telah menjadi kalimah abadiyang meruang di antaramalam-malam sepuluhdan cahaya ganjil sang mautkemudian tergolek di atassujud-sujud panjang yang terdengarsangat dalam dan menyatubersama tarikan nafasdan azan lemahdialah seorang bocahyang menyeret kesunyiansebagai mantel, kesepiandan kegelisahan sebagai zikirtak ada yang bertanyasiapa sesungguhnya bocah ituorang-orang hanya mendengarsuara kehidupan yang samardari wajahnya. seperti, ayahnya yangberkali-kali membunuh setiapkepingan doa yang meleleh dari airmatanyahingga dirinya sekarat dan menghablur dingindi atas trotoar dan malam
dialah Alif,
pembuka kalamdan segenap rahasia semestabocah yang mengetuk pintu demi pintu bulanmenguak masa yang sobekdi tangan maharindu, di dadanya..
(Majalah Sabili 17
th. XVII, 18 Maret 2010)
Ada hubungan yang kuat antara
filsafat tragedi dengan absurdisme dan nalar. Tragedi adalah semacam pengalaman
pahit seseorang yang sudah terlanjur menjadi takdir. Takdir menuntut perhentian
dimana sang pejalan dapat merenungkan apa yang sedang ia alami. Perenungan itu
akan membuat takdir menjadi jalan nasib yang menentukan masa depan, sebagai
kekuatan untuk tidak menyerah oleh takdir.
Di titik ini sang pejalan akan
dirangsang untuk membuat pilihan-pilihan hidup dan sabab-musabab tentang takdir
yang sudah terjadi. Pilihan-pilihan itu akan menjadi bahan absurdisme dalam
berkarya, sebab bagaimanapun masa depan adalah sebuah perkiraan, seperti halnya
masa lalu kemudian ia menjadi ghaib, tak dapat disentuh oleh indera.
Maka kesadaran otentik dalam
titik perhentian (takdir) merupakan upaya nalar pada sesuatu yang terkadang tak
mampu dinalar. Manusia hanya sekedar bisa berusaha, hasilnya adalah Tuhan yang
menentukan.
Tuhan bukan dzat pasif dalam
menentukan kehidupan tapi Ia aktif dalam menciptakan pilihan-pilihan yang sudah
tercipta dalam gerak alam, namun manusia pun bukan mahluk yang di suruh diam
oleh Tuhan. Manusia akan menentukan pilihan dari rentang pilihan tadi. Itulah
absurdisme. Absurdisme dalam artian sekalipun secara nalar pilihan hidup adalah
A, kita akan meyakini bahwa hasilnya belum tentu akan B.
Absurdisme mendorong
manusia untuk berusaha, menjalani kehidupannya dengan tulus tanpa harus terus
dibayang-bayangi apa yang akan ia dapat setelah mengerjakannya.
Perhentian
Sajak adalah perhentian. Ia
adalah semangat absurd, ambigu. Suatu nalar sang penyair dalam upaya menjamah
yang tak mampu dinalar. Maka sajak tampil sebagai lawan dari segala sesuatu
yang dapat dinalar.
Hentian itu sangat terasa dalam
sajak Eko Putra, Alif. Sajak tragedi yang memendam absurdisme kehidupan,
seperti sajaknya yang juga absurd. Hentian itu berada pada bait terakhir
puisinya.
dialah Alif, pembuka kalamdan segenap rahasia semestabocah yang mengetuk pintu demi pintu bulanmenguak masa yang sobekdi tangan maharindu, di dadanya..
Dalam sajak ini, alif semacam
awal kehidupan di dalam takdir yang sedang berlangsung, seolah ia awal
---karena dalam hijaiyah alif adalah awal mula--- maka ia merenungkan atas apa
yang sudah terjadi dan bagaimana menyikapinya. Sang alif kemudian mengetuk
pintu-pintu nasib dari kalam sebagai
penanda rahasia alam semesta.
Hebatnya Eko menganalogikan
pintu-pintu nasib dengan bulan yang sarat cahaya itu. Seolah kemudian aktifitas
perenungan adalah semacam inkarnasi dari proses emanasi cahaya (Tuhan) pada
tubuh, mampu menafsirkan kejadian yang akan datang.
Emanasi perenungan sang alif
menjadi kulminasi, perhentian yang kemudian memiliki energi daya jelajah, dari
cahaya yang ia dapatkan setelahnya.
Daya jelajah ini termaktub
dalam gerak langkah “mengalami” sekaligus bergerak kearah masa depan. Takdir
menjadi momentum kepasrahan diri, dengan menjalaninya maka aku ‘ada’ sebagai
manusia, kata Bre Redana, ini seperti antitesis dari Cogito ergo sum-nya
Descartes.
Sayang kemudian sajak ini patah
keabsurdannya. Penyair telah menjawab apa yang akan dialaminya sebagai pesimisme
hidup dengan mengatakan bahwa masa yang sudah dan akan dijalani sebagai masa
yang sobek.
Masa yang sobek, masa yang
seolah dipastikan akan tetap sobek baik itu disimpan di belakang atau di depan
masa yang terjadi sekarang. Sang Alif mempertahankan kesan tragis dari pada
menguatkan absurditasnya. Sebagaimana telah ia kukuhkan sejak awal-awal larik
sajaknya (seperti saya kutip diawal tulisan ini).
Sajak henti yang menguatkan
tragedy ketimbang absurditasnya telah mereduksi moksanya schopenhauer, atau
ketakutan horkhaimer terhadap praktik kehidupan yang didapatkan setelah perenungan.
Schopenhauer dan horkhaimer menghendaki pertapa yang terus menerus, yang
mendamba pada kesepian dari pada menjalani kehidupan.
Bagi Horkhaimer, perunangan
atas falsafati tak bisa secepatnya diterapkan dalam kehidupan karena
ketakutannya bahwa idiom-idiom esoterik terkadang memang menyesatkan bagi orang
awam. Seperti itukah perhentian yang direnungi eko putra?
Namun kita kemudian teringat
dengan sajak perhentian milik Acep Zamzam Noor:
Sajak adalah harapan
Sajak adalah hidupku akan
datang
Sajak adalah danau tenang
Tanpa Sampan Tanpa Gelombang
(Sajak “Tak Kujanjikan” dari
kumpulan Sajak Menjadi Penyair Lagi)
Begitulah kendati terjadi
perhentian dalam perjalanan takdir, perenungan yang digambarkan Eko Putra
sebagai upaya emanasi raga atas cahaya dari nasib-nasib yang hendak dikuak
harusnya menyiratkan energi daya gerak untuk melanjutkan kehidupan.
Sajak adalah danau tenang/Tanpa
sampan tanpa gelombang, ini menandakan lepasnya diri dari ketergantungan
benda-benda yang terkadang selalu meyakinkan orang dapat menggapai tujuan
hidup. Seyogyanya memang kita tak tergantung pada apapun selain Allah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar