Sabtu, 05 November 2011

Esai

       Menaklukkan Kegelisahan dalam Perenungan atas Modernitas
Oleh: M Taufan Musonip

1/
Usaha perburuan gagasan telah membuat kegelisahan begitu dirayakan. Kehidupan modernitas sudah begitu mengerikan. Di setiap sudut jiwa selalu bergaung lolong serigala, yang membuat kelelawar selalu beredar menghinggapi tiap-tiap ruang kosong yang telah lama berlumut dan lembab. Itulah yang telah menjadikan kehendak penciptaan terus menerus mengkremus kabut hitam dalam setiap langkah.
Manusia modern sebenarnya bisa jadi  tengah terjebak dalam hegemoni perayaan kegelisahan itu. Ia didesak oleh semacam kebaruan-kebaruan yang hendak diciptakannya. Ketidakmampuan mengatasinya, membuat mereka terjebak dalam jurang-jurang hedonisme, tapi sesungguhnya dia hidup diantara geliat ciptaan-ciptaan, menjadi semacam konsumsi.
Popo Iskandar, Kucing
Cat minyak di atas kanvas /
Oli on canvas, 120 x 145 cm, Inv. 150/SG/A
 (1975),  
Sampai di sana kegelisahan bukan menjadi takluk. Kehancuran gagasan bukan pertanda munculnya kekuatan akan tetapi sebaliknya: sebuah pemandangan tentang peradaban yang runtuh, atau rapuhnya kebudayaan sebuah bangsa.

Maka ada dunia kepenyairan dalam hal ini, dunia yang digadang-gadang mampu membangkitkan keberdayaan manusia melalui khazanah penciptaan, runtuhnya gagasan menjadi semacam pemandangan yang begitu syahdu karena penciptaan di dalamnya hampir-hampir tak bisa dikaitkan dengan konsumsi.
Dunia dalam kepenyairan seolah berlari pada  awal mula dunia diciptakan, memburu muasal bebunyian dalam resonansi alam semesta. Oleh karenanya ia merupakan pakem ---jika tak bisa dikatakan sebagai kritik--- atas modernitas.
Berbicara syair saya mengenang pembicaraan sahabat saya seorang suluk. Syair menurutnya adalah sebuah daya cipta yang melampaui kadar intelektual manusia. Ia menceritakan tentang hikayat seorang syeikh yang ditinggalkan oleh murid-muridnya karena terpesona oleh kecerdasan intelektual Ibnu Siwaleh salah seorang muridnya pula.
Kesunyian membawanya bermunajat di sebuah pesisir, tentang keinginannya memiliki ilmu yang tak bisa dengan mudah dimiliki oleh manusia biasa. Sang Syeikh mendapati ilmu menggubah syair sebagai ilmu paling tinggi diantara ilmu-ilmu yang ada. Maka terminologi bahar yang mengandung arti kata laut menjadi metodologi menggubah syair yang dalam artian luas adalah semacam penggabungan ketukan para tukang pandai besi pembuat pedang masyarakat pesisir dengan debur ombak yang ia hayati ---Saya tak sempat mendapatkan informasi kitab apa yang memuat cerita itu, terlebih penulisnya. Hanya ia mengatakan saja dengan enteng bahwa hikayat itu termuat dalam Kitab Kuning yang banyak di pelajari para santri.
2/
Dia sendiri menyejajarkan kata pengarang sebagai musonip yang lebih lanjut dapat diartikan menjadi seorang penggubah kisah atau syair yang memautkan aksara dengan alam semesta.
Aksara menurutnya adalah buah dari petikan suara-suara semesta yang mendengung dalam kepekaan indera manusia. Maka dalam usaha estetik, aksara bukan semata-semata usaha pikiran membentuk kalimat dalam resonansi itu. Usaha estetik adalah ketika aksara berbicara sebagaimana adanya. Tentulah hal ini bertentangan dengan prinsip peak experiment dan epiphany yang banyak diyakini para penyair modern, di mana menggubah puisi hanya sekedar memahami alam semesta demi kebutuhan tubuh dan pikirannya.
Dari sanalah sebenarnya secara psikologis perburuan gagasan menghasilkan kegelisahan terus menerus, karena pikiran dan tubuh memautkan nafsu penciptaan yang terus menerus pula. Ada semacam ambivalensi ketika puisi dikatakan sebagai antidot dari pasar, alih-alih ia menjadi konsumsi penyairnya sendiri.
Tentu kita akan menelaah sejauhmana aksara sebagai rembesan suara semesta berbicara sebagaimana adanya itu. Para penganut dekonstruksi yang menggeser unsur lange menjadi tidak begitu penting ketimbang parole dalam struktur bahasa, sesungguhnya tengah meramaikan hadirnya perayaan kegelisahan. Namun di sinilah sebenarnya penggalian kedalaman atas teks-teks yang ada mengalami kebuntuan. Dekontruksi jelas sekali menanamkan jiwa eksistensial yang mengatakan manusia sebagai pusat kehidupan. Baginya teks tak memiliki arti keberhadiran, keberhadiran justru muncul dalam diri pembaca.
Maka pertanyaan sebenarnya menjadi, kapan tepatnya dekontruksi berbicara kedalaman saat ia berhadapan dengan sebuah teks, di kala dia sendiri berada dalam tubuh dan pikirannya yang terbatas. Dekonstruksi pada akhirnya semacam hedonisme, tatkala kedalaman tak mampu ia gapai, sadar betapa dirinya hidup dalam keterbatasan, merayakan kegelisahan saat-saat upaya penciptaan itu begitu tersumbat.
Sebenarnya kawan suluk saya ingin mengatakan bahwa upaya menggali kedalaman pada akhirnya adalah bentuk tingkatan-tingkatan keilmuan. Untuk menggali teks kitab suci Al Qur’an misalnya perlu beberapa instrumentasi yang dimiliki ---diantaranya pemahaman tata bahasa, hikmah, ilmu falak, tasawuf dsb--- itupun dia masih meyakini bahwa setiap bunyi teks akan menghasilkan multitafsir, meyakini bahwa sejauh-jauhnya manusia menggali kedalaman diantara selubung tubuh dan pikiran, apa yang tersembunyi belum tentu sepenuhnya di dapat.
Namun dia meyakini adanya seseorang di masa depan dapat menafsirkan teks kitab suci dengan keyakinan sebuah inkarnasi Ketuhanan dalam dirinya, ia adalah pengembara kesunyian yang memiliki ilmu hikmah atas gerak alam semesta. Dan dia adalah seseorang yang melakukan perlawanan atas kegelisahan dirinya sendiri. Meyakini Allah ada dalam urat lehernya sebagai pelindung yang menentramkan, membimbingnya mencipta sesuatu dalam kadar kesenian yang tinggi menguasai semesta menurut dengung suara alam sebenarnya.
3/
Terlalu berat sebenarnya pemahaman kawan suluk itu. Tetapi sebenarnya ia bisa jadi semacam penyadaran bahwa penghancuran-penghancuran dzat keberhadiran dalam teks ---yang telah membuat manusia begitu adikuasa terhadap alam semesta, mengeksploitasinya tanpa reserve--- akan menemui ajalnya ketika sang uzlah turun dari bukit kesunyiannya untuk meluruskan yang telah bengkok.
Namun revolusi bukan ditunggu, ia diciptakan. Saya melihat bahwa sang uzlah adalah para penyair yang membangun “tatanan baru”, menyepi bukan dalam artian sempit seperti dikatakan kawan suluk itu, ia adalah siapa kita yang berkhalwat dalam keramaian, yang selalu suka cita bahwa menulis syair bukanlah tujuan akhir, karena kehidupan bukanlah upaya penciptaan terus menerus akan tetapi sebuah jeda di mana ciptaannya adalah kesadaran yang selalu bekerja membangun tahapan-tahapan kebenaran demi kemaslahatan masyarakat dan lingkungannya.
Bagaimanapun kesusastraan haruslah berimbas pada kebudayaan, maka puisi adalah kesadaran diri di mana kejujuran dan rasa welas asih di dalamnya menjadi terejawantah di dalam kehidupan.
***
Cikarang, 5 Juni 2011





Tidak ada komentar:

Posting Komentar