Rabu, 02 November 2011

Esai

  -->Dilematika Sang Simtom
---Sebuah refleksi atas pembacaan Buku Puisi Simtom-simtom Sebelum Penyair Karya Ganjar Sudibyo (Ganz)
Oleh: M Taufan Musonip

Wassily Kandinsky, Serigrafi / Seriegraphy, 50 x 65 cm, Inv. 97/SG/C
Anak panah sudah dilesakan, mengenai jantung Sang Ada. Matahari mendung. Bintang kehilangan gantungan. Simtom-simtom sebelum penyair terurai. Ia berpusat pada tragedi, runtuhnya segala sesuatu.
Disusunlah batu-batu pengetahuan menjadi partisi, menghikmahi atma yang menjulang di langit. Tapi pengetahuan tak dapat menghentikan waktu. Ia terpaksa mengamini mitos sebagai atma itu sendiri. Penghubung antara langit dan bumi.
Simtom-simtom sebelum penyair adalah rangkaian tragedi-mitos-pengetahuan, yang pusatnya adalah kejadian. Jika manusia meyakini bahwa pengetahuan adalah representasi segala sesuatu seperti dinyatakan Bacon, maka mitos tak lain adalah daya guna dari pemanfaatan atasnya. Itulah makanya pengetahuan tak lain mitos itu sendiri.
Ia melipat bulan itu
Lalu membentuknya
Jadi burung-burungan
Agar bisa terbang
Menghiasi langit jiwa
Tapi mati
Ditembak sang pemburu malam
Lalu melipatnya kembali…
(Origami, 2008)
Dalam puisi ini jelaslah, ciptaan manusia yang dianggap dapat menyelesaikan segalanya, kembali dituntaskan oleh tragedi ---ditembak sang pemburu malam--- Untuk mengulang kembali pekerjaan, kepada hidup yang bagai perulangan abadi itu. Menyadari pada kenyataannya manusia memerlukan pandangannya atas kematian, untuk terus mencipta. Sebab kematian kreatifitas adalah penentangan atas atma itu sendiri, sebuah kenyataan di mana peredaran darah membutuhkan loncatan-loncatan. Loncatan-loncatan yang mendekati kematian adalah kehendak pada keabadian.
Brilian
Maka proses kreativitas adalah menghikmahi tragedi sebagai penderitaan yang menerbitkan semacam Phantasme. Penglihatan yang tak biasa atas proyeksi benda-benda. Menuliskannya menjadi simulakrum, tak lain sebagai pertanda keunggulannya.
Kepada airmata ia berbisik: “malam berwajah murung
Begitu congkak mengendarai rembulan, entah kemana.
Dan engkau telah merupa bulan-bulan
Baru di sisi petak-petak
Tanggunganku.
(Celoteh Kepada Malam dan Airmata, 2009)
Penderitaan dalam hal ini tak lain adalah sinar kehidupan itu sendiri, merupa bulan-bulan baru dalam sisi petak tanggungannya sebagai seorang pejalan yang mengarungi hidup itu sendiri yang sarat bahaya.
Itulah simtom penyair. Sebagai manusia Ganz berhasil menyimpan penderitaannya ditengah-tengah tarik-menarik kesaktian sang mitos dan pengetahuan, yang diyakini dapat mengentaskan segala derita. Dalam tragedi, mitos dan pengetahuan bisa saling mengisi namun juga tak lepas dari gairah saling membunuh.
Ganz sangat brilian menyimpan mitos-mitos agama dalam sajaknya. Tentang Trilogi lukisan Dewi Durga, karmawibhangga, kamadathu, jatakamala, reinkarnasi, tanpa disadari istilah-istilah itu lewat di depan matanya tak lain sebagai pengetahuan yang ia baca. Pengetahuan yang tersimpan dalam bait sajaknya pun sengaja ia mitoskan; andante, chorus, partitur, aerophone, allegro con biro, cavatina. Nama-nama yang membuat kita harus bekerja dua kali dalam pembacaan sajaknya, kamus ditangan kiri, buku sajaknya ditangan kanan. Sebuah cara agar ia tak pernah lepas dari kekuatan memunculkan daya simulakrum, keunggulannya sebagai manusia. Agar begitu saja dapat diterima oleh pembaca sebagai bagian dari rentang ornamen estetikanya serta daya jelajah intelektualnya. Hal itu sah-sah saja dalam mencipta sajak.
Dilematika
Membaca sajak-sajak Ganz seolah diingatkan kepada prinsip dilematis manusia rasional sebagai statemennya Horkhaimer dalam dialectic of enlightment yang ditulisnya bersama Adorno. Bahwa sejatinya pengetahuan tak pernah selesai menyikat habis kehadiran mitos. Semakin rasional manusia, semakin ia mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan mitos.
Pada masa purbakala manusia mempersembahkan korban untuk para dewa, sengaja dipilih korbannya dengan kriteria yang sesuai. Ditentanglah oleh manusia modern yang menganut sistem produksi. Tak ayal sistem produksi malah mengamini mitos sebagai sesuatu yang lazim, manusia sebagai pekerja dikorbankan nilai kerjanya, dibayang-bayangi oleh jerat konsumsi sebagai ciptaannya. Alih-alih menciptakan konsumsi, benda-benda yang diproduksinya tak mampu ia kuasai.
Itulah dilematika manusia rasional, semakin rasional ia, semakin dipaksanya ia menjalankan mitos yang ada. Maka Ganz ingin menghadirkan pengetahuan sebagai representasi dari mitos yang belum terpecahkan. Namun lagi-lagi pengetahuan membutuhkan mitos sebagai cara merepresentasikannya supaya berdaya guna.
Akan tetapi, sejak filsafat barat lebih mengedepankan sisi argumentasi dari pada naratif, terutama sejak mereka meyakini teori kritis, puisi sebenarnya adalah konkretisasi yang tepat atas itu. Puisi yang pada mulanya adalah sebuah ditram, semestinya menyiratkan jatuh bersujudnya intelektual pada jalan cerita sebagai tradisi puisi itu sendiri. Sehingga benar-benar bebas dari peristilahan yang memunculkan representasi.
Musti diingat puisi tak lain adalah bentuk penghayatan dari pada kognisi. Segala intelek yang didapat pada masa pengembaraan akali harus dibuat menjadi penanda-penanda yang memadai, bukan istilah-istilah pesanan intelektual itu sendiri: Keadaan itu hanya akan membuat puisi tak terbebaskan, terjarah oleh maksud dan tujuan perkara-perkara naratif. Dan menjadi tidak mandiri, padahal kerja seni selalu bersandar pada kemandirian.
Maka dalam penciptaan puisi ada istilah katarsis, positioning dalam istilah An Nifari. Membebaskan diri dari perkara-perkara duniawi. Persoalan membebaskan diri dari cengkram duniawi dalam keyakinan intelek adalah kemerdekaan sebagai manusia sebelum menjadi penyair.
Ada yang tertinggal dalam proses berkaryanya Ganz dalam hal ini. Bolehlah ia menetapkan diri sebagai simtom, yang meyakini prihal mitos dan pengetahuan dalam rangka menyelesaikan lintasan tragedi kehidupan itu dengan segala dilematikanya. Ganz lupa meruwat dirinya. Lupa mengolah tubuhnya dari segala kepentingan intelek.
Ganz belum rampung mengolah jiwa, sebelum jadi penyair. Bahwa perjalanan sastrawinya dilupakan oleh persoalan-persoalan menempuh batas-batas cakrawalanya dengan daya estetikanya. Dan itu tak lain adalah budi, jika tak bisa dikatakan sebagai akal budi. Sementara perjalanan hidup tidak harus berhenti di situ. Perjalanan hidup harus dibekali suatu kemampuan ilahi yang mengalir di sukmanya.
Dan pada akhirnya kemampuan ilahi itu tak lain adalah posisi merdeka atas dunia, yang melekat di tubuh, yang membutuhkan representasi untuk kepentingannya sendiri. Tapi Ganz, sangat rendah hati mengatakan dirinya sebagai simtom, berarti sebuah kesadaran bahwa segalanya belum tuntas dikerjakan. Dan memang tak perlu ada yang tuntas dikerjakan, supaya terus bekerja, tanpa bayang-bayang waktu mekanis, seperti tubuh puisi sendiri, yang tak pernah usai… yang tak pernah selesai. Itulah kekaguman saya pada Ganz, Sang Simtom. (*)
Cikarang-Pebayuran, 18 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar