---Sebuah Pengantar Untuk Buku Penyair
Ade Riyan Purnama
Oleh: M Taufan Musonip
merenung
hujan kemunafikan
wajah-wajah
asing
bersimpang
pandang…
(Kalender Lalu, h.1)
Padahal
seperti kebiasaan saya menulis ulasan, saya selalu menggunakan metode deduksi:
setiap karya tak pernah lepas dari cara pandang dan lingkungan di mana penyair
tinggal.
Sementara saya harus
melupakan metode deduksi, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, bahwa
nyatanya menjadi penyair itu memang merangsang orang secara das ding an sich memiliki multiple
kemampuan, alasannya klasik karena profesi penyair masih terkucilkan dalam
dunia kerja dan belum juga dapat dijadikan profesi untuk meraih kekayaan, maka
ia selalu mencari sambihan pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
Rata-rata seorang penyair menjadikan pekerjaan menulisnya sebagai kerja
ekspresi, dan ekspresi itu perlu biaya. Pekerjaannya yang lain akan mensupport
kerja ekspresi itu.
Di sini saya merasa
diingatkan oleh ungkapan Schact tentang alienasi, bahwa pada ciri masyarakat
modern, orang-orang seharusnya tidak lagi takut pada keterasingan. Secara
sengaja keterasingan diciptakan untuk membangkitkan multiple kemampuan, menjadi
penyair tidak harus anti marketing dan tidak harus selalu menyepi.
Di Indonesia, khususnya
kesastraan Indonesia, dunia kepenyairan berkembang dalam kantong-kantong
komunitas. Komunitas secara aktif mampu melihat bakat baru dari berbagai lintas
profesi yang ada di dalamnya dan mendorong penerbitan buku. Komunitas menjadi
semacam agen pencarian bibit baru, sekaligus pusat transaksi: apapun yang
terjadi hubungan antar manusia tak pernah luput dari aktifitas ekonomi.
Ironisnya, seperti
dikatakan para penyair kebanyakan, sajak selaludikatakan lepas dari nilai
komoditas. Beberapa penyair baru yang mengeluarkan koceknya sendiri untuk
menerbitkan buku secara indie ---dengan biaya yang tidak kecil--- tak pernah
benar-benar berniat mengedarkan bukunya secara murni bisnis. Penerbitan buku
sajak hanya bagian dari ekspresifitas para penyair menggulirkan maha karyanya,
jika tidak berharap mendapat awards di masa mendatang.
Sajak bagaimanapun selalu
membuat pasar komunitas bergairah. Adanya penerbitan buku puisi membuat dapur penerbitan
dan para kritikus dan pengulas selalu ngebul. Sajak selalu unik, ia selalu
menjadi pusat perhatian karena karakternya yang sangat murni artistik. Sajak
bagaimanapun adalah barang mahal, sebuah artefak seni yang dapat memperkaya
aktifitas para penghuni komunitas. Menjual sajak di dalam komunitas harus lebih
mencengangkan dari pada menjual novel populer di masyarakat umum. Sajak menjual
ide bukan menjual cover buku. Sajak memendam inspirasi bukan semata-mata
layout.
Tentang Kegilaan
Maka menurut Foucault
kehadiran sebuah buku bukanlah karena ia akan hadir dalam data ISBN dan tertata
di lemari perpustakaan. Tetapi ia adalah semacam jejak arkeologi sang penulis
dimana bukunya banyak dibicarakan dalam satu jaman tertentu.
Arkeologi pengetahuan
dalam pandangan Foucault adalah semacam rentetan diskursus yang melingkupi
sebuah maha karya. Maha karya yang baik adalah maha karya yang selalu
menginspirasi orang untuk menulis buku. Itulah mengapa kehadiran kitab
suci selalu membuat para wali/saint
(termasuk filsuf ateis sekalipun) menerbitkan bukunya mengenai apa-apa yang
diyakininya dalam hasil pembacaan kitab suci.
Sajak selalu memberi
ruang kegiatan heurmeneutika, tetapi yang lebih signifikan dalam hal ini adalah
bagaimana sajak menjadi semacam ekspresi kegilaan, agar benar-benar bernilai
arkeologis.
Kenapa? Karena dunia ini
butuh kegilaan. Kegilaan menciptakan keretakan, kegilaan menciptakan
diskontinuitas sejarah. Dalam sebuah dunia yang mapan dan mulai absolut
kegilaan diperlukan. Jaman dahulu para nabi mengalami semacam kegilaan ini.
Mula-mula mereka menyepi sebagai bentuk upaya refleksi keadaan masyarakatnya,
lalu mengalami pengalaman gaib pewahyuan, esok pagi menentang angin di sebuah
batu besar menyampaikan wahyu itu pada khalayak ramai.
Kegilaan itu penuh resiko,
menyampirkan nyawa pada jurang pergulatan hidup, bahkan sang gila hampir lupa
akan hidupnya. Muhammad sejatinya pernah dikatakan sebagai seorang penyair yang
ditunggu-tunggu kematiannya oleh orang Arab jahiliyah.
Begitulah sejatinya,
letupan sejarah selalu diliputi orang-orang yang berani gila. Karena kegilaan
selalu menciptakan kawasan baru sebagai antitesis kemapanan hingga despotisme.
Nietzsche hari ini banyak dibicarakan orang karena maha karyanya pernah dinilai
menentang despotisme agama, sementara Al
Hallaj telah menciptakan kawasan sufisme sebagai antitesa kemapanan eksoterisme
dengan menyerahkan nyawanya di tiang salib.
Sajak-sajak pada buku
puisi penyair ini tengah dalam proses menjangkau kegilaan itu. Semua sajaknya
mengandung rekam jejak kontemplatif, kesendirian dan spiritualitas. Upaya
kontemplatif itu berdasarkan kepada pengalaman hidupnya yang nampak getir:
bulan itu bukan bualan
bulan itu adalah penantian ejaan-ejaan bulan
sebentar benderang lalu tertutup awan
mereka tak mampu maju ke depan
hanya terdiam menuggu hujan tertutup awan
hujan untuk kaum kekurangan dan kelaparan
kedinginan, biru menderu semakin sayu
air mata bercampur hujan
berbantal tangan sebelah kanan
meringkuk kardus tebal
hingga terlelap di pangkuan malam
bulan itu adalah penantian ejaan-ejaan bulan
sebentar benderang lalu tertutup awan
mereka tak mampu maju ke depan
hanya terdiam menuggu hujan tertutup awan
hujan untuk kaum kekurangan dan kelaparan
kedinginan, biru menderu semakin sayu
air mata bercampur hujan
berbantal tangan sebelah kanan
meringkuk kardus tebal
hingga terlelap di pangkuan malam
(Cahaya Malam, h.45 )
Penyair mencoba
menjadikan sajaknya semacam simulakrum tertentu hasil dari pergulatan batinnya
dengan penderitaan. Ini sangat logis, setiap penderitaan akan selalu terbit
phantasme: sebuah keadaan ketaksadaran yang pengalamannya akan lebih nyata dan
bergairah ketimbang kehidupan itu sendiri.
Orang-orang kreatif akan
menuntaskan phantasme dengan mendirikan bangunan simulakra yang menutupi
dirinya sendiri bak sebuah toples kristal indah, muasal peristiwa. Sajak adalah
toples kristal indah yang menarik hati orang untuk menikmati kembang gula
“pikiran dan iluminasi” sang penyair di dalamnya untuk membangkitkan sebuah
peristiwa.
Sumpah Pemuda di mana
teksnya sendiri adalah sajak, menarik peristiwa dibangunnya kesadaran gerakan
nasionalisme. Sejak Sumpah Pemuda diikrarkan, maka tumbuhlah gerakan-gerakan
nasionalisme yang mengarah pada kemerdekaan Indonesia. Oleh karenanya jelaslah
puisi selalu berkompetensi membangun negara, yang bertitik tolak pada noumena
penyair hingga fenomenanya sendiri.
Dus, agar sajak mencapai
kulminasinya, kesendirian mendapatkan tantangannya. Beranikah penyair
benar-benar menempuh batas ambang gila?, agar sajaknya menjadi diskursus
kalangan sastrawan sendiri, agar tak lenyap oleh sejarah, menjadi semacam
arkeologi masa depan.
Sajak-sajak Ryan masih
berpotensi untuk diteruskan pada cara-cara gila menuliskan kehidupan, bangsa
ini bagaimanapun membutuhkan asupan itu. Korupsi, bencana, dan ketidakadilan sosial
di negeri ini hadir seperti perulangan “abadi” yang perlu dituntaskan dengan
cara berpikir gila. Sungguh kehidupan akan selalu menggemaskan karena selalu
diisi oleh orang-orang yang berani menentang bahaya, menegakkan dirinya dalam
berbagai peristiwa.
Dan Ryan adalah lelaki di
ambang gila itu. Semoga ke depan ia berani mengatakan, “aku gila maka aku ada”.
***
Cikarang, 12 Oktober 2010
(Menjelang Hari Sumpah
Pemuda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar