Jumat, 04 November 2011

Esai

-->Di Ambang Gila

---Sebuah Pengantar Untuk Buku Penyair Ade Riyan Purnama
Oleh: M Taufan Musonip
merenung hujan kemunafikan
wajah-wajah asing
bersimpang pandang…
(Kalender Lalu, h.1)

Padahal seperti kebiasaan saya menulis ulasan, saya selalu menggunakan metode deduksi: setiap karya tak pernah lepas dari cara pandang dan lingkungan di mana penyair tinggal.
Sementara saya harus melupakan metode deduksi, tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya, bahwa nyatanya menjadi penyair itu memang merangsang orang secara das ding an sich memiliki multiple kemampuan, alasannya klasik karena profesi penyair masih terkucilkan dalam dunia kerja dan belum juga dapat dijadikan profesi untuk meraih kekayaan, maka ia selalu mencari sambihan pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Rata-rata seorang penyair menjadikan pekerjaan menulisnya sebagai kerja ekspresi, dan ekspresi itu perlu biaya. Pekerjaannya yang lain akan mensupport kerja ekspresi itu.
Di sini saya merasa diingatkan oleh ungkapan Schact tentang alienasi, bahwa pada ciri masyarakat modern, orang-orang seharusnya tidak lagi takut pada keterasingan. Secara sengaja keterasingan diciptakan untuk membangkitkan multiple kemampuan, menjadi penyair tidak harus anti marketing dan tidak harus selalu menyepi.
Di Indonesia, khususnya kesastraan Indonesia, dunia kepenyairan berkembang dalam kantong-kantong komunitas. Komunitas secara aktif mampu melihat bakat baru dari berbagai lintas profesi yang ada di dalamnya dan mendorong penerbitan buku. Komunitas menjadi semacam agen pencarian bibit baru, sekaligus pusat transaksi: apapun yang terjadi hubungan antar manusia tak pernah luput dari aktifitas ekonomi.
Ironisnya, seperti dikatakan para penyair kebanyakan, sajak selaludikatakan lepas dari nilai komoditas. Beberapa penyair baru yang mengeluarkan koceknya sendiri untuk menerbitkan buku secara indie ---dengan biaya yang tidak kecil--- tak pernah benar-benar berniat mengedarkan bukunya secara murni bisnis. Penerbitan buku sajak hanya bagian dari ekspresifitas para penyair menggulirkan maha karyanya, jika tidak berharap mendapat awards di masa mendatang.
Sajak bagaimanapun selalu membuat pasar komunitas bergairah. Adanya penerbitan buku puisi membuat dapur penerbitan dan para kritikus dan pengulas selalu ngebul. Sajak selalu unik, ia selalu menjadi pusat perhatian karena karakternya yang sangat murni artistik. Sajak bagaimanapun adalah barang mahal, sebuah artefak seni yang dapat memperkaya aktifitas para penghuni komunitas. Menjual sajak di dalam komunitas harus lebih mencengangkan dari pada menjual novel populer di masyarakat umum. Sajak menjual ide bukan menjual cover buku. Sajak memendam inspirasi bukan semata-mata layout.
Tentang Kegilaan
Maka menurut Foucault kehadiran sebuah buku bukanlah karena ia akan hadir dalam data ISBN dan tertata di lemari perpustakaan. Tetapi ia adalah semacam jejak arkeologi sang penulis dimana bukunya banyak dibicarakan dalam satu jaman tertentu.
Arkeologi pengetahuan dalam pandangan Foucault adalah semacam rentetan diskursus yang melingkupi sebuah maha karya. Maha karya yang baik adalah maha karya yang selalu menginspirasi orang untuk menulis buku. Itulah mengapa kehadiran kitab suci  selalu membuat para wali/saint (termasuk filsuf ateis sekalipun) menerbitkan bukunya mengenai apa-apa yang diyakininya dalam hasil pembacaan kitab suci.
Sajak selalu memberi ruang kegiatan heurmeneutika, tetapi yang lebih signifikan dalam hal ini adalah bagaimana sajak menjadi semacam ekspresi kegilaan, agar benar-benar bernilai arkeologis.
Kenapa? Karena dunia ini butuh kegilaan. Kegilaan menciptakan keretakan, kegilaan menciptakan diskontinuitas sejarah. Dalam sebuah dunia yang mapan dan mulai absolut kegilaan diperlukan. Jaman dahulu para nabi mengalami semacam kegilaan ini. Mula-mula mereka menyepi sebagai bentuk upaya refleksi keadaan masyarakatnya, lalu mengalami pengalaman gaib pewahyuan, esok pagi menentang angin di sebuah batu besar menyampaikan wahyu itu pada khalayak ramai.
Kegilaan itu penuh resiko, menyampirkan nyawa pada jurang pergulatan hidup, bahkan sang gila hampir lupa akan hidupnya. Muhammad sejatinya pernah dikatakan sebagai seorang penyair yang ditunggu-tunggu kematiannya oleh orang Arab jahiliyah.
Begitulah sejatinya, letupan sejarah selalu diliputi orang-orang yang berani gila. Karena kegilaan selalu menciptakan kawasan baru sebagai antitesis kemapanan hingga despotisme. Nietzsche hari ini banyak dibicarakan orang karena maha karyanya pernah dinilai menentang despotisme agama, sementara  Al Hallaj telah menciptakan kawasan sufisme sebagai antitesa kemapanan eksoterisme dengan menyerahkan nyawanya di tiang salib.
Sajak-sajak pada buku puisi penyair ini tengah dalam proses menjangkau kegilaan itu. Semua sajaknya mengandung rekam jejak kontemplatif, kesendirian dan spiritualitas. Upaya kontemplatif itu berdasarkan kepada pengalaman hidupnya yang nampak getir:
bulan itu bukan bualan
bulan itu adalah penantian ejaan-ejaan bulan
sebentar benderang lalu tertutup awan
mereka tak mampu maju ke depan
hanya terdiam menuggu hujan tertutup awan
hujan untuk kaum kekurangan dan kelaparan
kedinginan, biru menderu semakin sayu
air mata bercampur hujan
berbantal tangan sebelah kanan
meringkuk kardus tebal
hingga terlelap di pangkuan malam
(Cahaya Malam, h.45 )

Penyair mencoba menjadikan sajaknya semacam simulakrum tertentu hasil dari pergulatan batinnya dengan penderitaan. Ini sangat logis, setiap penderitaan akan selalu terbit phantasme: sebuah keadaan ketaksadaran yang pengalamannya akan lebih nyata dan bergairah ketimbang kehidupan itu sendiri.
Orang-orang kreatif akan menuntaskan phantasme dengan mendirikan bangunan simulakra yang menutupi dirinya sendiri bak sebuah toples kristal indah, muasal peristiwa. Sajak adalah toples kristal indah yang menarik hati orang untuk menikmati kembang gula “pikiran dan iluminasi” sang penyair di dalamnya untuk membangkitkan sebuah peristiwa.
Sumpah Pemuda di mana teksnya sendiri adalah sajak, menarik peristiwa dibangunnya kesadaran gerakan nasionalisme. Sejak Sumpah Pemuda diikrarkan, maka tumbuhlah gerakan-gerakan nasionalisme yang mengarah pada kemerdekaan Indonesia. Oleh karenanya jelaslah puisi selalu berkompetensi membangun negara, yang bertitik tolak pada noumena penyair hingga fenomenanya sendiri.
Dus, agar sajak mencapai kulminasinya, kesendirian mendapatkan tantangannya. Beranikah penyair benar-benar menempuh batas ambang gila?, agar sajaknya menjadi diskursus kalangan sastrawan sendiri, agar tak lenyap oleh sejarah, menjadi semacam arkeologi masa depan.
Sajak-sajak Ryan masih berpotensi untuk diteruskan pada cara-cara gila menuliskan kehidupan, bangsa ini bagaimanapun membutuhkan asupan itu. Korupsi, bencana, dan ketidakadilan sosial di negeri ini hadir seperti perulangan “abadi” yang perlu dituntaskan dengan cara berpikir gila. Sungguh kehidupan akan selalu menggemaskan karena selalu diisi oleh orang-orang yang berani menentang bahaya, menegakkan dirinya dalam berbagai peristiwa.
Dan Ryan adalah lelaki di ambang gila itu. Semoga ke depan ia berani mengatakan, “aku gila maka aku ada”.
***
Cikarang, 12 Oktober 2010
(Menjelang Hari Sumpah Pemuda)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar