Rabu, 02 November 2011

Esai

Mencoba Mengangkat Martabat Perempuan
---Hasil Pembacaan Terhadap Buku Puisi Eko Putra
Oleh: M Taufan Musonip

Tercipta keyakinan bahwa mahluk pertama yang diciptakan Tuhan adalah wanita, ia di buat dalam enam masa, sesaat sebelum Tuhan tinggal di atas Arsy (QS 7-54), menjenjang atma, perlu seseorang berperan sebagai pasangannya.
Nampak kontorversial sebenarnya hal itu, sebab seperti kita yakini, justru lelaki awal mula diciptakan, oleh karenanya perempuan diciptakan terakhir dari tulang rusuk lelaki. Tapi ada kalanya fakta yang tersembunyi ini bisa disigi, sebab Ayat Suci jika ia mirip puisi, ada banyak subtansi yang mesti ditaja kembali prihal sisi lain awal mula penciptaan semesta.
Dari sinilah seorang Penyair, mencoba menempatkan perempuan pada derajat yang tinggi, diagungkan. Merujuk pada fakta adanya konsep awal mula penciptaan manusia diatas dari perspektif yang lain.
Jika kita diingatkan pada The Art of the Novel karya Milan Kundera, hal yang mencukupi bagi pembangunan sebuah nilai estetik adalah bagaimana mendapatkan sebuah kebenaran menjadi suatu rangkaian kalimat yang artistik. Sebab menurut Kundera, kebenaran tanpa estetika tak lain adalah bentuk kebodohan (kitsch).
Maka puisi dibangun untuk menerjemahkan kebenaran dalam bentuknya yang estetik, di mana prosesnya adalah upaya penjangkauan diri penyair sebagai manusia, yang memiliki signifikansi sebagai “ada”.
Nah, ada puisi-puisi Eko Putra yang terangkum dalam buku kumpulan puisi terbarunya, di mana bangunnya dilandasi imajinasi kasih sayang terhadap perempuan, menjadikan puisi berdiri sebagai sebuah feminitas (simbolisasi estetik), menyatakan bahwa ia adalah media yang mengantarkan semua manusia menuju Tuhan.
Kunci dunia yang kau ledakkan melalui tanganku
Senantiasa menenteramkan segala rahasia
Yang tak pernah kucapai seutuhnya
Karena itulah aku dapat melihat semesta yang lain
Selain hatimu yang menerbitkan mabukku
Paling dungu
Mengantarkan aku dalam perburuan sajak-sajakku
(Eko Putra, Sebuah Epitaf h. 2, Buku Puisi Aku Serigala yang Merdeka Karena Cinta)
Sajak awal buku milik Eko Putra ini begitu memukau dalam rangka menaikan derajat perempuan ---semua puisinya ditujukan untuk kekasih dan ibundanya tercinta, sebagai pemegang kunci dunia yang mampu membuka rahasia semesta, di mana sang lelaki terbuka mengakui bahwa dirinya tak pernah menjangkau rahasianya. Hanya sebatas mabuk menjadikan kekasih hatinya sebagai perkakas paling fungsional dalam membangun kekaryaannya. Ah, Eko terlalu terburu-buru di sini, mengagungkan kekasihnya hanya sebatas perkakas, ketika rahasia yang digenggamnya belum juga terpecahkan.
Penyair terjebak dalam mabuk(ku) paling dungu, sebuah hasrat yang memanjang hanya menyentuh persoalan rindu dendam, kasmaran, dan cinta tak tersampai. Menggauli perempuan demi sebait puisi. Hingga semata-mata jangkauan ejakulasi.
Jika Eko mengatakan buku puisinya sebagai cerminan masa remajanya, ia sebatas menyiratkan dirinya yang terbakar oleh hasrat dalam bayang-bayang dekapan seorang gadis (Di Matamu Rohku Terbakar, h 32)---sebagai cermin remaja masa kini kah?  .
Belum Merdeka
Perempuan berdiri memahami kuasanya sendiri secara kodratnya, sebagai sebuah ecclesiasticus menuju Ketuhanan. Dalam saujananya cahaya Tuhan terpancar. Tepatnya dalam segala kuasanya cinta Tuhan melalui manusia mengalami desakralisasi: menikmati keindahan dalam sudut-sudut kewanitaan adalah suatu momentum yang tepat mengarahkan segala pikiran pada sekularisasi yang benar (entmytologisierung).
Bagi saya rahasia yang belum terperi itu adalah harapan adanya aliran melodi tentang emansipasi wanita yang diteruskan menjadi semacam kuasa wanita yang memberi pencerahan pada naturalisme sebagai kesadaran regenaratifnya membayangi langkah kerja lelaki, di mana ia menafkahi anak-istrinya dalam memanfaatkan alam semesta secara eksploitatif. Dan bukan sekedar ejakulasi teofanik, sebatas pengantar syahdu doa-doa yang membumbung ke langit.
Sehingga menjadi benar-benar mengarah pada sekularisasi yang benar, dari refleksi keindahan Tuhan dalam tubuh perempuan menuju pelestarian lingkungan hidup. Akan tetapi Harapan itu pada akhirnya tanggal begitu saja, ketika Eko hanya mendedah prihal cinta ugahari kaum remaja.
Mungkin buku itu harus dipararelkan dengan buku pertamanya (Musi yang Manis Kekasihku. Bejana, 2010), yang lebih mencengangkan, berisi tentang semangat-semangat kelokalan dengan sedikit bumbu naturalisme. Buku ini harus rela dikatakan sebagai semata-mata sebab-musabab, hasil dari kontemplasi feminismenya, mengarah pada buku pertama yang lebih konkret menaja apa yang terjadi hari ini sebagai zeitgeistnya. Sebuah logika terbalik perkara sebab-akibat. Toh, soal depan-belakang dalam upaya penerbitan sah-sah saja terjadi.
Namun bagi saya hasilnya tetap kurang gereget, Eko seolah memberikan saya sesirah semangka yang bila dibelah, salah satu belahannya kurang matang apabila dinikmati, saya tidak tahu kenapa Eko melakukan pemisahan itu.
Penyair belum merdeka karena masih terjerat pada rasa cinta pucat kepada semua kekasihnya, meskipun pada dasarnya penyair sudah mencoba mengangkatnya sebatas inspirasi proses kekaryaan. Kemerdekaan terjadi baru sebatas keinginan penjangkauan terhadap pengagungan gaya literal, adikarya yang indah.
***
Cikarang, 9 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar