Rabu, 02 November 2011

Esai

        -->Di Ambang Kematian Para Pembaca
Oleh: M Taufan Musonip

Membaca karangan-karangan dalam dunia seni kesusastraan harus membuat seorang manusia berdaya secara individu, guna memperoleh keberlimpahan makna, merefleksikan seni itu sendiri ke dalam prilaku kehidupan. Arif Bagus Prasetyo (Majalah Horison, Edisi Januari 2011), meneruskannya dengan membuka wacana dalam kritik sastra sebagai sebuah genre yang memiliki kepekatan nilai seni ketimbang usaha membuka makna orisinalitas dalam sebuah karangan.
Postmodernitas tak ayal selalu beriringan dengan usaha kontemporer lainnya, sebuah perayaan tumbangnya kekuatan metanarasi. Sejak Deridda membangun istilah dekontruksi, narasi sebagai sounding kebenaran menjadi begitu absurd, ketika dikatakanolehnya segala teks adalah metafor (Nietzsche).
Disinilah awal mula kematian pengarang menurut Arif, pengarang tak perlu la
gi memiliki mimpi dapat menyampaikan pesan kebenarannya kepada pembaca, sebab selain alasan kehancuran metanarasi seperti dijelaskan diatas, dalam drama kehidupan postmodernisme, hubungan pembaca-pengarang yang tersekat dalam jarak oleh media virtual, memiliki keputusan sendiri atas penilaian sebuah karya yang dapat diterapkan ke dalam kehidupannya.
Maka yang diperlukan adalah upaya menciptakan keberlimpahan makna ketimbang penggalian makna orisinalitas pada setiap pembacaan.
Jika Arif mengatakan pada hakikatnya sebuah karya sastra merupakan sebuah bongkahan batu yang dapat dia ukir menjadi sebuah patung berseni tinggi, maka ia percaya bahwa genre kritik sastra akan sejajar dengan karya-karya para pengarang yang menjadi pilihan pembaca. Itu optimisme Arif dalam menengarai era kematian kritikus di era virtual, saat pembaca begitu superior dalam menentukan baik dan buruknya sebuah karya tanpa membaca buku-buku kritikus terlebih dahulu.
Kritik sastra akan linaksa sebagai sebuah genre yang mementingkan unsur keindahan ketimbang sebuah penggeledahan makna. Ia tak lagi dapat dikatakan sebagai perantara pembaca sebelum membaca sebuah karya, tapi merupakan jembatan mewah yang dimilikinya sendiri sebagai pembaca setelah menghayati sebuah karya, lalu mempersilahkan siapapun menikmati keindahannya: bisa jadi kritik sastra, seperti keyakinan kaum Gestalt (di Indonesia ini dianut oleh aliran Ganzheit), semacam puisi yang pekat biasnya dikurangi, memiliki eksotika tak kurang seksi ketimbang genre sastra lainnya.
Merayakan Kematian Nalar
Maka apa yang dilakukan pengarang dalam mempertahankan hidupnya menanggapi ‘serangan’ strategis dari para kritikus? Sebagian pengarang telah membangun sebuah karya yang tak mampu dijelajah oleh pembacaan nalar pembaca. Nalar, bahkan seolah-olah telah dibunuhnya. Ia ingin karyanya begitu pejal, tak mudah di geledah, bahkan kalau perlu diperumit. Multitafsir atas sebuah narasi dalam menanggapi kematian metanarasi bergeser pada titik mengkhawatirkan, yaitu terjadinya dekadensi berupa degradasi pesan pencerahan.
Di sini pembaca akan merapat pada siapa?. Pembaca jangan diartikan semata-mata kelas menengah, yang gandrung pada teruka kekinian atas pesta pora kematian nalar. Tapi meliputi pembaca yang baru bangun, dalam upaya mengetahui segala sesuatu, memperkaya subtansi dirinya,  dengan karya sastra sebagai pilihan bacaan.
Jika Arif mengatakan jaman ini sebagai era kematian pengarang, dan di sisi lain banyak kaum sastrawan mengatakan era kematian kritikus, saya justru mau bilang bahwa jaman ini adalah jaman di ambang kematian para pembaca ---saya katakan ‘di ambang’ karena bisa dipertahankan dengan daya positivisme yang wajar untuk mempertahankan hidupnya.
Pembaca yang hendak mengerti karya-karya yang dapat menjadi imbangan sebuah ekses budaya populer, sebagai pengharapan hadirnya daya cerah, tak dapat memahami karya-karya yang ada, karya-karya tersebut bahkan seolah-olah ikut merayakan dekadensi idealisme yang muncul dalam budaya populer itu sendiri.
Kejatuhan metanarasi pada akhirnya bukan karena adanya keunggulan setiap individu manusia dalam upaya penafsiran yang nanti dijadikan semacam bahan penciptaan artefak baru, jangan-jangan karena adanya keputusan dangkal dalam pembacaan, akibat kehilangan ketertarikan pada karya-karya yang terlampau rumit, sehingga memunculkan artefak-artefak budaya yang kurang berkualitas. Hal itu tercermin dari ramainya plagiarisme budaya, dan pembajakan secara massif. Pertanda yang benar-benar menjadi penjelas, pada kenyataannya pikiran yang dibiarkan dalam ketakmampuannya menembus sesuatu akan menghasilkan hedonisme: kematian metanarasi akhirnya bagai pengaminan atas “mementingkan gaya daripada narasi”.
Saya pikir langkah pertama kita harus menyadari bahwa di era informasi (postmodernisme) ini ada semacam kebuntuan pemilahan antara seni dan budaya populer (D Strinati, 1972), ini terjadi karena mau tidak mau karya seni harus menerima gelombang virtual sebagai kanal publikasi. Siapapun pada akhirnya memiliki akses tak terbatas atas produk kesenian, anehnya ketika sebuah karya dikenal banyak orang, oleh sebagian pihak akan dianggap sebagai produk dari apresiasi dangkal.
Maka proses berkesenian di sini bisa dibedakan dari aktifitas popular biasa, kerja seni adalah upaya menciptakan publik pembaca, sementara aktifitas popular biasa adalah penciptaan produk yang hanya memenuhi keinginan publik dan para pemodal.
Upaya penciptaan publik pembaca adalah mendamaikan antara kesederhanaan yang merangsang daya nalar bekerja dengan warna estetika sebagai penyeimbang, ini tentunya dapat merangsang pembaca mentransfer sebuah pesan kebenaran menjadi kehendak berkesenian, merupakan tanda bahwa pembaca yang baik adalah pembaca yang memiliki daya cipta: merefleksikan pesan moral dalam pembacaan sebuah karya ke dalam kehidupannya dalam bentuk ciptaan.
***
Cikarang, 23 Januari 2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar