Eksibisi Budaya dalam Wisata Kuliner Seorang Kritikus
Oleh M Taufan Musonip
Sudjana Kerton, The Dusk (1987), Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 125 x 148 cm, Inv. 201/SL/A |
Banyak komentar dari
beberapa teman mengenai rasa nasi bakar yang saya coba jual belum lama ini.
Isinya berbagai kritik, saran juga pujian. Saya seorang sastrawan, seperti
beberapa orang bilang, tentunya punya cara bagaimana menanggapinya. Sebagai
seorang sastrawan, kebetulan saya lebih banyak menulis kritik untuk karya-karya
beberapa penyair dan cerpenis.
Dalam dunia sastra
kritikus sebenarnya hadir sebagai marketer. Kritik membicarakan apa yang
dihadirkan sebuah artefak karya. Dan kritikus yang baik adalah bagaimana
membicarakan sebuah karya secara berimbang. Kritik bermanuver dua arah, pada
pembaca dia mencoba menarik karya sebagai sebuah artefak yang sesungguhnya
dapat dipertimbangkan sebagai sesuatu yang layak untuk dibaca, lainnya adalah
memberi masukan kepada pencipta karya untuk membangun karya di masa depan lebih
baik.
Namun kritik pada masa
sekarang lebih condong kepada manuver yang pertama, seorang kritikus hanya
berperan sebagai pemberi masukan atas karya, dia tidak memiliki hak intervensi
pada sebuah karya seharusnya dikerjakan. Ini memberi ruang kepada pencipta
karya untuk menetapkan warna, sebagai ruang kebebasan ekspresinya. Meskipun beberapa jalur telah diciptakan kritikus, sebagai pilihan bagaimana sebuah
karya dibuat, sang pencipta bebas menentukan keputusan atas pembangunan jalur
baru yang dibuatnya. Penyair WS Rendra misalnya, tidak pernah dimasukkan ke
dalam angkatan kepenyairan manapun, dia memiliki jalur dan warna sendiri dalam
pembangunan karyanya.
Seorang pencipta karya
yang baik adalah bagaimana menghadapi kritik, dia tidak boleh terperosok
ke dalam jurang pseudo, seperti halnya
dia harus hati-hati juga terhadap kritik yang melukai dirinya. Pujian akan
membuat dirinya menjadi determinan, sementara jika ia terlalu tenggelam kepada
hal-hal menyakitkan, ia akan kekurangan kepercayaan diri atas karya buatannya.
Sebuah karya harus dipastikan memiliki kekhasan yang merupakan cerminan dari
pribadi penciptanya, menandakan adanya sebuah nilai autentik. Ini yang penting, autentisitas: kekaryaan merangkum kepribadian sang pencipta, dari pengaruh
lingkungan hidupnya, apa yang dibacanya, jati dirinya, lokalitasnya.
Warung Nasi Bakar Bertajuk Warung Nasi Sambal Dadakan Ibu Ade (Nama Istri Saya) |
Namun sebelum menentukan
kekhasan, sang pencipta haruslah memiliki pengertian bahwa kritikus bukan seorang
pelanggan biasa, kritikus adalah pelanggan yang memiliki pemahaman berlebih
atas sebuah karya, memiliki kemampuan dapat mempromosikan sebuah produk dengan
cara mencerahkan pelanggan lainnya, oleh karenanya harus diciptakan. Karya atau
produk yang baik bukan sekedar menciptakan rasa tapi menciptakan kritikus,
komentar kritikus akan menjadi acuan para penikmat karya lainnya.
Demikian halnya dengan
kritikus, dia harus memiliki pemahaman bahwa setiap produk memiliki kekhasan
sebagai bentuk diferensiasi dari produk lainnya. Salah satunya adalah
lokalitas, Sate Padang, tak bisa memunculkan kritik bahwa ia harus tidak pedas
dan asin, karena produk kuliner satu ini merupakan cerminan pembuatnya berasal,
di mana makanan memiliki kekhasannya sendiri.
Kecuali jika ia menuliskan nama kulinernya dengan Sate Kapau, dia harus
memiliki rasa lebih manis karena Daerah Kapau di Sumatera Barat, berada di daerah
dataran tinggi, berbeda kekhasannya dengan sate Padang Minangkabau yang berada
di pesisir. Lokalitas seorang pedagang dalam menciptakan produk kulinernya
adalah jati dirinya sebagai orang daerah, dia memiliki pertimbangan rasa yang
tak bisa ditawar, inilah sebenarnya bagaimana produk-produk kuliner
sesungguhnya dapat dikunjungi, tak lain untuk melakukan eksibisi warna lokal,
pembeli setidaknya dapat menambah pengetahuan mengenai sebuah produk kuliner,
tentang lokalitasnya. Di sini seorang kritikus dituntut harus memiliki
pengetahuan tentang lokalitas vis a vis kekhasan
sebuah produk kuliner. Jika itu dipenuhi, kritik haruslah dicanangkan melalui
kacamata lokalitas, kritik dilayangkan ketika warung sunda memiliki taste yang tidak sesuai dengan
kekhasannya, misalnya tidak menyediakan lalapan atau memiliki rasa terlalu asin
jika pemiliknya berasal dari Sunda Priangan.
Demikian untuk
menciptakan kritik, pedagang kuliner harus menyampaikan kekhasan atas sebuah produk yang ia jual. Untuk mempertahankan jati diri lokal yang terkandung dalam produk
ciptaannya, pedagang kuliner pun tidak lah harus selalu mempertimbangkan
komentar-komentar kritik yang tidak sesuai dengan pribadi lokalnya. Sebagai
pedagang nasi bakar khas Bandung yang cenderung lebih manis tidak mungkin saya
mempertimbangkan rasa nasi bakar yang dominan asinnya, saya akan tetap
mempertahankan rasa manis itu, sebagai diferensiasi dari produk kuliner daerah lain.
Dengan begitu para pelanggan yang datang ke warung saya, menikmati nasi bakar
buatan istri saya, bukan sekedar untuk mengenyangkan perutnya, terlebih
bagaimana sebuah eksibisi budaya bisa sekaligus dapat dinikmati.
Maka nikmatilah nasi
bakar di warung saya seperti halnya menikmati puisi: lalapan, sambal dadakan
dan rasa manis adalah simbolitas bahwa kami adalah orang sunda Bandung, jika
ingin memilih rasa asin dan pedas, bisa menikmati Sate Padang Minangkabau,
Family Saiyo di sebelah warung saya. Ada angkringan untuk menikmati suasana
kota industry Jababeka, Cikarang, dan marilah melakukan eksibisi budaya. Tabik!
(*)
Cikarang, 8 November 2011
Sudah dikirimkan ke HU Seputar Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar