Senin, 07 November 2011

Cerpen

Melukis Ayuni
Oleh M Taufan Musonip
MILK 3

Karya Alexa Meade, "MILK". menjadikan susu sebagai kanvas, lih.
http://www.merdeka.com/gaya/milk-seni-lukis-di-atas-kanvas-susu.htm

1/
Semua perangkat lukisannya sudah dipersiapkan dalam satu tas. Bintang sudah datang lebih awal dari janjinya, Ini hari yang penting bagi seorang pelukis amatir macam Bintang, karena akan melukis objek perempuan untuk melahirkan karya kontemporer, seorang perempuan yang sudah banyak dikenal orang di dunia pembebasan.
 Setidaknya memang begitulah adanya Ayuni, perempuan cantik ini ingin digambar persis hamparan alam yang tanpa pakaian, sudah sejak masa baligh mungkin ia menginginkan hal itu, semasa ia mulai broken home, semasa ia betul-betul mulai merasakan pemberontakan dirinya terhadap orang tuanya yang aristokrat dan kolot.
 Dalam masa-masa itu Ayuni betul-betul merasakan bagaimana rasanya diusir atau terusir dari kebahagiaan keluarganya, ketika sang ayah memergoki dia sudah bercinta dengan seorang pria dalam sebuah kamar kost-nya.


“Mengapa tidak kau ambil seorang pelukis perempuan saja, biar lebih ragap? apa rasa malumu sudah hilang seiring semakin mantapnya prinsip kebebasanmu itu?” tanya Bintang, sebelum dirinya menyetujui apa yang diinginkan Ayuni.
“Aku ingin dilukis bukan di roentgen, dan aku membutuhkan sensasi seorang pria pelukis untuk menggambarku dalam keadaan telanjang.” jawab Ayuni.
Tapi Bintang belum pernah melukis wanita dalam keadaan itu. Ini pengalaman pertama, sebagai ujian yang berat jika orang harus menyebut dia sebagai pelukis professional. Jika Ayuni adalah sebuah objek lukis yang baik, mengapa harus ditolak permintaan tersebut. Maka dengan kesepakatan, mereka telah menentukan waktu yang lowong untuk bertemu.
Selain seorang wanita pembebas, Ayuni sering berikrar bahwa dirinya adalah ikon anti-kemapanan, ini semua sudah ia buktikan dengan karya-karya novelnya.
Bintang sering menganggap Ayuni memiliki kepribadian ganda, antara prinsip pembebasan dengan prinsip anti kemapanan adalah dua kutub yang sering berlawanan, bukankah kebebasan justru lahir ketika seorang manusia berada dalam kelas masyarakat mapan.
Juga bukankah Ayuni seorang wanita yang berada dalam golongan masyarakat kelas mapan? ia bukan orang miskin, dia orang berduit yang memiliki beberapa hak kekayaan intelektual, royalty dari hasil karya-karya tulisnya.
MILK, seni lukis di atas kanvas susu
Karya Seni Milk Alexa Meade,
                             http://www.merdeka.com/gaya/milk-seni-lukis-di-atas-kanvas-susu.html
Anehnya Ayuni sering memanfaatkan kondisi ketidak-mapanan masyarakat sebagai objek penulisannya. Bintang tidak pernah yakin kalau Ayuni dalam sebuah LSM-nya dapat betul-betul faham akan kesulitan masyarakat kecil sebagai objeknya.
Atau memang mungkin karena Ayuni senang melukis derita rakyat melalui penanya, menjadikannya pakaian yang melingkupi tubuhnya.
Dengan pakain itu Ayuni, menjadi sesosok perempuan yang sangat penasaran untuk di miliki oleh lelaki siapa saja. Semampai tubuh yang menopang otak, dimana dendrite-dendrite nya mengguratkan aksi tentang ide-ide pembebasan massa. Synaps-synaps nya menampung ingatan-ingatan tentang sejarah-sejarah gerakan massa.
Para lelaki sebagaimana juga Bintang cukup merasakan kesan sensual dirinya, saat ia memakai pakaian indahnya: penderitaan rakyat, dan segala ide pembebasan massa. Menjadi jenis pakaian provocateur, yang tengah gandrung dimiliki para aktifis perempuan.

2/
Di sebuah rumah yang luas tanah dan model bangunannya mapan, milik Ayuni, akhirnya mereka dapat saling bertemu.
Bintang kemudian mulai melukis, wanita itu berpose mirip bentangan gunung berkawah. Memanjang, berkerut menyamping seperti rangkaian daun putri malu, bagaimanapun tanpa selubung didepan pria yang baru melihatnya telanjang, Ayuni tak dapat mempertahankan rasa malunya. Ia seperti mempertanyakan prinsip kebebasan yang ia yakini.
Bintang pun merasa berlawanan dengan dirinya. Ia sudah merasa tubuhnya tak dibalut pakaian, ia merasa malu, tatapan istrinya seolah hadir dalam bentangan kain gorden kamar tidur Ayuni, tapi ia terus melukis, ia tak mau dipencundangi oleh kesan seksualitas Ayuni yang menantang.
“ayolah kau pelukis,” desis Ayuni, “dalam keadaan apapun kau harus mampu melukis.”
Semua tubuhnya bergetar, termasuk tangan yang ia gunakan untuk melukis. Kuas dan cat pun akhirnya membentuk gambar yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya, sangat sensual….
Sekali lagi ia merasa diawasi. Mata istrinya bergantung seperti bandul waktu diantara gantungan baju, yang beberapa gantungannya sudah terisi penuh oleh pakaian yang ditanggalkan Ayuni. Ia merasakan satu kebebasan yang menghambat.
Istrinya naif, ia lebih menyukai Bintang sebagai akuntan ketimbang pelukis. Profesi akuntan adalah profesi yang di harapkan banyak oleh istrinya bisa menghidupi keluarga secara lebih layak. Sedangkan Bintang lebih menyukai dunia lukis-melukis, sayangnya sudah bertahun-tahun profesi itu ia geluti, melukis belum dapat mengangkat istri dan anak-anaknya pada kehidupan layak.
Bintang akhirnya sedikit menyerah, tawaran sang mertua bekerja di salah satu cabang perusahaannya membuat ia dipaksa menjalani profesi yang kurang ia sukai. Tapi apa boleh buat, keluarganya harus ia hidupi. Dan ia menjalankan dua pekerjaan, sebagai pelukis sekaligus sebagai akuntan amatiran. Atau sebaliknya.
Sekarang melalui Ayunilah teman aktifisnya semasa gerakan reformasi, lukisannya dijanjikan akan memeroleh uang banyak. Wanita ini menjanjikan akan menjual lukisan tersebut pada seorang kolektor yang ia kenal dekat, sekaligus lukisan-lukisan Bintang yang selama ini belum banyak dikenal. Tapi bagi Bintang bukan semata-mata itu tujuannya, ia hanya ingin memiliki waktu banyak untuk melukis.

3/
Lukisan telah selesai, Bintang memberi tanda pada Ayuni dengan bahasa tubuhnya, bahwa semua telah berhasil dilewati. Ayuni berjalan kearah Bintang, masih dalam keadaan telanjang. Dilihatnya hasil lukisan itu. Ia tersenyum puas.
Cita-cita digambar seorang pria dalam keadaan seperti itu, tercapailah sudah. Raut wajahnya seperti tiupan angin taufan, bebas memorakporandakan apa yang dapat dilihat mata. Sekarang menurut Ayuni, semua hijab telah terbuka. Tak ada lagi kemunafikan, setidaknya itulah arti sebuah lukisan yang tengah ia pandang, dan dengan gagah wanita ini seolah memperlihatkan kepada Bintang, sejatinya sekarang ia sudah dipuncak kebebasan.
“Hebat!” serunya pada Bintang. Sekarang Ayuni semakin berani, apalagi melihat Bintang masih dalam keadaan gemetaran sebagai ekspresi dari kesan sensual tubuh Ayuni. Ayuni kemudian perlahan mencabut kuas dari tangan Bintang. Meletakannya diatas meja dimana cat-cat minyak dan akrilik bertebaran.
Tangan Bintangpun dipapah pada lekuk tubuhnya, kemudian Ayuni bilang, “disinilah kebebasan itu Bintang!” Bintang terperangah, ia seolah hanyut oleh kebebasan yang ditawarkan Ayuni. Suatu kebebasan yang tak pernah ditawarkan istrinya selama ini.
Perlahan-perlahan tubuh Bintang melalui tangannya yang sudah sekian lama menyentuh bagian tubuh Ayuni, menembus sebuah dinding, melalui lubang-lubang yang diperkenalkan wanita ini, lubang itu persis sebuah situs gua yang jalannya dapat menembus satu daerah yang asing, daerah kebijaksanaan. Di sanalah Ayuni memperkenalkan kebebasan: hilangnya sakralitas pernikahan.
Dalam lubang-lubang kebebasan yang menantang itu, Bintang melihat betapa objek-objek dengan telanjang mata menanti untuk dapat ia lukis, mereka adalah dedaunan yang hijau, gegunung yang memuncak, matahari yang teduh, tanah yang basah oleh hujan, hiruk- pikuk suara pasar, jeritan seorang anak, lenguh kerbau, cipratan air sungai, cendawan yang menari, bidadari hitam-putih, asap tebal, ledakan, nyanyian, kemarahan, dan orgasme, melayang-layang telanjang dan tak mau beranjak dari mata Bintang. Istrinya belum pernah membawa dia dalam keadaan ini, ia justru telah menilai istrinya sebagai penghalang objek-objek lukis itu.
“kenapa kau lakukan ini semua padaku?” tanya Bintang kepada Ayuni.
“Aku ingin memperkenalkan kepadamu, bagaimana lepas dari kemapanan pakaian,” Jawab Ayuni.
Kemudian Bintang merasa tenggelam. Tenggelam dalam kebebasan yang ditawarkan Ayuni. Dalam segala desahnya, Ayuni menjanjikan agar Bintang dapat melukis sepanjang waktu.  Tapi bagaimana dengan istrinya?
“aku tak akan meminta pertanggung jawaban kepadamu. Aku hanya ingin kau memuaskan tubuhku. Menikah hanya akan menghalangiku membela kaum papa.” Jelas Ayuni. Sekarang semua tubuhnya telah masai, remah, dilumat gairah.
Bintang tak lagi bisa berpikir. Ia sedang terhanyut pada kenikmatan yang sudah ia rasakan. Yang ia tanyakan dalam dirinya adalah bagaimana Ayuni dapat  menjamin bahwa ia dapat memiliki kebebasan melukis? sementara ia harus terus setia pada istrinya. Bukankah bersama istrinya selama ini ia telah menjalani sebagian besar waktunya bukan sebagai dirinya yang pelukis?
“aku akan membantumu menjadi seorang pelukis. Semua lukisanmu akan memiliki harga selangit, karena lukisan-lukisanmu akan memautkan tubuh-tubuh telanjang diriku, sampai tanganmu tak lagi bergetar melukis ketelanjangan.” Ayuni, berikrar.
***

Bandung, 30 November 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar