Kreatifitas Angkatan Muda dalam Memaknai Kembali Persatuan Indonesia*
Oleh M Taufan Musonip
Angkatan muda dalam sejarah
perjuangan Indonesia selalu menjadi faktor utama gerakan perubahan. Lahirnya
peristiwa-peristiwa dunia diserapnya secara cepat sebagai pengetahuan yang
membuatnya berdaya, ternyata melalui sebuah perkumpulan lah, peristiwa yang
telah menjadi ilmu pengetahuan itu direduksi ke dalam sebuah simbol. Simbol itu
merupakan pemicu lahirnya semangat kaum muda dalam melakukan
perubahan-perubahan.
Gagasan Pemuda pada 1928 yang keluar
dalam statement Sumpah Pemuda merupakan hasil perenungan terhadap simbolisasi
kata “pencerahan” yang merupakan dampak dari lahirnya peristiwa politik balas
budi oleh pemerintah kolonial Belanda. Maka simbolisasi itu menjadi inspirasi
bagi segenap angkatan muda dalam tiap perkumpulannya. Meski pada awalnya hanya
berkembang pada kalangan priyayi semata.
Bagaimana ikrar Sumpah Pemuda harus
menjadi runutan angkatan muda sekarang dalam upaya simbolisasi yang lebih
segar? Simbolisasi bahasa, semangat dan kewilayahan Indonesia haruslah
merupakan sebuah ruh bagi tantangan bangsa Indonesia sekarang dan masa depan.
Sumpah Pemuda sebagai pemahaman nasionalisme belum sampai kepada hadirnya
pencerahan pada setiap pergaulan angkatan muda.
Perkumpulan angkatan muda pun belum sampai pada tahap pembangunan manusia
secara keseluruhan. Itu disebabkan runtuhnya ketahanan kaum muda dalam
menghadapi serangan budaya luar yang dicecar oleh virtualisasi. Kaum muda
tengah terombang-ambing oleh kebudayaan populer yang menawarkan sahwat semata.
Media kurang memberi keberimbangan pada produk-produk kebudayaan, bagaimana
pemuda kritis terhadap apa yang ia terima.
Perkumpulan Pemuda Sebagai Substansi Pasar
Dominic Strinati (1972) dalam
Pengantar Kebudayaan populer, mengatakan bahwa konsumsi tinggi publik terhadap
produk kebudayaan populer diciptakan oleh adanya skandal antara pemerintahan
dan kapitalisme. Kapitalisme mengantarkan modernisme dengan menciptakan
konsumsi tinggi, untuk memenuhi target produksi. Dan kaum muda biasanya akan
menjadi substansi dalam rangka menciptakan pasar. Ditangan pemuda sesungguhnya kapitalisme
menemukan instrumen bagi pembentukan trend setter.
Malcolm Gladwell dalam The Tipping point (2004) misalnya
merunut penyebab terjadinya ledakan pasar sepatu lawas Hush Puppies oleh kumpulan pemuda pencinta olah raga skate board di
Amerika. Maka kebangkitan angkatan muda adalah dengan memanfaatkan dirinya
sebagai pencipta ledakan pasar itu. Persoalannya bagaimana memaknai kembali apa
yang dimiliki kaum muda sebagai ciri pergaulannya dalam menciptakan budaya
tanding terhadap suatu kebudayaan yang membuatnya mengalami kedangkalan arti
hidup sebagai ekses dari upaya rejim pemerintahan dan kapitalisme dalam
menciptakan konsumsi, selain menghambat gerakan kaum muda melawan kezaliman
Negara.
Di sinilah komitmen sumpah pemuda
yang mencakup darah nasionalisme mesti merasuk pada kedirian pemuda dalam
setiap perkumpulannya: membangun manusia dengan memahami komunitas sebagai
lahan yang memberi pencerahan kaum muda. Komunitas kepemudaan tidak lain
merupakan substansi sosial di mana seorang manusia di dalamnya menemukan
keberdayaan.
Komunitas harusnya menciptakan
ketahanan-ketahanan penghuni di dalamnya terhadap produk-produk kebudayaan yang
datang dari serangan industrialisasi dan kapitalisme dalam paket modernisme. Di
dalamnya modernisme kembali diwacanakan. Sejauhmana modernisme mampu
menciptakan kemandirian manusia? Sejauhmana pula konsumsi di dalamnya dapat
menciptakan keberdayaan manusia?
Pertanyaan tersebut memberi tantangan
kepada komunitas pemuda bagaimana menciptakan kreatifitas, kritisisme,
lokalitas, hingga kesadaran politik dalam rangka membentuk kemandirian dalam
simbolisasi yang diusungnya dapat menarik minat pemuda lainnya dan masyarakat
pada umumnya.
Simbolisasi apakah yang mampu
tercipta jika kesadaran-kesadarannya sebagai manusia sejati dalam modernisme
sudah tercetus? Jika Mufakat Guru telah mengusung simbolisasi kata Kemadjoean sebagai pelopor lahirnya
gerakan pemuda pada masa penjajahan Belanda maka simbolisasi apa yang tercetus
pada kaum muda masa sekarang dalam
melahirkan kesadaran partisipatorik pemuda dan masyarakat pada umumnya dalam
membangun kepribadian bangsa?
Persatuan Indonesia
Masa sekarang komitmen Sumpah Pemuda tidak
harus merujuk lagi pada kata persatuan dalam menciptakan simbolisasi yang
merupakan perwujudan sikap politik. Persatuan dalam perkara modernisme sering
dianalogikan sebagai keseragaman dan standarisasi yang menimbulkan
penyalahgunaan dan penyelewengan.
Standarisasi mengakibatkan regulasi
sebagai produk politik terbajak oleh kepentingan-kepentingan internasional.
Pemuda dan perkumpulannya harus menciptakan kritisisme terhadap standarisasi
yang telah membuatnya tidak berdaya. Ekonomi kreatif yang diciptakan komunitas
membangun kekuatan pribadi menghindari standarisasi sebagai warisan penjajahan.
Politik asosiasi penjajahan Belanda misalnya, telah membuat setidaknya
standar-standar bagi sastrawan Balai Pustaka yang membedakan bahasa melayu
dalam dua kasta (tinggi dan rendahan) dalam upaya mendekatkan dua benua yang
berjauhan (Indonesia dan kerajaan Belanda) dengan mendidik para priyayi tinggi
agar terbaratkan, dengan demikian pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia
mendapatkan hambatan. Namun sejak munculnya era romantisme, sastrawan Pujangga
Baru mendapatkan pencerahan, bahwa mekanisme dan industrialisasi secara
langsung mendapatkan kritiknya dari perkembangan kesadaran rasa cinta terhadap
bangsa melalui karyanya sebagai hasil pencerapan bahwa realitas kebangsaan
adalah turunnya kaum elite intelektual terhadap masyarakatnya dalam
memperjuangkan kemerdekaan. Lukisan “Badai” karya Raden Saleh yang
menggambarkan dua kapal dalam bencana badai laut, menyiratkan hadirnya
kekuasaan Maha besar memisahkan dua biduk perahu, di mana kapal yang tenggelam
dapat disimbolisasi sebagai tenggelamnya bangsa Indonesia dalam bahtera politik
asosiasi. Tragedi dalam romantisme lukisan Raden Saleh seolah membawa pesan
kebangkitan bangsa dari penjajahan.
Maka persatuan Indonesia masa
sekarang pun harus mendapatkan kritik. Ia bukan lagi sebuah keseragaman yang
melahirkan standarisasi, dimana penjajahan terhadap kekayaan bangsa Indonesia
terjadi, seperti halnya dalam eksploitasi tanah papua (Freeport) dsb. Tetapi
memungkinkan lahirnya sebuah kualitas yang tercipta sebagai naungan kemandirian
manusia Indonesia, muncul dari kekuatan pribadi kreatif ---bukan karena
memenuhi standar-standar internasional. Pribadi-pribadi kreatif yang bebas dan
humanis itulah seyogyanya melahirkan persatuan Indonesia.
Angkatan muda memegang peranan
penting menjaga amanah persatuan Indonesia, dalam upaya menggali kembali
pentingnya kreatifitas, kemandirian, lokalitas dan keragaman dalam setiap
wacana yang diramaikan dalam perkumpulannya. Dengan demikian kehadiran angkatan
muda dapat menjadi caraka pemulihan manusia Indonesia yang telah lama menjadi
korban pasar dalam arus konsumsi selama ini.
Maka simbolisasi perwujudan komitmen
Sumpah Pemuda 1928 itu di masa kini haruslah merujuk pada kata kreatifitas
dalam berbagai keragaman pandangan serta kebebasan untuk kepentingan humanisme,
kemudian dengan mudah dapat dikatakan sebagai ciri lahirnya persatuan
Indonesia.
Tentunya diperlukan pula
pertimbangan-pertimbangan wajah komunitas pemuda dalam upayanya menarik minat masyarakat
berperan aktif membangun bangsa, terlebih seperti telah disinggung di atas,
pemuda bagaimana pun merupakan subtansi pasar. Kemampuan tersebut harus
diimbangi dengan upaya menciptakan angkatan
muda yang kritis terhadap kehidupan pasar yang diciptakannya, setidaknya
sebagai awal mula kreatifitas masing-masing penghuninya.
***
Cikarang, 30 Oktober 2011
*Esai ini dimuat di KabarBekasi.com dengan judul berbeda http://www.kabarbekasi.com/seni-budaya/memahami-komunitas-sebagai-lahan-pencerahan-kaum-muda, dan akan dimuat sebagai Catatan Kebudayaan di Buletin Jejak Edisi Nopember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar