Selasa, 08 November 2011

Esai

Eksibisi Budaya dalam Wisata Kuliner Seorang Kritikus
Oleh M Taufan Musonip

Sudjana Kerton, The Dusk (1987),
Cat minyak di atas kanvas /
Oil on canvas, 125 x 148 cm, Inv. 201/SL/A
Banyak komentar dari beberapa teman mengenai rasa nasi bakar yang saya coba jual belum lama ini. Isinya berbagai kritik, saran juga pujian. Saya seorang sastrawan, seperti beberapa orang bilang, tentunya punya cara bagaimana menanggapinya. Sebagai seorang sastrawan, kebetulan saya lebih banyak menulis kritik untuk karya-karya beberapa penyair dan cerpenis.
Dalam dunia sastra kritikus sebenarnya hadir sebagai marketer. Kritik membicarakan apa yang dihadirkan sebuah artefak karya. Dan kritikus yang baik adalah bagaimana membicarakan sebuah karya secara berimbang. Kritik bermanuver dua arah, pada pembaca dia mencoba menarik karya sebagai sebuah artefak yang sesungguhnya dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang layak untuk dibaca, lainnya adalah memberi masukan kepada pencipta karya untuk membangun karya di masa depan lebih baik.

Namun kritik pada masa sekarang lebih condong kepada manuver yang pertama, seorang kritikus hanya berperan sebagai pemberi masukan atas karya, dia tidak memiliki hak intervensi pada sebuah karya seharusnya dikerjakan. Ini memberi ruang kepada pencipta karya untuk menetapkan warna, sebagai ruang kebebasan ekspresinya. Meskipun beberapa jalur telah diciptakan kritikus, sebagai pilihan bagaimana sebuah karya dibuat, sang pencipta bebas menentukan keputusan atas pembangunan jalur baru yang dibuatnya. Penyair WS Rendra misalnya, tidak pernah dimasukkan ke dalam angkatan kepenyairan manapun, dia memiliki jalur dan warna sendiri dalam pembangunan karyanya.
Seorang pencipta karya yang baik adalah bagaimana menghadapi kritik, dia tidak boleh terperosok ke dalam jurang pseudo, seperti halnya dia harus hati-hati juga terhadap kritik yang melukai dirinya. Pujian akan membuat dirinya menjadi determinan, sementara jika ia terlalu tenggelam kepada hal-hal menyakitkan, ia akan kekurangan kepercayaan diri atas karya buatannya. Sebuah karya harus dipastikan memiliki kekhasan yang merupakan cerminan dari pribadi penciptanya, menandakan adanya sebuah nilai autentik. Ini yang penting, autentisitas: kekaryaan merangkum kepribadian sang pencipta, dari pengaruh lingkungan hidupnya, apa yang dibacanya, jati dirinya, lokalitasnya.
Warung Nasi Bakar
        Bertajuk Warung Nasi Sambal Dadakan Ibu Ade (Nama Istri Saya)

Namun sebelum menentukan kekhasan, sang pencipta haruslah memiliki pengertian bahwa kritikus bukan seorang pelanggan biasa, kritikus adalah pelanggan yang memiliki pemahaman berlebih atas sebuah karya, memiliki kemampuan dapat mempromosikan sebuah produk dengan cara mencerahkan pelanggan lainnya, oleh karenanya harus diciptakan. Karya atau produk yang baik bukan sekedar menciptakan rasa tapi menciptakan kritikus, komentar kritikus akan menjadi acuan para penikmat karya lainnya.
Demikian halnya dengan kritikus, dia harus memiliki pemahaman bahwa setiap produk memiliki kekhasan sebagai bentuk diferensiasi dari produk lainnya. Salah satunya adalah lokalitas, Sate Padang, tak bisa memunculkan kritik bahwa ia harus tidak pedas dan asin, karena produk kuliner satu ini merupakan cerminan pembuatnya berasal, di mana makanan memiliki kekhasannya sendiri.  Kecuali jika ia menuliskan nama kulinernya dengan Sate Kapau, dia harus memiliki rasa lebih manis karena Daerah Kapau di Sumatera Barat, berada di daerah dataran tinggi, berbeda kekhasannya dengan sate Padang Minangkabau yang berada di pesisir. Lokalitas seorang pedagang dalam menciptakan produk kulinernya adalah jati dirinya sebagai orang daerah, dia memiliki pertimbangan rasa yang tak bisa ditawar, inilah sebenarnya bagaimana produk-produk kuliner sesungguhnya dapat dikunjungi, tak lain untuk melakukan eksibisi warna lokal, pembeli setidaknya dapat menambah pengetahuan mengenai sebuah produk kuliner, tentang lokalitasnya. Di sini seorang kritikus dituntut harus memiliki pengetahuan tentang lokalitas vis a vis kekhasan sebuah produk kuliner. Jika itu dipenuhi, kritik haruslah dicanangkan melalui kacamata lokalitas, kritik dilayangkan ketika warung sunda memiliki taste yang tidak sesuai dengan kekhasannya, misalnya tidak menyediakan lalapan atau memiliki rasa terlalu asin jika pemiliknya berasal dari Sunda Priangan.
Demikian untuk menciptakan kritik, pedagang kuliner harus menyampaikan kekhasan atas sebuah produk yang ia jual. Untuk mempertahankan jati diri lokal yang terkandung dalam produk ciptaannya, pedagang kuliner pun tidak lah harus selalu mempertimbangkan komentar-komentar kritik yang tidak sesuai dengan pribadi lokalnya. Sebagai pedagang nasi bakar khas Bandung yang cenderung lebih manis tidak mungkin saya mempertimbangkan rasa nasi bakar yang dominan asinnya, saya akan tetap mempertahankan rasa manis itu, sebagai diferensiasi dari produk kuliner daerah lain. Dengan begitu para pelanggan yang datang ke warung saya, menikmati nasi bakar buatan istri saya, bukan sekedar untuk mengenyangkan perutnya, terlebih bagaimana sebuah eksibisi budaya bisa sekaligus dapat dinikmati.
Maka nikmatilah nasi bakar di warung saya seperti halnya menikmati puisi: lalapan, sambal dadakan dan rasa manis adalah simbolitas bahwa kami adalah orang sunda Bandung, jika ingin memilih rasa asin dan pedas, bisa menikmati Sate Padang Minangkabau, Family Saiyo di sebelah warung saya. Ada angkringan untuk menikmati suasana kota industry Jababeka, Cikarang, dan marilah melakukan eksibisi budaya. Tabik! (*)
Cikarang, 8 November 2011 
Sudah dikirimkan ke HU Seputar Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar