Sabtu, 12 November 2011

Esai

          Motif Perulangan Dalam Ekstase Malna
Oleh: M Taufan Musonip

Tendar.net

Saya memercayai apa yang pernah dikatakan Tia Setiadi1 bahwa Afrizal Malna sampai saat ini masih kuat menghembuskan konsep sufisme pada sebagian besar sajak-sajaknya, meskipun dalam strukturnya Malna menempatkan kosakata yang seolah tak menangkar jangkauan spiritual sufistik itu ---terlebih banyak benda-benda dan ungkapan mundan dan kekinian didalamnya.
Secara fundamental Tia telah mengambil referensi dari Esai Abdul Hadi WM “Nafas Sufisme dalam Sajak-sajak Afrizal Malna” yang pernah dimuat di Harian Suara Karya 1984. Dengan itu kita meyakini bahwa pada dasarnya  Malna memulai aktifitas persajakannya pada saat ia terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat sufistik.
Salah satu komponen terpenting struktur sajak-sajak sufistik adalah hadirnya unsur perulangan, sebagaimana pernah ditelisik oleh JC Burgel. Perulangan identik dengan rasa mabuk atau ekstase, simbol rasa cinta seorang manusia kepada Tuhannya.  
 Burgel mengidentifikasi unsur perulangan pada setiap motif sajak-sajak sufistik yang dipengaruhi oleh gerak ibadah ritual dan teks dalam kitab suci Al Qur’an. Salat (sebagaimana juga ritual ibadah haji atau dzikir) dilakukan dalam rakaat tertentu dengan gerakan berulang seperti halnya beberapa surat dalam kitab suci Al Qur’an yang mengulang cerita sejarah atau ayat-ayat yang diulang dalam QS Arrahmaan (fabi ayyi ala irobbikumaa tukadzibaan).
Motif perulangan (Radif dalam istilah Burgel) bisa dibandingkan dengan proses berkesenian saat diraihnya momentum dimana raga yang dibenturkan dalam pengalaman perulangan akan mendapatkan bentuk inkarnasi pencerahan Ketuhanan ke dalam jiwa.
Berkesenian adalah membentuk langkah konkret di mana semua instrumen yang dimiliki tubuh dibenturkan dengan objeknya, maka beribadah terkadang merupakan inspirasi dari proses berkesenian yang tak pernah bisa menghindar dalam unsur perulangan itu.
Cara berkesenian semacam ini layaknya tengah menampilkan seni-seni tradisi ---saya merasa diingatkan pada benda seni tradisi samping kebat dalam budaya sunda yang digambar motif batik, sarat simbol-simbol ruhani dengan struktur perulangan dimana ornamen-ornamen pinggiran akan bertumpu pada satu titik pusat, selalu mendampingi tiga kejadian manusia, yaitu kelahiran, di mana samping kebat digunakan untuk membungkus (bedong:bahasa sunda) bayi yang baru lahir, pernikahan, untuk mendandani sang pengantin, dan kematian untuk menutup mayat yang sudah tak berdaya, tiga kejadian manusia tersebut merupakan siklus manusia yang selalu berputar dalam satu etape kehidupan.
Namun bagaimanapun seni adalah hal yang konkret, dalam artian bagaimana mengubah apa yang kita alami sehari-hari menjadi tidak hanya sekedar perenungan tetapi mengada dalam suatu wujud yang berhaluan kepada nilai-nilai ruhaniah. Nilai-nilai ruhaniah bukan berarti menafikan bentuk aktualisasi diri serta kekhawatiran eksistensi seni hanya mengada dalam bentuk tak ubahnya semata-mata media untuk menyampaikan pesan kebenaran, sehingga nampak altruisme.
Sajak Afrizal Malna saya pikir sampai saat ini dapat mendamaikan dua hal itu, semangat tradisi muncul dalam bentuknya yang relevan dengan  menghadirkan unsur ruhaniah kepada sesuatu yang aktual di jaman ini, Sajak Afrizal bisa kita analogikan dengan batik kontemporer, menggambarkan motif baru tapi masih memegang teguh rangkaian pusat gambar dan ornamen-ornamen yang melingkupinya.
Semangat tradisi itu salah satu muncul dalam struktur perulangan sajaknya. Sebuah pembuktikan betapa tradisi-puisi yang mampu menangkap pengalaman ruhaniah itu mampu membangkitkan kepedulian terhadap silang sengkarut kemanusian pada zamannya---secara lebih spesifik pada bangsanya dalam sebuah nation bernama Indonesia. Simak sajak berikut ini:
Perutnya terbuat dari mi goreng. Udara tidak dingin malam ini, katanya. Lalu dia mengenakan jaket. Aku sedang menunggu kematianmu, dan aku sedang bersetubuh denganmu, katanya. Tangannya terbuat dari sedotan plastik. Aku tidak punya acara malam ini, katanya. Aku hanya ingin tidur melupakan semua pekerjaan. Lalu ia mengenakan jaket. Perutnya terbuat dari minyak kelapa sawit, dan udara malam yang terperangkap dalam usus besarnya. Pacarku tidak tahu kalau aku seorang penyair, katanya mengenakan jaket. Tetapi puisi membuatku membenci guru bahasa sambil mengenakan jaket. Sambil mengenakan jaket perutku terbuat dari mi goreng dan udara tidak terlalu dingin malam ini. Udara tidak terlalu dingin aku katakan padamu, dan jangan mengenakan jaket untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini. Empat jam dari Denpasar menenggalamkan diri dalam tidur. Di Sebuah warung kopi, pelacur-pelacur muda di Braga. Foto Mic Jagger terpasang besar di sebua toko perempatan jalan itu. Stasiun kereta dari Holland. Seminar Sitor di Erasmus Huis, seminar Rendra di Pikiran Rakyat. Aku tak pernah memikirkan kebudayaan dalam jaketmu, katanya. Lihatlah semua ini hanya bahan-bahan mentah. Belum jadi peristiwa. Belum jadi makna. Udara dingin hanya ada dalam jaketmu.
(Seminar Musim Dingin, Khazanah HU Pikiran Rakyat, 2 Mei 2010)
Penyimpangan
Puisi bukan semata-mata tatabahasa. Jika puisi adalah bentuk ekspresi sebuah konsep dalam ciri penyimpangan kosakata dan tatabahasa seperti diungkapkan Riffaterre, maka simbol-simbol dan teks yang dihasilkannya merupakan bentuk-bentuk pengucapan sebagai pembongkaran kekhawatiran bahwa bahasa teks tak mampu mengungkapkan secara detail apa yang terjadi dalam penglihatan sang penyair dalam refleksinya terhadap ungkapan puitik.
Kekhawatiran itu dialami Bryan Magee seorang filsuf inggris menghadapi para filsuf linguis masa berjayanya filsafat bahasa di universitas Oxford dalam rentang waktu masa perang dunia II. Menurut Para penganut filsafat linguis, bahasa adalah pembicaraan mengenai dunia, dengan demikian teks adalah segala-galanya, dalam artian teks sejatinya mampu menjadi identitas keunggulan seorang manusia. Magee gerah akan hal itu, sebab pada dasarnya ada pengalaman-pengalaman manusia yang tak bisa terjangkau dengan bahasa. Ada yang tidak bisa terlukiskan oleh bahasa. Kata tidak lain adalah pintu sempit melalui mana pikiran manusia masuk ke dalam lautan makna tanpa Batas… demikian ujar Prof Izutsu menyepakati kegeraman magee.


Lukisan Telanjang di Pantai Kuta, Karya I Nyoman Batuan/
http://www.tempointeraktif.com/hg/seni/2010/03/22/brk,20100322-234440,id.html


Magee menyarankan agar apa-apa yang tak mampu diungkapkan dalam teks bisa diutarakan dalam dialog (bicara) serta menarik intsrumen empirik orang untuk mengalami apa yang sudah dialami.
Karena puisi memiliki kekuatan untuk menciptakan perlambang dalam merefleksikan pengalaman hidup, maka sajak bukan lagi semata-mata tata bahasa tetapi semacam pengalaman artistik seorang penyair dalam meramu alam pikirnya bersama adonan pengalaman hidup, ilmu pengetahuan dan pengalaman batin.
Sajak mampu menggambarkan detail-detail gerakan alam, misalnya dalam berbagai bentuk perumpamaan, dalam sajak gambaran pengalaman manusia itu muncul melalui kesan artistik pada tampilan bunyi, ambiguitas dan perumpamaan itu sendiri.
Oleh karenanya dalam sajak, keindahan alam atau pengalaman hidup yang dipotretnya bukan bisa dirasakan melalui bahasa tetapi dalam bentuk artistiknya, seperti bunyi, retorika dan perumpamaan.
Hal itu terlukiskan dengan bentuk perulangan yang menentukan bunyi, retorika dan perumpamaan. Bunyi, retorika dan perumpamaan terletak pada satu kosakata, menggambarkan pusat makna, mempengaruhi kosakata-kosakata yang melingkupinya berupa fragmen-fragmen cerita.
Sajak di atas berpusat pada jaket karena disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 6 kali. Jaket sebagai penutup tubuh, sebagai pakaian tambahan dikala manusia sedang merasa kedinginan itu menjadi pusat atas kehadiran cerita yang melingkupinya. Penyair mabuk dengan menghadirkan bebunyian yang berulang seperti para musisi yang memusatkan bebunyiannya pada melodi pada satu kesempatan atau perkusi pada kesempatan lain. Dalam sajaknya Malna memusatkan dirinya pada kosakata mundan bernama jaket.
Penekanan Malna atas jaket membuka paradigma orang atas retorikanya: kepandaian Malna bermain-main pada kosakata murahan yang memendam kekuatan makna bagi pembacanya.
Jaket bagaimanapun adalah penutup tubuh untuk menahan rasa dingin di tubuh. Kita bisa memaknainya dengan identitas manusia sebagai penutup hakikatnya selama ini, hakikat dan cara menangkap pengalaman roh Malna tidak melalui bentuk iluminasi seperti pernah dilakukan kaum sufi masa lalu tetapi dengan melihat keadaan sekarang pada perumpamaan dimana sebuah tubuh rapuh (terbuat dari mie goreng atau minyak sawit) dikondisikan dalam keadaan musim dingin tetapi justru dalam paradoks “Udara tidak dingin” dan “Udara tidak terlalu dingin” malam ini.
selanjutnya, sajak ini selalu memakai tanda baca koma justru saat penyair membubuhkan kata sambung “dan”, ini merupakan penyimpangan penggunaan tanda baca ---terlebih tata bahasa--- dimana seharusnya kata sambung tak perlu lagi dibubuhi tanda baca koma.
Aku sedang menunggu kematianmu, dan aku sedang bersetubuh denganmu, katanya.
Perutnya terbuat dari minyak kelapa sawit, dan udara malam yang terperangkap dalam usus besarnya.
Udara tidak terlalu dingin aku katakan padamu, dan jangan mengenakan jaket untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini….
Tiga kali kesalahan itu diulang-ulang Malna. Malna seolah melakukan perhentian dengan menempatkan kekosongan pada jeda setelah koma, maka pada saat ia menempatkan kata sambung “dan”, kalimat selanjutnya seakan memendam energi dasyat bukan untuk sekedar menjelaskan kalimat sebelumnya tetapi kemudian menguatkan kedirian yang mandiri dari ungkapan sebelumnya sekaligus membuat kalimat sebelumnya mampu berdiri.
Inilah bentuk transendensi roh jika tak bisa kita bilang sebagai inkarnasi roh. Aku sedang menunggu kematianmu… jeda… lalu meledaklah kalimat “dan aku sedang bersetubuh denganmu”, ruang kosong pada perhentian tanda baca koma menghadirkan kalimat yang tak pernah diduga dan penuh kejutan, terkadang itu akan menghasilkan ironi atau sesuatu yang menguatkan kalimat sebelumnya tetapi penuh dengan ledakan.
Pada saat jeda penyair menarik roh itu demi membuang kejemuan mencipta serta mencoba menyerahkan perhentian berikutnya pada nafas yang ditarik ke langit untuk mencoba terus menciptakan simbol-simbol yang mengejutkan dan tentunya kemudian menjadi sangat artistik.
Adakalanya saat menulis puisi, seorang penyair sering mengalami kemandegan saat satu simbol digelindingkan kedalam satu struktur puisi dan akan gagal mencapai puncaknya jika kalimat dipaksakan tanpa jeda. Dan saya mengartikan torehan tanda baca koma Afrizal Malna adalah perhentian cukup lama agar kalimat bisa diteruskan menjadi puncak penggambaran perenungannya dalam simbol-simbol yang berusaha terus diciptakannya. Sehingga tak pernah berhenti untuk bisa menggambarkan detail-detail pengalaman hidup seperti dikhawatirkan Magee dalam upaya menghadirkan pengalaman hidup yang tak bisa dilukiskan oleh kata-kata dalam tatabahasa non puitik ataupun verbal.
Ekstase
Pada bagian ini saya akan membagi tiga potong sajak Malna untuk menjelaskan tanda-tanda betapa hebatnya ekstase malna saat beberapa unsur perulangan telah ia lewati, sebagai berikut:
Perutnya terbuat dari mi goreng. Udara tidak dingin malam ini, katanya. Lalu dia mengenakan jaket. Aku sedang menunggu kematianmu, dan aku sedang bersetubuh denganmu, katanya. Tangannya terbuat dari sedotan plastik. Aku tidak punya acara malam ini, katanya. Aku hanya ingin tidur melupakan semua pekerjaan. Lalu ia mengenakan jaket. Perutnya terbuat dari minyak kelapa sawit, dan udara malam yang terperangkap dalam usus besarnya. Pacarku tidak tahu kalau aku seorang penyair, katanya mengenakan jaket, (potongan 1)
perutku terbuat dari mi goreng dan udara tidak terlalu dingin malam ini. Udara tidak terlalu dingin aku katakan padamu, dan jangan mengenakan jaket untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini…. (Potongan 2)
Aku tak pernah memikirkan kebudayaan dalam jaketmu, katanya. Lihatlah semua ini hanya bahan-bahan mentah. Belum jadi peristiwa. Belum jadi makna. Udara dingin hanya ada dalam jaketmu. (potongan 3)
Potongan pertama, saya melihat bahwa sosok yang mengenakan jaket bercerita kepada si pengamat yang merupakan subjek dari sajak ini. Sementara dari potongan kedua, sang subjek yang tadi mengamati, berbicara dengan menyarankan: “jangan mengenakan jaket untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini….” Namun meskipun ada dalam satu sekuen percakapan, kedua subjek berada dalam kondisi kemanusiaan yang sama, perutnya terbuat dari mi goreng sebagai analogi dari kerapuhan tubuh manusia, meskipun kerapuhan subjek potongan kedua disandingkan dengan analogi kemiskinan yang berbunyi: “dan jangan mengenakan jaket untuk tahu betapa aku kelaparan malam ini…”
Potongan ke 3 Malna mengalami ekstase yang semakin hebat, orang yang tadi diamati melihat bahwa subjek yang mengamati pada cerita bait pertama juga sama-sama memakai jaket.
Malna berhasil memperlihatkan ekstasenya dengan mengaburkan plot, mengaburkan subjek, dengan ini Malna berupaya menangkap roh dari subjek-subjek yang dihadirkan, roh seolah berpindah dari satu subjek ke subjek yang lain.
Berhenti di sini kita seolah diingatkan pada metode fisiologinya novel My Name Is Red karya Orhan Pamuk, saat roh disematkan pada tokoh aku dalam lintas subjek tokoh-tokoh yang ada dalam cerita demi menguatkan karakter para tokoh yang terlibat di dalamnya --- novel ini selalu di beri subjudul identifikasi “sang aku” dalam menceritakan pengalaman tokoh per tokoh di dalamnya.
Sejatinya begitulah kelihaian Malna dalam menangkap rohnya pada keadaan mabuk terberatnya: perulangan.
Kontrol
Meskipun letak ekstase Malna terletak pada esensi jaket,  pada dasarnya Malna memusatkan perhatian pada benda-benda mundan yang membangun persepsi tubuh (seperti simbol minyak sawit dan mi goreng) sebagai kesadaran esoterisnya. Tubuh adalah simbolisasi kerapuhan manusia, padanya manusia selalu berjalan pada kebinasaan (fana’).
Maka kita diingatkan dengan istilah “pembinasaan diri” yang pernah didengungkan seorang sufi Martir Ayn Al Qudat Hamazani. Pembinasaan diri adalah semacam kesadaran manusia untuk menafikan tubuh dari ruh sebagai media pencapaian maqam pengembaraan pencarian yang hakikat.
Perjalanan manusia mengarah pada kematian, karena secara kontekstual tubuh manusia mengalami kehancuran. Untuk menyadari ini, peluluhan tubuh harus merupakan media untuk melakukan amal ibadah baik muamalah maupun ritualitas. Baik kreativitas maupun kesalehan.

Maka pada perjalanannya, manusia yang membiarkan tubuhnya ditelan usia tak ubahnya seperti pribadi yang melakukan bunuh diri. Pribadi yang determinan.
Dalam konteks sajak ini pembinasaan diri menjadi semacam pengalaman persetubuhan dengan alam suprareal diatas realitas:
Aku sedang menunggu kematianmu, dan aku sedang bersetubuh denganmu,
Hebatnya ungkapan ejakulasi teofanik Malna ini tidak menggunakan sang aku dalam huruf kapital sebagai kata ganti Tuhan, apakah Tuhan sedang digambarkan Malna berada dalam satu “tudung” tertentu sebagai gambaran simbolisasi “Jaket”?
Malna tengah mencitrakan seorang manusia dalam sekuen sajak ini pada satu kondisi “Manunggaling kawula gusti”. Tetapi ada keberanian Malna dalam hal memosisikan Tuhan ada pada tubuh siapapun. Tidak seperti sajak sufi kebanyakan atau sufi tradisi bahwa yang mencapai kondisi itu hanya beberapa gelintir orang setelah memasuki pengalaman makrifat.
Terakhir, esoterisme kerapuhan tubuh yang membawa setiap manusia pada pengalaman ruhani adalah simbolisasi pada kosakata jaket, sebuah pakaian tambahan yang membuat manusia merasa hangat dari udara dingin, menjadi pertanda bahwa benda ini dianalogikan sebagai penutup yang hakikat. Kita bisa menggambarkannya sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi panglima bagi orang-orang elite.
Ilmu pengetahuan menjadi obat ampuh untuk menghambat kerusakan tubuh. Mengenal ilmu pengetahuan, manusia merasa dirinya akan hidup selamanya.
Udara tidak dingin malam ini, katanya. Lalu dia mengenakan jaket.
Kalimat ini sebuah sarkasme bagi orang elite yang selalu mengenakan jubah ilmu pengetahuan. Dan Malna hendak mengatakan nyatanya ilmu pengetahuan juga tak lebih sebagai pertanda kuat bahwa manusia sedang melakukan bunuh diri. Ada kalanya ilmu pengetahuan tak mampu menembus subtansi permasalahan manusia, justru pada akhirnya ia menjadi sumber egoisme sang cerdik pandai.
Tapi bagaimanapun, Malna meletakan semua kejadian perseteruan antara orang cerdik pandai dan kelaparan juga tak terlepas pengawasan Tuhan. Inkarnasi roh dalam sajak ini menghancurkan tradisi pharaoh sufi dimana kondisi Manunggaling kawula-Gusti selalu dimiliki oleh orang-orang suci (dalam tradisi sufi). Malna hendak mengatakan Tuhan ada di mana-mana, baik cerdik-pandai, orang pinggiran bahkan dalam wujud benda-benda alam.
Inilah kontrol Malna atas mabuknya…
***
Cikarang, 9 Mei 2010
C A T A T A N

1.      dalam esainya: Benda-benda, Bahasa dan Kala: Mencari Simetri Tersembunyi dalam Teman-temanku dari Atap Bahasa Karya Afrizal Malna, Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ dari Zaman Citra ke Metafiksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar