Oleh: M Taufan Musonip
“Mungkin saatnya kita segera mengasingkan diri, Radhar.
Ketempat paling asing di dunia ini. Sudah tidak ada yang bisa kita ajak bicara.
Kecuali Tuhan sendiri. Di satu tempat yang dingin dan sepi kita akan mendapatkan
perkataanNya.”
Kalimat itu yang ingin
saya sampaikan kepada seorang Budayawan besar bernama Radhar Panca Dahana.
Seorang Budayawan yang pernah tersangkut hukuman oleh Alm. Rendra, hidup dalam
pengasingan sebuah sel yang sempit, untuk penempaan diri memahami dirinya
sebagai manusia dalam usaha-usaha mendalami ilmu teater.
Sebagaimana Radhar,
filosof yang lama mempelajari kebudayaan agama Hindu, Arthur Schopenhauer,
memilih moksa sebagai jalan terakhir ketika dunia sedang dilanda tragedi. Diam
adalah salah satu solusi ketika manusia lainnya sudah tak lagi dapat diajak
bicara.
Memang dunia tak lagi dihadiri oleh orang-orang yang memiliki sinyal langsung kepada Tuhan, mengalami pewahyuan seperti para Nabi. Tapi dengan usaha-usaha asketis, kita dapat mendengar Tuhan berbicara melalui isyarat alam semesta.
Memang dunia tak lagi dihadiri oleh orang-orang yang memiliki sinyal langsung kepada Tuhan, mengalami pewahyuan seperti para Nabi. Tapi dengan usaha-usaha asketis, kita dapat mendengar Tuhan berbicara melalui isyarat alam semesta.
Keprihatinan Radhar
terhadap bangsanya seperti sebuah beban yang meruah dalam pikirannya. Radhar
seolah tak menemukan orang yang bisa ia ajak bicara. Bangsa yang sedang
mengalami tragedi kemanusiaan, dinafikan begitu saja oleh orang-orang yang
memegang kendali negara.
Kejahatan hanya menjadi
berita kecil, dan di tampilkan dalam bentuk komoditi. Oleh karenanya manusia
sudah semakin tak memiliki tempat untuk bicara. Orang-orang yang berdemo
tentang kebijakan pemerintah, dibiarkan berteriak hingga parau, tak pernah sama
sekali didengarkan. Anak perawan tak mampu berontak saat bapaknya memperkosanya
berkali-kali, ia malu jika mengadu pada khalayak, kehidupan pribadinya menjadi
urusan publik.
Kakak dan Adik, Basuki Abdullah |
Kebenaran semakin
terpuruk dalam dada. Tak ada lagi yang bisa diajak bicara. Orang-orang sibuk
dengan misi pribadinya masing-masing, bertransaksi, mengejar karier atau
mengumpulkan harta. Yang paling aman dalam keadaan ini adalah menjadi seorang
agamawan. Setidaknya ia memiliki jatah khotbah, untuk memperbaiki keadaan.
Tetapi agamawan sekarang sedang dilanda fanatisme, demokrasi yang menerjang
hebat telah membawa kehidupan beragama semakin terpecah ke dalam sekte-sekte.
Agama lalu berpisah dari ilmu pengetahuan. Fanatisme membawa pada kedangkalan
dan kezaliman.
Sebagai seorang penulis
bahkan saya menjadi pelupa. Karena orang-orang di lingkungan saya hampir tak
ada yang suka jika saya ajak bicara agak “dalam” sedikit. Semua ilmu yang
dibaca menguap begitu saja. Tak bisa diterapkan. Sebagai seorang penulis,
tiba-tiba juga kemampuan bicara saya menurun, sangat berhati-hati dalam
percakapan-percakapan yang terlampau ilmiah atau mencari cara bagaimana menyerderhanakannya.
Jika saya berbicara ilmiah sedikit, mereka menguap, katanya, “percuma pintar
kalau tidak kaya!” . Ternyata saya bisa bicara agak leluasa dan didengar ketika
saya menjadi orang kaya.
Saya merasa hidup asing
dalam kehidupan sendiri, sejatinya saat saya mulai banyak mengumpulkan buku,
karena dengan membaca buku saya mulai tahu, bahwa saya tengah hidup dalam
peradaban yang menyimpang.
Kehilangan Tuhan
Maka membaca esai Radhar
(Rakyat yang Letih-Kompas, 4/9) membuat saya ingin mengalami perjalanan
asketis. Menyusuri jalan-jalan berbahaya dengan kesendirian, menguatkan diri di
dalamnya sebagai manusia sejati. Sedikit mencoba menghilangkan ketergantungan
kepada benda-benda. Lebih banyak merenung daripada banyak bicara dan membawa
Tuhan kembali terlibat dalam kehidupan saya.
Jujur saja, Tuhan sudah
lama hanya menjadi pembuat arloji, sementara waktu hidup saya dibiarkan
berputar sendiri. Saya terlalu ambisius dalam mengerjakan sesuatu, seakan-akan
semua akan berhasil dengan kekuatan diri sendiri. Sekolah yang tinggi dan ilmu
pengetahuan yang didapat tiba-tiba menjadi bentuk egoisme, yang menafikan
kehadiran orang lain bahkan Tuhan.
Hilangnya Tuhan dalam
kehidupan saya, membuat saya menjadi serigala bagi manusia lainnya. Egoisme
semakin membumbung ketika saya merasa memiliki ilmu pengetahuan yang cukup.
Dengan itu saya merasa hidup sendiri, dan perlu memberangus orang-orang yang
dianggap merongrong di sekitar saya.
Hilangnya Tuhan dalam
keseharian saya membuat teknologi dan ilmu pengetahuan yang saya miliki dengan
mudahnya di belokkan kepada hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain.
Hilangnya Tuhan dalam
diri saya membuat saya tak peduli lagi pada sesama. Jika saya melintas pada
sebuah jalan yang sudah meluas pembangunan kawasannya, dan melihat orang
penduduk asli terpinggirkan, saya akan segera menyalahkan mereka karena tak
mampu menghadapi perubahan. Padahal nyatanya itu adalah tanggung jawab
orang-orang seperti saya yang mengaku berilmu dan bertuhan.
Tetapi siapa yang harus
saya ajak memikirkan hal-hal berat seperti itu?
Saya tujukan pertanyaan
itu kepada para politisi sebagai agen perubahan sosial, sayang sekali mereka
sudah cenderung memanfaatkan organisasi dan identitasnya sebagai alat meraup
keuntungan demi kepentingan golongan mereka sendiri. Sulit sekali jika ingin menyumbangkan pikiran baik di sana,
karena kehidupan organisasi politik berjalan secara kedinastian bahkan
cenderung tergantung pada kapital. Yang tak memiliki uang dan riwayat keturunan,
tak bisa dengan mudah berkiprah di dalamnya.
Lagi-lagi orang-orang di
dalam lingkaran ini juga tak dapat diajak bicara. Maka saya putuskan untuk
bicara hanya pada Tuhan dalam sepi dan pengasingan, mungkin untuk beberapa hari.
Saya ingin benar-benar merasakan Tuhan lebih dekat dari urat leher, mengawasi
segala tindak-tanduk saya dalam kehidupan ini.
***
Cikarang, 5 September
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar