Motif Perulangan Dalam Ekstase Malna
Oleh:
M Taufan Musonip
Tendar.net |
Saya
memercayai apa yang pernah dikatakan Tia Setiadi1 bahwa Afrizal
Malna sampai saat ini masih kuat menghembuskan konsep sufisme pada sebagian
besar sajak-sajaknya, meskipun dalam strukturnya Malna menempatkan kosakata yang
seolah tak menangkar jangkauan spiritual sufistik itu ---terlebih banyak
benda-benda dan ungkapan mundan dan kekinian didalamnya.
Secara
fundamental Tia telah mengambil referensi dari Esai Abdul Hadi WM “Nafas
Sufisme dalam Sajak-sajak Afrizal Malna” yang pernah dimuat di Harian Suara
Karya 1984. Dengan itu kita meyakini bahwa pada dasarnya Malna memulai aktifitas persajakannya pada
saat ia terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat sufistik.
Salah
satu komponen terpenting struktur sajak-sajak sufistik adalah hadirnya unsur perulangan,
sebagaimana pernah ditelisik oleh JC Burgel. Perulangan identik dengan rasa
mabuk atau ekstase, simbol rasa cinta seorang manusia kepada Tuhannya.
Motif
perulangan (Radif dalam istilah Burgel) bisa dibandingkan dengan proses
berkesenian saat diraihnya momentum dimana raga yang dibenturkan dalam
pengalaman perulangan akan mendapatkan bentuk inkarnasi pencerahan Ketuhanan ke
dalam jiwa.
Berkesenian
adalah membentuk langkah konkret di mana semua instrumen yang dimiliki tubuh dibenturkan
dengan objeknya, maka beribadah terkadang merupakan inspirasi dari proses
berkesenian yang tak pernah bisa menghindar dalam unsur perulangan itu.
Cara
berkesenian semacam ini layaknya tengah menampilkan seni-seni tradisi ---saya
merasa diingatkan pada benda seni tradisi samping
kebat dalam budaya sunda yang digambar motif batik, sarat simbol-simbol
ruhani dengan struktur perulangan dimana ornamen-ornamen pinggiran akan
bertumpu pada satu titik pusat, selalu mendampingi tiga kejadian manusia, yaitu
kelahiran, di mana samping kebat
digunakan untuk membungkus (bedong:bahasa
sunda) bayi yang baru lahir, pernikahan, untuk mendandani sang pengantin, dan
kematian untuk menutup mayat yang sudah tak berdaya, tiga kejadian manusia tersebut
merupakan siklus manusia yang selalu berputar dalam satu etape kehidupan.
Namun
bagaimanapun seni adalah hal yang konkret, dalam artian bagaimana mengubah apa
yang kita alami sehari-hari menjadi tidak hanya sekedar perenungan tetapi
mengada dalam suatu wujud yang berhaluan kepada nilai-nilai ruhaniah.
Nilai-nilai ruhaniah bukan berarti menafikan bentuk aktualisasi diri serta
kekhawatiran eksistensi seni hanya mengada dalam bentuk tak ubahnya semata-mata
media untuk menyampaikan pesan kebenaran, sehingga nampak altruisme.
Sajak
Afrizal Malna saya pikir sampai saat ini dapat mendamaikan dua hal itu,
semangat tradisi muncul dalam bentuknya yang relevan dengan menghadirkan unsur ruhaniah kepada sesuatu
yang aktual di jaman ini, Sajak Afrizal bisa kita analogikan dengan batik
kontemporer, menggambarkan motif baru tapi masih memegang teguh rangkaian pusat
gambar dan ornamen-ornamen yang melingkupinya.
Semangat
tradisi itu salah satu muncul dalam struktur perulangan sajaknya. Sebuah pembuktikan
betapa tradisi-puisi yang mampu menangkap pengalaman ruhaniah itu mampu
membangkitkan kepedulian terhadap silang sengkarut kemanusian pada zamannya---secara
lebih spesifik pada bangsanya dalam sebuah nation bernama Indonesia. Simak
sajak berikut ini:
Perutnya
terbuat dari mi goreng. Udara tidak dingin malam ini, katanya. Lalu dia
mengenakan jaket. Aku sedang menunggu kematianmu, dan aku sedang
bersetubuh denganmu, katanya. Tangannya terbuat dari sedotan plastik. Aku tidak
punya acara malam ini, katanya. Aku hanya ingin tidur melupakan semua
pekerjaan. Lalu ia mengenakan jaket. Perutnya terbuat dari minyak
kelapa sawit, dan udara malam yang terperangkap dalam usus besarnya. Pacarku
tidak tahu kalau aku seorang penyair, katanya mengenakan jaket. Tetapi puisi
membuatku membenci guru bahasa sambil mengenakan jaket. Sambil mengenakan jaket
perutku terbuat dari mi goreng dan udara tidak terlalu dingin malam ini. Udara
tidak terlalu dingin aku katakan padamu, dan jangan mengenakan jaket
untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini. Empat jam dari Denpasar
menenggalamkan diri dalam tidur. Di Sebuah warung kopi, pelacur-pelacur muda di
Braga. Foto Mic Jagger terpasang besar di sebua toko perempatan jalan itu.
Stasiun kereta dari Holland. Seminar Sitor di Erasmus Huis, seminar Rendra di
Pikiran Rakyat. Aku tak pernah memikirkan kebudayaan dalam jaketmu, katanya.
Lihatlah semua ini hanya bahan-bahan mentah. Belum jadi peristiwa. Belum jadi
makna. Udara dingin hanya ada dalam jaketmu.
(Seminar
Musim Dingin, Khazanah HU Pikiran Rakyat, 2 Mei 2010)
Penyimpangan
Puisi
bukan semata-mata tatabahasa. Jika puisi adalah bentuk ekspresi sebuah konsep
dalam ciri penyimpangan kosakata dan tatabahasa seperti diungkapkan Riffaterre,
maka simbol-simbol dan teks yang dihasilkannya merupakan bentuk-bentuk
pengucapan sebagai pembongkaran kekhawatiran bahwa bahasa teks tak mampu
mengungkapkan secara detail apa yang terjadi dalam penglihatan sang penyair
dalam refleksinya terhadap ungkapan puitik.
Kekhawatiran
itu dialami Bryan Magee seorang filsuf inggris menghadapi para filsuf linguis
masa berjayanya filsafat bahasa di universitas Oxford dalam rentang waktu masa
perang dunia II. Menurut Para penganut filsafat linguis, bahasa adalah
pembicaraan mengenai dunia, dengan demikian teks adalah segala-galanya, dalam
artian teks sejatinya mampu menjadi identitas keunggulan seorang manusia. Magee
gerah akan hal itu, sebab pada dasarnya ada pengalaman-pengalaman manusia yang
tak bisa terjangkau dengan bahasa. Ada yang tidak bisa terlukiskan oleh bahasa.
Kata tidak lain adalah pintu sempit
melalui mana pikiran manusia masuk ke dalam lautan makna tanpa Batas…
demikian ujar Prof Izutsu menyepakati kegeraman magee.
Lukisan Telanjang di Pantai Kuta, Karya I Nyoman Batuan/ http://www.tempointeraktif.com/hg/seni/2010/03/22/brk,20100322-234440,id.html |
Magee
menyarankan agar apa-apa yang tak mampu diungkapkan dalam teks bisa diutarakan
dalam dialog (bicara) serta menarik intsrumen empirik orang untuk mengalami apa
yang sudah dialami.
Karena
puisi memiliki kekuatan untuk menciptakan perlambang dalam merefleksikan
pengalaman hidup, maka sajak bukan lagi semata-mata tata bahasa tetapi semacam
pengalaman artistik seorang penyair dalam meramu alam pikirnya bersama adonan
pengalaman hidup, ilmu pengetahuan dan pengalaman batin.
Sajak
mampu menggambarkan detail-detail gerakan alam, misalnya dalam berbagai bentuk
perumpamaan, dalam sajak gambaran pengalaman manusia itu muncul melalui kesan
artistik pada tampilan bunyi, ambiguitas dan perumpamaan itu sendiri.
Oleh
karenanya dalam sajak, keindahan alam atau pengalaman hidup yang dipotretnya
bukan bisa dirasakan melalui bahasa tetapi dalam bentuk artistiknya, seperti
bunyi, retorika dan perumpamaan.
Hal
itu terlukiskan dengan bentuk perulangan yang menentukan bunyi, retorika dan
perumpamaan. Bunyi, retorika dan perumpamaan terletak pada satu kosakata,
menggambarkan pusat makna, mempengaruhi kosakata-kosakata yang melingkupinya
berupa fragmen-fragmen cerita.
Sajak
di atas berpusat pada jaket karena
disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 6 kali. Jaket sebagai penutup tubuh,
sebagai pakaian tambahan dikala manusia sedang merasa kedinginan itu menjadi
pusat atas kehadiran cerita yang melingkupinya. Penyair mabuk dengan
menghadirkan bebunyian yang berulang seperti para musisi yang memusatkan
bebunyiannya pada melodi pada satu kesempatan atau perkusi pada kesempatan
lain. Dalam sajaknya Malna memusatkan dirinya pada kosakata mundan bernama
jaket.
Penekanan
Malna atas jaket membuka paradigma orang atas retorikanya: kepandaian Malna bermain-main
pada kosakata murahan yang memendam kekuatan makna bagi pembacanya.
Jaket
bagaimanapun adalah penutup tubuh untuk menahan rasa dingin di tubuh. Kita bisa
memaknainya dengan identitas manusia sebagai penutup hakikatnya selama ini,
hakikat dan cara menangkap pengalaman roh Malna tidak melalui bentuk iluminasi
seperti pernah dilakukan kaum sufi masa lalu tetapi dengan melihat keadaan
sekarang pada perumpamaan dimana sebuah tubuh rapuh (terbuat dari mie goreng
atau minyak sawit) dikondisikan dalam keadaan musim dingin tetapi justru dalam
paradoks “Udara tidak dingin” dan “Udara tidak terlalu dingin” malam ini.
selanjutnya,
sajak ini selalu memakai tanda baca koma justru saat penyair membubuhkan kata
sambung “dan”, ini merupakan penyimpangan penggunaan tanda baca ---terlebih
tata bahasa--- dimana seharusnya kata sambung tak perlu lagi dibubuhi tanda
baca koma.
Aku sedang menunggu kematianmu, dan aku sedang bersetubuh
denganmu, katanya.
Perutnya terbuat dari minyak kelapa
sawit, dan udara malam yang terperangkap
dalam usus besarnya.
Udara tidak terlalu dingin aku
katakan padamu, dan jangan
mengenakan jaket untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini….
Tiga
kali kesalahan itu diulang-ulang Malna. Malna seolah melakukan perhentian
dengan menempatkan kekosongan pada jeda setelah koma, maka pada saat ia
menempatkan kata sambung “dan”, kalimat selanjutnya seakan memendam energi
dasyat bukan untuk sekedar menjelaskan kalimat sebelumnya tetapi kemudian
menguatkan kedirian yang mandiri dari ungkapan sebelumnya sekaligus membuat
kalimat sebelumnya mampu berdiri.
Inilah
bentuk transendensi roh jika tak bisa kita bilang sebagai inkarnasi roh. Aku
sedang menunggu kematianmu… jeda… lalu meledaklah kalimat “dan aku sedang
bersetubuh denganmu”, ruang kosong pada perhentian tanda baca koma menghadirkan
kalimat yang tak pernah diduga dan penuh kejutan, terkadang itu akan
menghasilkan ironi atau sesuatu yang menguatkan kalimat sebelumnya tetapi penuh
dengan ledakan.
Pada
saat jeda penyair menarik roh itu demi membuang kejemuan mencipta serta mencoba
menyerahkan perhentian berikutnya pada nafas yang ditarik ke langit untuk
mencoba terus menciptakan simbol-simbol yang mengejutkan dan tentunya kemudian
menjadi sangat artistik.
Adakalanya
saat menulis puisi, seorang penyair sering mengalami kemandegan saat satu
simbol digelindingkan kedalam satu struktur puisi dan akan gagal mencapai
puncaknya jika kalimat dipaksakan tanpa jeda. Dan saya mengartikan torehan
tanda baca koma Afrizal Malna adalah perhentian cukup lama agar kalimat bisa diteruskan
menjadi puncak penggambaran perenungannya dalam simbol-simbol yang berusaha
terus diciptakannya. Sehingga tak pernah berhenti untuk bisa menggambarkan
detail-detail pengalaman hidup seperti dikhawatirkan Magee dalam upaya
menghadirkan pengalaman hidup yang tak bisa dilukiskan oleh kata-kata dalam
tatabahasa non puitik ataupun verbal.
Ekstase
Pada
bagian ini saya akan membagi tiga potong sajak Malna untuk menjelaskan tanda-tanda
betapa hebatnya ekstase malna saat beberapa unsur perulangan telah ia lewati,
sebagai berikut:
Perutnya
terbuat dari mi goreng. Udara tidak dingin malam ini, katanya. Lalu dia mengenakan jaket. Aku sedang menunggu
kematianmu, dan aku sedang bersetubuh denganmu, katanya. Tangannya terbuat dari sedotan plastik. Aku tidak punya
acara malam ini, katanya. Aku hanya
ingin tidur melupakan semua pekerjaan. Lalu ia mengenakan jaket. Perutnya terbuat
dari minyak kelapa sawit, dan udara malam yang terperangkap dalam usus
besarnya. Pacarku tidak tahu kalau aku seorang penyair, katanya mengenakan jaket, (potongan 1)
perutku
terbuat dari mi goreng dan udara tidak terlalu dingin malam ini. Udara tidak
terlalu dingin aku katakan padamu, dan jangan mengenakan jaket untuk tahu betapa
aku kelaparan malam ini…. (Potongan 2)
Aku
tak pernah memikirkan kebudayaan dalam jaketmu, katanya. Lihatlah semua ini hanya bahan-bahan mentah. Belum jadi
peristiwa. Belum jadi makna. Udara dingin hanya ada dalam jaketmu. (potongan 3)
Potongan
pertama, saya melihat bahwa sosok yang mengenakan jaket bercerita kepada si
pengamat yang merupakan subjek dari sajak ini. Sementara dari potongan kedua,
sang subjek yang tadi mengamati, berbicara dengan menyarankan: “jangan mengenakan jaket untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini….” Namun
meskipun ada dalam satu sekuen percakapan, kedua subjek berada dalam kondisi
kemanusiaan yang sama, perutnya terbuat dari mi goreng sebagai analogi dari
kerapuhan tubuh manusia, meskipun kerapuhan subjek potongan kedua disandingkan
dengan analogi kemiskinan yang berbunyi: “dan jangan mengenakan jaket
untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini…”
Potongan
ke 3 Malna mengalami ekstase yang semakin hebat, orang yang tadi diamati
melihat bahwa subjek yang mengamati pada cerita bait pertama juga sama-sama
memakai jaket.
Malna
berhasil memperlihatkan ekstasenya dengan mengaburkan plot, mengaburkan subjek,
dengan ini Malna berupaya menangkap roh dari subjek-subjek yang dihadirkan, roh
seolah berpindah dari satu subjek ke subjek yang lain.
Berhenti
di sini kita seolah diingatkan pada metode fisiologinya novel My Name Is Red
karya Orhan Pamuk, saat roh disematkan pada tokoh aku dalam lintas subjek
tokoh-tokoh yang ada dalam cerita demi menguatkan karakter para tokoh yang
terlibat di dalamnya --- novel ini selalu di beri subjudul identifikasi “sang
aku” dalam menceritakan pengalaman tokoh per tokoh di dalamnya.
Sejatinya
begitulah kelihaian Malna dalam menangkap rohnya pada keadaan mabuk
terberatnya: perulangan.
Kontrol
Meskipun
letak ekstase Malna terletak pada esensi jaket,
pada dasarnya Malna memusatkan perhatian pada benda-benda mundan yang
membangun persepsi tubuh (seperti simbol minyak sawit dan mi goreng) sebagai
kesadaran esoterisnya. Tubuh adalah simbolisasi kerapuhan manusia, padanya
manusia selalu berjalan pada kebinasaan (fana’).
Maka
kita diingatkan dengan istilah “pembinasaan diri” yang pernah didengungkan
seorang sufi Martir Ayn Al Qudat Hamazani. Pembinasaan diri adalah semacam
kesadaran manusia untuk menafikan tubuh dari ruh sebagai media pencapaian maqam
pengembaraan pencarian yang hakikat.
Perjalanan
manusia mengarah pada kematian, karena secara kontekstual tubuh manusia
mengalami kehancuran. Untuk menyadari ini, peluluhan tubuh harus merupakan
media untuk melakukan amal ibadah baik muamalah maupun ritualitas. Baik
kreativitas maupun kesalehan.
Maka
pada perjalanannya, manusia yang membiarkan tubuhnya ditelan usia tak ubahnya
seperti pribadi yang melakukan bunuh diri. Pribadi yang determinan.
Dalam
konteks sajak ini pembinasaan diri menjadi semacam pengalaman persetubuhan dengan
alam suprareal diatas realitas:
Aku sedang menunggu kematianmu, dan
aku sedang bersetubuh denganmu,
Hebatnya
ungkapan ejakulasi teofanik Malna ini tidak menggunakan sang aku dalam huruf
kapital sebagai kata ganti Tuhan, apakah Tuhan sedang digambarkan Malna berada
dalam satu “tudung” tertentu sebagai gambaran simbolisasi “Jaket”?
Malna
tengah mencitrakan seorang manusia dalam sekuen sajak ini pada satu kondisi
“Manunggaling kawula gusti”. Tetapi ada keberanian Malna dalam hal memosisikan
Tuhan ada pada tubuh siapapun. Tidak seperti sajak sufi kebanyakan atau sufi
tradisi bahwa yang mencapai kondisi itu hanya beberapa gelintir orang setelah
memasuki pengalaman makrifat.
Terakhir,
esoterisme kerapuhan tubuh yang membawa setiap manusia pada pengalaman ruhani
adalah simbolisasi pada kosakata jaket, sebuah pakaian tambahan yang membuat
manusia merasa hangat dari udara dingin, menjadi pertanda bahwa benda ini
dianalogikan sebagai penutup yang hakikat. Kita bisa menggambarkannya sebagai
ilmu pengetahuan yang menjadi panglima bagi orang-orang elite.
Ilmu
pengetahuan menjadi obat ampuh untuk menghambat kerusakan tubuh. Mengenal ilmu
pengetahuan, manusia merasa dirinya akan hidup selamanya.
Udara tidak dingin malam ini,
katanya. Lalu dia mengenakan jaket.
Kalimat
ini sebuah sarkasme bagi orang elite yang selalu mengenakan jubah ilmu
pengetahuan. Dan Malna hendak mengatakan nyatanya ilmu pengetahuan juga tak lebih
sebagai pertanda kuat bahwa manusia sedang melakukan bunuh diri. Ada kalanya
ilmu pengetahuan tak mampu menembus subtansi permasalahan manusia, justru pada
akhirnya ia menjadi sumber egoisme sang cerdik pandai.
Tapi
bagaimanapun, Malna meletakan semua kejadian perseteruan antara orang cerdik
pandai dan kelaparan juga tak terlepas pengawasan Tuhan. Inkarnasi roh dalam
sajak ini menghancurkan tradisi pharaoh sufi dimana kondisi Manunggaling
kawula-Gusti selalu dimiliki oleh orang-orang suci (dalam tradisi sufi). Malna
hendak mengatakan Tuhan ada di mana-mana, baik cerdik-pandai, orang pinggiran
bahkan dalam wujud benda-benda alam.
Inilah
kontrol Malna atas mabuknya…
***
Cikarang,
9 Mei 2010
C
A T A T A N
1. dalam
esainya: Benda-benda, Bahasa dan Kala: Mencari
Simetri Tersembunyi dalam Teman-temanku dari Atap Bahasa Karya Afrizal Malna,
Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ dari Zaman Citra ke Metafiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar