Minggu, 13 November 2011

Esai

Kreatifitas Angkatan Muda dalam Memaknai Kembali Persatuan Indonesia*
Oleh M Taufan Musonip

Angkatan muda dalam sejarah perjuangan Indonesia selalu menjadi faktor utama gerakan perubahan. Lahirnya peristiwa-peristiwa dunia diserapnya secara cepat sebagai pengetahuan yang membuatnya berdaya, ternyata melalui sebuah perkumpulan lah, peristiwa yang telah menjadi ilmu pengetahuan itu direduksi ke dalam sebuah simbol. Simbol itu merupakan pemicu lahirnya semangat kaum muda dalam melakukan perubahan-perubahan.
Gagasan Pemuda pada 1928 yang keluar dalam statement Sumpah Pemuda merupakan hasil perenungan terhadap simbolisasi kata “pencerahan” yang merupakan dampak dari lahirnya peristiwa politik balas budi oleh pemerintah kolonial Belanda. Maka simbolisasi itu menjadi inspirasi bagi segenap angkatan muda dalam tiap perkumpulannya. Meski pada awalnya hanya berkembang pada kalangan priyayi semata.
Bagaimana ikrar Sumpah Pemuda harus menjadi runutan angkatan muda sekarang dalam upaya simbolisasi yang lebih segar? Simbolisasi bahasa, semangat dan kewilayahan Indonesia haruslah merupakan sebuah ruh bagi tantangan bangsa Indonesia sekarang dan masa depan. Sumpah Pemuda sebagai pemahaman nasionalisme belum sampai kepada hadirnya pencerahan pada setiap pergaulan angkatan muda.   

Perkumpulan angkatan muda pun  belum sampai pada tahap pembangunan manusia secara keseluruhan. Itu disebabkan runtuhnya ketahanan kaum muda dalam menghadapi serangan budaya luar yang dicecar oleh virtualisasi. Kaum muda tengah terombang-ambing oleh kebudayaan populer yang menawarkan sahwat semata. Media kurang memberi keberimbangan pada produk-produk kebudayaan, bagaimana pemuda kritis terhadap apa yang ia terima.

Perkumpulan Pemuda Sebagai Substansi Pasar
Dominic Strinati (1972) dalam Pengantar Kebudayaan populer, mengatakan bahwa konsumsi tinggi publik terhadap produk kebudayaan populer diciptakan oleh adanya skandal antara pemerintahan dan kapitalisme. Kapitalisme mengantarkan modernisme dengan menciptakan konsumsi tinggi, untuk memenuhi target produksi. Dan kaum muda biasanya akan menjadi substansi dalam rangka menciptakan pasar. Ditangan pemuda sesungguhnya kapitalisme menemukan instrumen bagi pembentukan trend setter.
Malcolm Gladwell dalam The Tipping point (2004) misalnya merunut penyebab terjadinya ledakan pasar sepatu lawas Hush Puppies oleh kumpulan pemuda pencinta olah raga skate board di Amerika. Maka kebangkitan angkatan muda adalah dengan memanfaatkan dirinya sebagai pencipta ledakan pasar itu. Persoalannya bagaimana memaknai kembali apa yang dimiliki kaum muda sebagai ciri pergaulannya dalam menciptakan budaya tanding terhadap suatu kebudayaan yang membuatnya mengalami kedangkalan arti hidup sebagai ekses dari upaya rejim pemerintahan dan kapitalisme dalam menciptakan konsumsi, selain menghambat gerakan kaum muda melawan kezaliman Negara.
Di sinilah komitmen sumpah pemuda yang mencakup darah nasionalisme mesti merasuk pada kedirian pemuda dalam setiap perkumpulannya: membangun manusia dengan memahami komunitas sebagai lahan yang memberi pencerahan kaum muda. Komunitas kepemudaan tidak lain merupakan substansi sosial di mana seorang manusia di dalamnya menemukan keberdayaan.
Komunitas harusnya menciptakan ketahanan-ketahanan penghuni di dalamnya terhadap produk-produk kebudayaan yang datang dari serangan industrialisasi dan kapitalisme dalam paket modernisme. Di dalamnya modernisme kembali diwacanakan. Sejauhmana modernisme mampu menciptakan kemandirian manusia? Sejauhmana pula konsumsi di dalamnya dapat menciptakan keberdayaan manusia?
Pertanyaan tersebut memberi tantangan kepada komunitas pemuda bagaimana menciptakan kreatifitas, kritisisme, lokalitas, hingga kesadaran politik dalam rangka membentuk kemandirian dalam simbolisasi yang diusungnya dapat menarik minat pemuda lainnya dan masyarakat pada umumnya.
Simbolisasi apakah yang mampu tercipta jika kesadaran-kesadarannya sebagai manusia sejati dalam modernisme sudah tercetus? Jika Mufakat Guru telah mengusung simbolisasi kata Kemadjoean sebagai pelopor lahirnya gerakan pemuda pada masa penjajahan Belanda maka simbolisasi apa yang tercetus pada  kaum muda masa sekarang dalam melahirkan kesadaran partisipatorik pemuda dan masyarakat pada umumnya dalam membangun kepribadian bangsa?

Persatuan Indonesia
Masa sekarang komitmen Sumpah Pemuda tidak harus merujuk lagi pada kata persatuan dalam menciptakan simbolisasi yang merupakan perwujudan sikap politik. Persatuan dalam perkara modernisme sering dianalogikan sebagai keseragaman dan standarisasi yang menimbulkan penyalahgunaan dan penyelewengan.
Standarisasi mengakibatkan regulasi sebagai produk politik terbajak oleh kepentingan-kepentingan internasional. Pemuda dan perkumpulannya harus menciptakan kritisisme terhadap standarisasi yang telah membuatnya tidak berdaya. Ekonomi kreatif yang diciptakan komunitas membangun kekuatan pribadi menghindari standarisasi sebagai warisan penjajahan. Politik asosiasi penjajahan Belanda misalnya, telah membuat setidaknya standar-standar bagi sastrawan Balai Pustaka yang membedakan bahasa melayu dalam dua kasta (tinggi dan rendahan) dalam upaya mendekatkan dua benua yang berjauhan (Indonesia dan kerajaan Belanda) dengan mendidik para priyayi tinggi agar terbaratkan, dengan demikian pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia mendapatkan hambatan. Namun sejak munculnya era romantisme, sastrawan Pujangga Baru mendapatkan pencerahan, bahwa mekanisme dan industrialisasi secara langsung mendapatkan kritiknya dari perkembangan kesadaran rasa cinta terhadap bangsa melalui karyanya sebagai hasil pencerapan bahwa realitas kebangsaan adalah turunnya kaum elite intelektual terhadap masyarakatnya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Lukisan “Badai” karya Raden Saleh yang menggambarkan dua kapal dalam bencana badai laut, menyiratkan hadirnya kekuasaan Maha besar memisahkan dua biduk perahu, di mana kapal yang tenggelam dapat disimbolisasi sebagai tenggelamnya bangsa Indonesia dalam bahtera politik asosiasi. Tragedi dalam romantisme lukisan Raden Saleh seolah membawa pesan kebangkitan bangsa dari penjajahan.
Maka persatuan Indonesia masa sekarang pun harus mendapatkan kritik. Ia bukan lagi sebuah keseragaman yang melahirkan standarisasi, dimana penjajahan terhadap kekayaan bangsa Indonesia terjadi, seperti halnya dalam eksploitasi tanah papua (Freeport) dsb. Tetapi memungkinkan lahirnya sebuah kualitas yang tercipta sebagai naungan kemandirian manusia Indonesia, muncul dari kekuatan pribadi kreatif ---bukan karena memenuhi standar-standar internasional. Pribadi-pribadi kreatif yang bebas dan humanis itulah seyogyanya melahirkan persatuan Indonesia.
Angkatan muda memegang peranan penting menjaga amanah persatuan Indonesia, dalam upaya menggali kembali pentingnya kreatifitas, kemandirian, lokalitas dan keragaman dalam setiap wacana yang diramaikan dalam perkumpulannya. Dengan demikian kehadiran angkatan muda dapat menjadi caraka pemulihan manusia Indonesia yang telah lama menjadi korban pasar dalam arus konsumsi selama ini.
Maka simbolisasi perwujudan komitmen Sumpah Pemuda 1928 itu di masa kini haruslah merujuk pada kata kreatifitas dalam berbagai keragaman pandangan serta kebebasan untuk kepentingan humanisme, kemudian dengan mudah dapat dikatakan sebagai ciri lahirnya persatuan Indonesia.
Tentunya diperlukan pula pertimbangan-pertimbangan wajah komunitas pemuda dalam upayanya menarik minat masyarakat berperan aktif membangun bangsa, terlebih seperti telah disinggung di atas, pemuda bagaimana pun merupakan subtansi pasar. Kemampuan tersebut harus diimbangi dengan upaya menciptakan  angkatan muda yang kritis terhadap kehidupan pasar yang diciptakannya, setidaknya sebagai awal mula kreatifitas masing-masing penghuninya.
***
Cikarang, 30 Oktober 2011

*Esai ini dimuat di KabarBekasi.com dengan judul berbeda http://www.kabarbekasi.com/seni-budaya/memahami-komunitas-sebagai-lahan-pencerahan-kaum-muda, dan akan dimuat sebagai Catatan Kebudayaan di Buletin Jejak Edisi Nopember 2011. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar