Melukis Ayuni
Oleh M Taufan Musonip
Oleh M Taufan Musonip
Karya Alexa Meade, "MILK". menjadikan susu sebagai kanvas, lih. http://www.merdeka.com/gaya/milk-seni-lukis-di-atas-kanvas-susu.htm |
1/
Semua perangkat lukisannya sudah
dipersiapkan dalam satu tas. Bintang sudah datang lebih awal dari janjinya, Ini
hari yang penting bagi seorang pelukis amatir macam Bintang, karena akan
melukis objek perempuan untuk melahirkan karya kontemporer, seorang perempuan
yang sudah banyak dikenal orang di dunia pembebasan.
Setidaknya memang begitulah adanya Ayuni,
perempuan cantik ini ingin digambar persis hamparan alam yang tanpa pakaian,
sudah sejak masa baligh mungkin ia menginginkan hal itu, semasa ia mulai broken home, semasa ia betul-betul mulai
merasakan pemberontakan dirinya terhadap orang tuanya yang aristokrat dan
kolot.
Dalam masa-masa itu Ayuni betul-betul
merasakan bagaimana rasanya diusir atau terusir dari kebahagiaan keluarganya,
ketika sang ayah memergoki dia sudah bercinta dengan seorang pria dalam sebuah
kamar kost-nya.
“Mengapa tidak kau ambil seorang pelukis
perempuan saja, biar lebih ragap? apa rasa malumu sudah hilang seiring semakin mantapnya prinsip kebebasanmu
itu?” tanya Bintang, sebelum dirinya menyetujui apa yang diinginkan Ayuni.
“Aku ingin dilukis bukan di roentgen, dan aku membutuhkan sensasi
seorang pria pelukis untuk menggambarku dalam keadaan telanjang.” jawab Ayuni.
Tapi Bintang belum pernah melukis wanita
dalam keadaan itu. Ini pengalaman pertama, sebagai ujian yang berat jika orang
harus menyebut dia sebagai pelukis professional. Jika Ayuni adalah sebuah objek
lukis yang baik, mengapa harus ditolak permintaan tersebut. Maka dengan
kesepakatan, mereka telah menentukan waktu yang lowong untuk bertemu.
Selain seorang wanita pembebas, Ayuni
sering berikrar bahwa dirinya adalah ikon anti-kemapanan, ini semua sudah ia
buktikan dengan karya-karya novelnya.
Bintang sering menganggap Ayuni memiliki
kepribadian ganda, antara prinsip pembebasan dengan prinsip anti kemapanan
adalah dua kutub yang sering berlawanan, bukankah kebebasan justru lahir ketika
seorang manusia berada dalam kelas masyarakat mapan.
Juga bukankah Ayuni seorang wanita yang
berada dalam golongan masyarakat kelas mapan? ia bukan orang miskin, dia orang
berduit yang memiliki beberapa hak kekayaan intelektual, royalty dari hasil
karya-karya tulisnya.
Karya Seni Milk Alexa Meade, http://www.merdeka.com/gaya/milk-seni-lukis-di-atas-kanvas-susu.html |
Anehnya Ayuni sering memanfaatkan kondisi
ketidak-mapanan masyarakat sebagai objek penulisannya. Bintang tidak pernah
yakin kalau Ayuni dalam sebuah LSM-nya dapat betul-betul faham akan kesulitan
masyarakat kecil sebagai objeknya.
Atau memang mungkin karena Ayuni senang
melukis derita rakyat melalui penanya, menjadikannya pakaian yang melingkupi
tubuhnya.
Dengan pakain itu Ayuni, menjadi sesosok
perempuan yang sangat penasaran untuk di miliki oleh lelaki siapa saja.
Semampai tubuh yang menopang otak, dimana dendrite-dendrite nya mengguratkan
aksi tentang ide-ide pembebasan massa .
Synaps-synaps nya menampung ingatan-ingatan tentang sejarah-sejarah gerakan massa .
Para lelaki sebagaimana juga Bintang
cukup merasakan kesan sensual dirinya, saat ia memakai pakaian indahnya:
penderitaan rakyat, dan segala ide pembebasan massa . Menjadi jenis pakaian provocateur, yang tengah gandrung
dimiliki para aktifis perempuan.
2/
Di sebuah rumah yang luas tanah dan model
bangunannya mapan, milik Ayuni, akhirnya mereka dapat saling bertemu.
Bintang kemudian mulai melukis, wanita
itu berpose mirip bentangan gunung berkawah. Memanjang, berkerut menyamping
seperti rangkaian daun putri malu, bagaimanapun tanpa selubung didepan pria
yang baru melihatnya telanjang, Ayuni tak dapat mempertahankan rasa malunya. Ia
seperti mempertanyakan prinsip kebebasan yang ia yakini.
Bintang pun merasa berlawanan dengan dirinya.
Ia sudah merasa tubuhnya tak dibalut pakaian, ia merasa malu, tatapan istrinya
seolah hadir dalam bentangan kain gorden kamar tidur Ayuni, tapi ia terus
melukis, ia tak mau dipencundangi oleh kesan seksualitas Ayuni yang menantang.
“ayolah kau pelukis,” desis Ayuni, “dalam
keadaan apapun kau harus mampu melukis.”
Semua tubuhnya bergetar, termasuk tangan
yang ia gunakan untuk melukis. Kuas dan cat pun akhirnya membentuk gambar yang
belum pernah ia dapatkan sebelumnya, sangat sensual….
Sekali lagi ia merasa diawasi. Mata
istrinya bergantung seperti bandul waktu diantara gantungan baju, yang beberapa
gantungannya sudah terisi penuh oleh pakaian yang ditanggalkan Ayuni. Ia
merasakan satu kebebasan yang menghambat.
