Rabu, 02 November 2011

Esai

-->Dari Puisi ke Aksi

---Hasil Pembacaan Buku Mata Yola Penyair Yoyong Amilin
Oleh M Taufan

An Nifari, dalam Al Mawaqif Al Mukhathabat, menulis puisinya dimulai dari rasa merdeka jiwanya terhadap dunia. Menulis puisi berarti membangun posisi yang menentang arus pengetahuan. Sebuah katarsis, yang memunculkan kredo. Semacam transendensi kepada struktur baru, mengenai bentuk penciptaan prinsip berpuisi. Maka pada posisi ini, penyair betul-betul mandiri.
Puisi tak pernah lepas dari dua pendekatan, kontemplatif dan konseptis. Sang pencinta aksiden, Sutardji Calzoum Bahri, puisi-puisinya, meskipun lekat dengan mantra, yang seolah-olah anti intelektual itu tak dapat dilepaskan dari kredonya: jika puisi adalah kursi, maka ia bukan tempat duduk, melainkan kursi itu sendiri.

Bagi Sutardji, puisi tak lain adalah cara pengucapan. Maka dalam hal ini ia memilih puisi sebagai mantra. Al Mukhathabat, tak lain adalah cara pengucapan itu. Oleh karenanya konsep menulis puisi tak pernah lepas dari kerja kontemplatifnya sang penyair.
Ada baiknya memang kontemplasi ditujukan kepada penciptaan konsep-konsep baru dalam berpuisi, baru setelah itu memikirkan bagaimana cara pengucapannya, diksi-diksi yang digulirkannya, dan secara otomatis penampilan puisi akan dipengaruhi konsep-konsep yang diyakininya.
Bisa jadi sangat sedikit penyair-penyair yang kontemplasinya diarahkan kepada konsep-konsep penulisan puisi. Kontemplasi sering diarahkan pada bahasa apa yang akan dibangun dalam menulis puisi, sehingga proses berpuisi semata-mata memindahkan kejadian atau apa-apa yang dicemaskan kedalam kertas. Hasilnya penulisan puisi bukan upaya pembangunan orisinalitas.
Bentuk diksi bisa jadi sama, apa yang dibicarakan juga demikian, tapi konsepnya akan membantu puisi-puisinya hadir sebagai ruang perenungan, karena ia akan membicarakan sebuah struktur yang menceritakan hakikatnya sebuah puisi itu berdiri. Sebuah kelindan kehampaan yang mampat mendesak kediriannya.
Misalkan puisi-puisi An Nifari sendiri, cara pengucapan yang mirip sebagai puisi wahyu, yang nampak menyesatkan itu,
Hai Hamba
Cukupkanlah hanya dengan-Ku
Akan kau lihat fakirnya segala sesuatu
Proses sampai pada puisi itu, adalah upayanya dalam membangun hubungan yang mesra dengan Yang Maha Kuasa. Sehingga dimatanya dunia beserta pengetahuan tentangnya hanya semata-semata buih dilautan, meretas lalu pecah. Maka di depannya ia ada, sebagai pertanda kemandirian, yang lepas dari cengkraman dunia,  lepas pula dari kekangan pesan ilmu pengetahuan.
Prinsip Al Mawaqif, yang berdasar kepada kata dasar Waqfah, atau positioning itulah sebagai pertanda merasuknya kekuatan Ilahi padanya, yang berkuasa atas dunia sebagai kritik terhadap manusia modern yang terkuasai oleh dunia.
Waqfah sendiri dikatakan Nifari sebagai api yang melalap tubuh. Setara dengan apa yang dikatakan Foucault tentang kehendak mengetahui segala sesuatu, bergeraklah dua arah, tentang gaung keabadian dan tentang bergulirnya kreatifitas. Waktu “mengada” dalam imaji kreatif menggerus umur, maka setiap “ada” adalah bentuk kearah keabadian. Keabadian selalu sinergi dengan waktu kreatif, semestinya.
Demikian halnya pembacaan saya atas buku puisi buah karya penyair Yoyong Amilin (Mata Yola, Hasfa Arias Publishing, 2011). Puisi pendeknya mula-mula dibaca sebagai konsep yang merupakan tanda kerja kontemplasinya, lalu kita membacanya bagaimana cara pengucapannya, sebuah ruang yang mewahadi tentang hakikat yang dialami Sang Penyair.
Membaca puisi pendek karya Yoyong Amilin akan tertambat pada strukturnya. Maka ia membutuhkan diskursus untuk menjelaskan tentang esensi estetiknya, bukan makna bahasa yang terkandung dalam diksinya. Menggeledah makna yang tersembunyi dalam bait sebuah puisi di jaman penafsiran destruktif sudah banyak ditinggalkan pembaca.
Bentuk Penyadaran
Menurut saya puisi-puisi pendek adalah bentuk penyadaran, bahwa bahasa bagaimanapun panjangnya tak dapat menampung apa yang ingin dibicarakan. Bahasa terlalu sempit dan pendek untuk menampung apa yang diinginkan hakikat.  Itu yang pertama.
Selanjutnya, penyair sadar, puisi tak pernah minta diselesaikan dan tak pernah selesai. Maka puisi adalah jalinan transendensi ke strukturnya, ia adalah semacam mandala, yang menganga lubang kosong menuju sisi eksoternya.
Meminjam istilah Kuntowijoyo tentang strukturalisme transenden, puisi mengatur dirinya sendiri, membuat dirinya selalu ada dalam setiap jaman, melalui setiap pembacaannya. Bentuknya akan selalu sama, penafsiran dari jaman ke jamannya akan berubah.
Puisi semacam reproduksi atomik, yang merupakan ruang hela bagi kausalitas yang membosankan.  Di dalamnya tak pernah terlintas tentang pertanyaan, lebih dulu mana, ayam atau telor?. Tetapi ia adalah sebuah simbol sentral tentang keabadian yang dikelilingi sang ada, yang terus bereproduksi karenanya.
Puisi berpeluang memberi kekuatan kepada setiap aktifitas manusia, berpotensi memberi ruh terhadap gerak manusia. Segala penulisan puisi, yang tak pernah selesai itu akan segera diselesaikan kepada aksi, segala pembacaan terhadap absurditas puisi adalah penyelaman lautan kehidupan, sehingga puisi memberi inspirasi.
Kelindan transendensi ruh kepada eksoternya, adalah pernyataan bahwa keabadian akan selalu membawa manusia memenuhi kebutuhan dirinya secara sosial, politis, religius dan ekonomis melalui pembacaan masing-masing.
Lihat misalnya puisi tentang swalayan,
mimpi-mimpi terpajang
di etalase kaca
Apa yang harus dilakukan tentang itu semua sebagai pembaca, bukan sekedar mengatasi mimpi untuk dirinya sendiri. Tapi ia Politis karena mimpi adalah rasa sakit kaum tertindas, yang musti di selesaikan melalui kesadaran organis, supaya mampu bermanuver terhadap kekuasaan yang menindas.
Ekonomis karena selama ini putaran uang masih terus berputar dikalangan atas, sistem pasar modern selalu menarik uang langsung ke pusat, berbeda dengan sektor ril yang memutarkan uang di pinggiran. Membeli rokok di sebuah kios akan memutarkan uang di toko kelontongan ke grosir ke pasar basah, sektor ril selalu memutarkan roda ekonomi lebih dasyat ketimbang sistem pasar modern.
Religius karena ia mendorong kesadaran kolektif untuk menyelesaikan rasa tertindas itu.
Dus, puisi dalam hal ini adalah abstraksi bagi pembicaraan-pembicaraan tentang realitas yang melingkupinya secara terus menerus. Puisi bukan asimetris terhadap aksi, apapun bentuknya, meski hendak dibilang bahwa ia adalah estetika tanpa keterjajahan dari pada pesannya.
Bukankah kemandirian adalah upaya melepaskan jerat ketertindasan?. Bisa jadi ruang kosong itu adalah upaya mengilhami pembacaan menuju pembebasan, dan Tuhan adalah aksi itu sendiri, Yang Maha Menggerakkan.
***
Cikarang, 9 Desember 2010

1 komentar: