Rabu, 02 November 2011

Esai

-->Perhentian. Absurditas, dan nalar
M Taufan Musonip

Alif
telah menjadi kalimah abadi yang meruang di antara malam-malam sepuluh dan cahaya ganjil sang maut kemudian tergolek di atas sujud-sujud panjang yang terdengar sangat dalam dan menyatu bersama tarikan nafas dan azan lemah dialah seorang bocah yang menyeret kesunyian sebagai mantel, kesepian dan kegelisahan sebagai zikir tak ada yang bertanya siapa sesungguhnya bocah itu orang-orang hanya mendengar suara kehidupan yang samar dari wajahnya. seperti, ayahnya yang berkali-kali membunuh setiap kepingan doa yang meleleh dari airmatanya hingga dirinya sekarat dan menghablur dingin di atas trotoar dan malam
dialah Alif, pembuka kalam dan segenap rahasia semesta bocah yang mengetuk pintu demi pintu bulan menguak masa yang sobek di tangan maharindu, di dadanya..
(Majalah Sabili 17 th. XVII, 18 Maret 2010)

     Ada hubungan yang kuat antara filsafat tragedi dengan absurdisme dan nalar. Tragedi adalah semacam pengalaman pahit seseorang yang sudah terlanjur menjadi takdir. Takdir menuntut perhentian dimana sang pejalan dapat merenungkan apa yang sedang ia alami. Perenungan itu akan membuat takdir menjadi jalan nasib yang menentukan masa depan, sebagai kekuatan untuk tidak menyerah oleh takdir.
     Di titik ini sang pejalan akan dirangsang untuk membuat pilihan-pilihan hidup dan sabab-musabab tentang takdir yang sudah terjadi. Pilihan-pilihan itu akan menjadi bahan absurdisme dalam berkarya, sebab bagaimanapun masa depan adalah sebuah perkiraan, seperti halnya masa lalu kemudian ia menjadi ghaib, tak dapat disentuh oleh indera.
     Maka kesadaran otentik dalam titik perhentian (takdir) merupakan upaya nalar pada  sesuatu yang terkadang tak mampu dinalar. Manusia hanya sekedar bisa berusaha, hasilnya adalah Tuhan yang menentukan.
     Tuhan bukan dzat pasif dalam menentukan kehidupan tapi Ia aktif dalam menciptakan pilihan-pilihan yang sudah tercipta dalam gerak alam, namun manusia pun bukan mahluk yang di suruh diam oleh Tuhan. Manusia akan menentukan pilihan dari rentang pilihan tadi. Itulah absurdisme. Absurdisme dalam artian sekalipun secara nalar pilihan hidup adalah A, kita akan meyakini bahwa hasilnya belum tentu akan B.
     Absurdisme mendorong manusia untuk berusaha, menjalani kehidupannya dengan tulus tanpa harus terus dibayang-bayangi apa yang akan ia dapat setelah mengerjakannya.
Perhentian
    Sajak adalah perhentian. Ia adalah semangat absurd, ambigu. Suatu nalar sang penyair dalam upaya menjamah yang tak mampu dinalar. Maka sajak tampil sebagai lawan dari segala sesuatu yang dapat dinalar.
    Hentian itu sangat terasa dalam sajak Eko Putra, Alif. Sajak tragedi yang memendam absurdisme kehidupan, seperti sajaknya yang juga absurd. Hentian itu berada pada bait terakhir puisinya.
dialah Alif, pembuka kalam dan segenap rahasia semesta bocah yang mengetuk pintu demi pintu bulan menguak masa yang sobek di tangan maharindu, di dadanya..
    Dalam sajak ini, alif semacam awal kehidupan di dalam takdir yang sedang berlangsung, seolah ia awal ---karena dalam hijaiyah alif adalah awal mula--- maka ia merenungkan atas apa yang sudah terjadi dan bagaimana menyikapinya. Sang alif kemudian mengetuk pintu-pintu nasib dari kalam  sebagai penanda rahasia alam semesta.
   Hebatnya Eko menganalogikan pintu-pintu nasib dengan bulan yang sarat cahaya itu. Seolah kemudian aktifitas perenungan adalah semacam inkarnasi dari proses emanasi cahaya (Tuhan) pada tubuh, mampu menafsirkan kejadian yang akan datang.
    Emanasi perenungan sang alif menjadi kulminasi, perhentian yang kemudian memiliki energi daya jelajah, dari cahaya yang ia dapatkan setelahnya.
     Daya jelajah ini termaktub dalam gerak langkah “mengalami” sekaligus bergerak kearah masa depan. Takdir menjadi momentum kepasrahan diri, dengan menjalaninya maka aku ‘ada’ sebagai manusia, kata Bre Redana, ini seperti antitesis dari Cogito ergo sum-nya Descartes.
     Sayang kemudian sajak ini patah keabsurdannya. Penyair telah menjawab apa yang akan dialaminya sebagai pesimisme hidup dengan mengatakan bahwa masa yang sudah dan akan dijalani sebagai masa yang sobek.
    Masa yang sobek, masa yang seolah dipastikan akan tetap sobek baik itu disimpan di belakang atau di depan masa yang terjadi sekarang. Sang Alif mempertahankan kesan tragis dari pada menguatkan absurditasnya. Sebagaimana telah ia kukuhkan sejak awal-awal larik sajaknya (seperti saya kutip diawal tulisan ini).
    Sajak henti yang menguatkan tragedy ketimbang absurditasnya telah mereduksi moksanya schopenhauer, atau ketakutan horkhaimer terhadap praktik kehidupan yang didapatkan setelah perenungan. Schopenhauer dan horkhaimer menghendaki pertapa yang terus menerus, yang mendamba pada kesepian dari pada menjalani kehidupan.
    Bagi Horkhaimer, perunangan atas falsafati tak bisa secepatnya diterapkan dalam kehidupan karena ketakutannya bahwa idiom-idiom esoterik terkadang memang menyesatkan bagi orang awam. Seperti itukah perhentian yang direnungi eko putra? 
Namun kita kemudian teringat dengan sajak perhentian milik Acep Zamzam Noor:
Sajak adalah harapan
Sajak adalah hidupku akan datang
Sajak adalah danau tenang
Tanpa Sampan Tanpa Gelombang
(Sajak “Tak Kujanjikan” dari kumpulan Sajak Menjadi Penyair Lagi)
  
  Begitulah kendati terjadi perhentian dalam perjalanan takdir, perenungan yang digambarkan Eko Putra sebagai upaya emanasi raga atas cahaya dari nasib-nasib yang hendak dikuak harusnya menyiratkan energi daya gerak untuk melanjutkan kehidupan.
    Sajak adalah danau tenang/Tanpa sampan tanpa gelombang, ini menandakan lepasnya diri dari ketergantungan benda-benda yang terkadang selalu meyakinkan orang dapat menggapai tujuan hidup. Seyogyanya memang kita tak tergantung pada apapun selain Allah. (*)
Cikarang, 21 Maret 2010
Dimuat di Majalah Sabili Edisi bulan Mei

Tidak ada komentar:

Posting Komentar