Jumat, 04 November 2011

Esai

 -->Mencoba Melalui Perjalanan Asketisme

Oleh: M Taufan Musonip
“Mungkin saatnya kita segera mengasingkan diri, Radhar. Ketempat paling asing di dunia ini. Sudah tidak ada yang bisa kita ajak bicara. Kecuali Tuhan sendiri. Di satu tempat yang dingin dan sepi kita akan mendapatkan perkataanNya.”
Kalimat itu yang ingin saya sampaikan kepada seorang Budayawan besar bernama Radhar Panca Dahana. Seorang Budayawan yang pernah tersangkut hukuman oleh Alm. Rendra, hidup dalam pengasingan sebuah sel yang sempit, untuk penempaan diri memahami dirinya sebagai manusia dalam usaha-usaha mendalami ilmu teater.
Sebagaimana Radhar, filosof yang lama mempelajari kebudayaan agama Hindu, Arthur Schopenhauer, memilih moksa sebagai jalan terakhir ketika dunia sedang dilanda tragedi. Diam adalah salah satu solusi ketika manusia lainnya sudah tak lagi dapat diajak bicara.

 Memang dunia tak lagi dihadiri oleh orang-orang yang memiliki sinyal langsung kepada Tuhan, mengalami pewahyuan seperti para Nabi. Tapi dengan usaha-usaha asketis, kita dapat mendengar Tuhan berbicara melalui isyarat alam semesta.
Keprihatinan Radhar terhadap bangsanya seperti sebuah beban yang meruah dalam pikirannya. Radhar seolah tak menemukan orang yang bisa ia ajak bicara. Bangsa yang sedang mengalami tragedi kemanusiaan, dinafikan begitu saja oleh orang-orang yang memegang kendali negara.
Kejahatan hanya menjadi berita kecil, dan di tampilkan dalam bentuk komoditi. Oleh karenanya manusia sudah semakin tak memiliki tempat untuk bicara. Orang-orang yang berdemo tentang kebijakan pemerintah, dibiarkan berteriak hingga parau, tak pernah sama sekali didengarkan. Anak perawan tak mampu berontak saat bapaknya memperkosanya berkali-kali, ia malu jika mengadu pada khalayak, kehidupan pribadinya menjadi urusan publik.
Kakak dan Adik, Basuki Abdullah
Anak muda yang memiliki ilmu tinggi dan sangat sederhana sulit memperbaiki cara pandang orang tuanya yang materialistis. Pebisnis jujur akan terpuruk jika ia tak mengikuti cara-cara kotor penyelenggaraan sebuah proyek. Seorang pengarang yang karyanya sering dimuat di media diberi upah minim, terpaksa menjalani hidup yang sulit, sebuah konsekwensi pahit di tengah-tengah masyarakat yang tak pernah menyukai kesastraan sebagai inspirasi kehidupan dengan ditandai rendahnya minat baca.
Kebenaran semakin terpuruk dalam dada. Tak ada lagi yang bisa diajak bicara. Orang-orang sibuk dengan misi pribadinya masing-masing, bertransaksi, mengejar karier atau mengumpulkan harta. Yang paling aman dalam keadaan ini adalah menjadi seorang agamawan. Setidaknya ia memiliki jatah khotbah, untuk memperbaiki keadaan. Tetapi agamawan sekarang sedang dilanda fanatisme, demokrasi yang menerjang hebat telah membawa kehidupan beragama semakin terpecah ke dalam sekte-sekte. Agama lalu berpisah dari ilmu pengetahuan. Fanatisme membawa pada kedangkalan dan kezaliman.
Sebagai seorang penulis bahkan saya menjadi pelupa. Karena orang-orang di lingkungan saya hampir tak ada yang suka jika saya ajak bicara agak “dalam” sedikit. Semua ilmu yang dibaca menguap begitu saja. Tak bisa diterapkan. Sebagai seorang penulis, tiba-tiba juga kemampuan bicara saya menurun, sangat berhati-hati dalam percakapan-percakapan yang terlampau ilmiah atau mencari cara bagaimana menyerderhanakannya. Jika saya berbicara ilmiah sedikit, mereka menguap, katanya, “percuma pintar kalau tidak kaya!” . Ternyata saya bisa bicara agak leluasa dan didengar ketika saya menjadi orang kaya.
Saya merasa hidup asing dalam kehidupan sendiri, sejatinya saat saya mulai banyak mengumpulkan buku, karena dengan membaca buku saya mulai tahu, bahwa saya tengah hidup dalam peradaban yang menyimpang.
Kehilangan Tuhan
Maka membaca esai Radhar (Rakyat yang Letih-Kompas, 4/9) membuat saya ingin mengalami perjalanan asketis. Menyusuri jalan-jalan berbahaya dengan kesendirian, menguatkan diri di dalamnya sebagai manusia sejati. Sedikit mencoba menghilangkan ketergantungan kepada benda-benda. Lebih banyak merenung daripada banyak bicara dan membawa Tuhan kembali terlibat dalam kehidupan saya.
Jujur saja, Tuhan sudah lama hanya menjadi pembuat arloji, sementara waktu hidup saya dibiarkan berputar sendiri. Saya terlalu ambisius dalam mengerjakan sesuatu, seakan-akan semua akan berhasil dengan kekuatan diri sendiri. Sekolah yang tinggi dan ilmu pengetahuan yang didapat tiba-tiba menjadi bentuk egoisme, yang menafikan kehadiran orang lain bahkan Tuhan.
Hilangnya Tuhan dalam kehidupan saya, membuat saya menjadi serigala bagi manusia lainnya. Egoisme semakin membumbung ketika saya merasa memiliki ilmu pengetahuan yang cukup. Dengan itu saya merasa hidup sendiri, dan perlu memberangus orang-orang yang dianggap merongrong di sekitar saya.
Hilangnya Tuhan dalam keseharian saya membuat teknologi dan ilmu pengetahuan yang saya miliki dengan mudahnya di belokkan kepada hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Hilangnya Tuhan dalam diri saya membuat saya tak peduli lagi pada sesama. Jika saya melintas pada sebuah jalan yang sudah meluas pembangunan kawasannya, dan melihat orang penduduk asli terpinggirkan, saya akan segera menyalahkan mereka karena tak mampu menghadapi perubahan. Padahal nyatanya itu adalah tanggung jawab orang-orang seperti saya yang mengaku berilmu dan bertuhan.
Tetapi siapa yang harus saya ajak memikirkan hal-hal berat seperti itu?
Saya tujukan pertanyaan itu kepada para politisi sebagai agen perubahan sosial, sayang sekali mereka sudah cenderung memanfaatkan organisasi dan identitasnya sebagai alat meraup keuntungan demi kepentingan golongan mereka sendiri. Sulit sekali jika  ingin menyumbangkan pikiran baik di sana, karena kehidupan organisasi politik berjalan secara kedinastian bahkan cenderung tergantung pada kapital. Yang tak memiliki uang dan riwayat keturunan, tak bisa dengan mudah berkiprah di dalamnya.
Lagi-lagi orang-orang di dalam lingkaran ini juga tak dapat diajak bicara. Maka saya putuskan untuk bicara hanya pada Tuhan dalam sepi dan pengasingan, mungkin untuk beberapa hari. Saya ingin benar-benar merasakan Tuhan lebih dekat dari urat leher, mengawasi segala tindak-tanduk saya dalam kehidupan ini.
***
Cikarang, 5 September 2010






Tidak ada komentar:

Posting Komentar