Istrinya naif, ia lebih menyukai Bintang
sebagai akuntan ketimbang pelukis. Profesi akuntan adalah profesi yang di
harapkan banyak oleh istrinya bisa menghidupi keluarga secara lebih layak.
Sedangkan Bintang lebih menyukai dunia lukis-melukis, sayangnya sudah
bertahun-tahun profesi itu ia geluti, melukis belum dapat mengangkat istri dan
anak-anaknya pada kehidupan layak.
Bintang akhirnya sedikit menyerah,
tawaran sang mertua bekerja di salah satu cabang perusahaannya membuat ia
dipaksa menjalani profesi yang kurang ia sukai. Tapi apa boleh buat,
keluarganya harus ia hidupi. Dan ia menjalankan dua pekerjaan, sebagai pelukis
sekaligus sebagai akuntan amatiran. Atau sebaliknya.
Sekarang melalui Ayunilah teman
aktifisnya semasa gerakan reformasi, lukisannya dijanjikan akan memeroleh uang
banyak. Wanita ini menjanjikan akan menjual lukisan tersebut pada seorang
kolektor yang ia kenal dekat, sekaligus lukisan-lukisan Bintang yang selama ini
belum banyak dikenal. Tapi bagi Bintang bukan semata-mata itu tujuannya, ia
hanya ingin memiliki waktu banyak untuk melukis.
3/
Lukisan telah selesai, Bintang memberi
tanda pada Ayuni dengan bahasa tubuhnya, bahwa semua telah berhasil dilewati.
Ayuni berjalan kearah Bintang, masih dalam keadaan telanjang. Dilihatnya hasil
lukisan itu. Ia tersenyum puas.
Cita-cita digambar seorang pria dalam
keadaan seperti itu, tercapailah sudah. Raut wajahnya seperti tiupan angin
taufan, bebas memorakporandakan apa yang dapat dilihat mata. Sekarang menurut
Ayuni, semua hijab telah terbuka. Tak ada lagi kemunafikan, setidaknya itulah
arti sebuah lukisan yang tengah ia pandang, dan dengan gagah wanita ini seolah
memperlihatkan kepada Bintang, sejatinya sekarang ia sudah dipuncak kebebasan.
“Hebat!” serunya pada Bintang. Sekarang
Ayuni semakin berani, apalagi melihat Bintang masih dalam keadaan gemetaran
sebagai ekspresi dari kesan sensual tubuh Ayuni. Ayuni kemudian perlahan
mencabut kuas dari tangan Bintang. Meletakannya diatas meja dimana cat-cat
minyak dan akrilik bertebaran.
Tangan Bintangpun dipapah pada lekuk
tubuhnya, kemudian Ayuni bilang, “disinilah kebebasan itu Bintang!” Bintang
terperangah, ia seolah hanyut oleh kebebasan yang ditawarkan Ayuni. Suatu
kebebasan yang tak pernah ditawarkan istrinya selama ini.
Perlahan-perlahan tubuh Bintang melalui
tangannya yang sudah sekian lama menyentuh bagian tubuh Ayuni, menembus sebuah dinding,
melalui lubang-lubang yang diperkenalkan wanita ini, lubang itu persis sebuah
situs gua yang jalannya dapat menembus satu daerah yang asing, daerah
kebijaksanaan. Di sanalah Ayuni memperkenalkan kebebasan: hilangnya sakralitas pernikahan.
Dalam lubang-lubang kebebasan yang
menantang itu, Bintang melihat betapa objek-objek dengan telanjang mata menanti
untuk dapat ia lukis, mereka adalah dedaunan yang hijau, gegunung yang
memuncak, matahari yang teduh, tanah yang basah oleh hujan, hiruk- pikuk suara
pasar, jeritan seorang anak, lenguh kerbau, cipratan air sungai, cendawan yang
menari, bidadari hitam-putih, asap tebal, ledakan, nyanyian, kemarahan, dan
orgasme, melayang-layang telanjang dan tak mau beranjak dari mata Bintang.
Istrinya belum pernah membawa dia dalam keadaan ini, ia justru telah menilai
istrinya sebagai penghalang objek-objek lukis itu.
“kenapa kau lakukan ini semua padaku?”
tanya Bintang kepada Ayuni.
“Aku ingin memperkenalkan kepadamu,
bagaimana lepas dari kemapanan pakaian,” Jawab Ayuni.
Kemudian Bintang merasa tenggelam.
Tenggelam dalam kebebasan yang ditawarkan Ayuni. Dalam segala desahnya, Ayuni
menjanjikan agar Bintang dapat melukis sepanjang waktu. Tapi bagaimana dengan istrinya?
“aku tak akan meminta pertanggung jawaban
kepadamu. Aku hanya ingin kau memuaskan tubuhku. Menikah hanya akan
menghalangiku membela kaum papa.” Jelas Ayuni. Sekarang semua tubuhnya telah
masai, remah, dilumat gairah.
Bintang tak lagi bisa berpikir. Ia sedang
terhanyut pada kenikmatan yang sudah ia rasakan. Yang ia tanyakan dalam dirinya
adalah bagaimana Ayuni dapat menjamin
bahwa ia dapat memiliki kebebasan melukis? sementara ia harus terus setia pada
istrinya. Bukankah bersama istrinya selama ini ia telah menjalani sebagian
besar waktunya bukan sebagai dirinya yang pelukis?
“aku akan membantumu menjadi seorang
pelukis. Semua lukisanmu akan memiliki harga selangit, karena lukisan-lukisanmu
akan memautkan tubuh-tubuh telanjang diriku, sampai tanganmu tak lagi bergetar
melukis ketelanjangan.” Ayuni, berikrar.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar