dimana? Tuhan seperti tukang pembuat arloji yang telah
membiarkan ciptaannya bergerak sendiri.
Sementara aku
masih mengintai mereka dalam suka cita bersama para klien di balik jendela yang
sudah lama berkabut. Sejenak terdiam memangku dagu, tak jauh dari bar laju kendaraan
dan stopan lampu merah masih menandakan denyut kehidupan perkotaan. Apa
maksudnya semua ini?
Dunia seperti
tak pernah tidur. Ada yang resah dan bahagia, semua terjaga. Dimana kebahagiaan
sebenarnya?, jika orang-orang masih menikmatinya dalam keterjagaan.
Aku ingin
terlelap. Tapi tugas belum di selesaikan…
Dan malam
semakin larut. (*)
Cikarang, 17
Maret 2010
Dimuat di HU
Berita Pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar