Jumat, 11 November 2011

Esai

             Seni Sastra Islam: Membangun Suasana Islami
Oleh: M Taufan Musonip

Wassily Kandinsky, Untitled.
           Serigrafi / Seriegraphy, 50 x 65 cm
Meskipun sudah cukup banyak perhatian para tetua di dunia seni khususnya sastra, membahas prihal sejauhmana Islam memberi  batasan-batasan terhadap kesenian tanpa mengurangi kehendak seorang seniman yang memegang jati dirinya sebagai muslim mampu menjadikan karyanya di garda terdepan, menjunjung nilai-nilai kesenian sebagai cermin dari upaya pembebasan belenggu penjajahan kemanusiaan namun tetap manusiawi.
Seni bukanlah sesuatu semata-mata untuk menyimpan gagasan. Bukan juga media semata-mata untuk menyampaikan pesan. Seni adalah artefak yang muncul dari pengejawantahan seorang penyair atas eksistensinya. Proses berkesenian adalah upaya menegakan kedirian seorang manusia yang mandiri. Oleh karenanya apakah benar seni sebagian besar merupakan bentuk sekularisasi paling nyata dari agama?
Jika tak bisa dinyatakan demikian, agama seyogyanya haruslah menjadi spirit dari proses berkesenian itu. Fungsi agama sebagai bentuk spirit seharusnya tidak membatasi kebebasan berkreasi, di satu sisi. Di sisi lain semestinya ia menjadi pengaping kebebasan itu ke arah kemanusiaan.

Mari kita tengok sedikit ilustrasi gambaran hubungan agama dan kesenian dari Kuntowijoyo. Menurutnya jika memang fungsi kesenian dalam Islam adalah bentuk dakwah, mengajak orang pada sebenar-benarnya Islam, maka apakah menara masjid yang indah yang di buat dengan khazanah arstektural Islam dapat membawa orang bertambah keimanannya?.
Jika tidak, bangunan-bangunan masjid dengan menara-menara tinggi itu tak ubahnya artefak kesenian yang mubazir di mata misi dakwah Islam itu sendiri. Seperti halnya kaligrafi atau puisi Islam, jika tak terlalu banyak berpengaruh membawa orang pada keimanan, maka tak ubahnya karya-karya tersebut adalah barang mewah yang tak dapat dimengerti.
Namun bayangkan jika artefak-artefak seni dalam khazanah Islam itu disingkirkan, bisa di yakinkan pada akhirnya umat Islam  bisa disebut sebagai umat yang anti kebudayaan, terlebih anti kesenian.
Maka seni Islam di posisikan bukan semata-mata sebagai alat atau media untuk menyampaikan pesan. Seni pada dasarnya adalah proses membentuk kedirian manusia dalam artefak kesenian yang diciptakannya. Dengan demikian hal terpenting dari proses berkesenian adalah aktualisasi diri yang menjadikan agama menjadi semakin kongkret (in concreto). Karena kesenian bukan semata-mata pemikiran (in abstraco) tapi praktik.
Kongkretisasi agama dalam kesenian muncul sebagai wujud amar makruf nahyi mungkar, mengajak pada kebaikan mencegah yang mungkar dapat diartikan semacam semangat liberalisasi yang bersifat humanis. Kebebasan bukan berarti apa-apa dalam kesenian Islam sebelum ia menyentuh unsur humanisme-nya.
Oleh karenanya proses kreatif dalam kesenian Islam adalah rasa empati terhadap fenomena kemanusiaan yang di gubah dalam bentuk artefak yang berdasar kepada kebebasan berkreasi.
Namun meskipun begitu, liberalis humanis yang sudah semakin menyublimkan agama Islam ke dalam pergerakan zaman, bukan berarti ia kemudian lepas dari suasananya. Faktor “suasana” ini nampaknya lebih penting dari urutan identifikasi kesenian Islam: yaitu bahwa seni islam ---selain sebagai bentuk aktualisasi diri--- merupakan bentuk syiar sebagaimana ia juga hadir  dalam  bentuknya sebagai tasbih (menganggungkan Tuhan).
Suasana ternyata  menjadi hal terpenting dari ketiga identifikasi seni Islam diatas. Suasana sering membawa perasaan seseorang kepada penjiwaan bagaimana orang lain yang memeriahkan satu atau dua ibadah ritual dalam hal membangun identitasnya.
Identitas dan struktur
Dalam seni sastra misalnya sebut saja Cerpen Bengawan Solo karya Danarto, meskipun pada dasarnya ia tengah membicarakan kondisi kemanusiaan  seputar KDRT --- dimana tokoh Pak Totok (Sang Aku) dalam cerpen itu yang menjadi tetua Rumah Kita, rumah yang menampung anak-anak jalanan, bersikeras untuk mempertahankan tokoh Nining seorang gadis kecil dari ayah tirinya yang berusaha membawa gadis itu kembali, setelah ia pergi karena kekerasan yang dialaminya dari ayah tirinya--- Danarto tetap membangun “suasana” dalam menampilkan tokoh Kyai Kintir, seorang kyai yang selalu menghanyutkan diri di Bengawan Solo, demi menguatkan identitasnya sebagai pengarang yang beragama Islam.
Namun meskipun begitu karena sosok yang ditampilkannya adalah seorang kyai nyleneh (Danarto menyebutnya Sinting) maka pembaca merasakannya sebagai suasana unik, karena sengaja menerakan Kyai Kintir bukan sebagai agamawan formal tetapi lebih mendekati sosok penganut sufistik.
Suasana yang dibangun melalui Kyai Kintir, tidak menjadikan sebuah alur cerita yang kaku, bahkan ia berusaha menerabas pandangan keumuman, menerebas hal yang tak mungkin, bahkan menerabas dogma agama itu sendiri. Berikut bagaimana Danarto secara gamblang menggambarkan tokoh Kyai Kintir:
Sejumlah warga Solo ada yang mengolok-oloknya sebagai Kiai Kenthir alias Kiai Sinting. Beliau tidak peduli atas cemoohan itu karena hidup beliau sehari-harinya sangat serius. Bahkan yang melecehkannya dikiriminya segepok uang yang dicomotnya dari udara. Maka semakin bertambah banyak orang-orang yang meledeknya dengan pamrih Kiai itu mengiriminya duit. Saya sendiri pernah melihat beliau mencomot uang dari udara dan diberikannya kepada saya. Beliau pernah menyitir sabda Kanjeng Rasul Muhammad SAW bahwa seandainya kalian tahu apa yang terjadi di dunia ini, kalian akan menangis terus-menerus sepanjang hidup kalian.
Sepanjang hayat Kiai Kintir mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak menerima santri, tidak mengajar, tidak mau diwawancara, tidak mau diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya sadar, semua kiriman beras dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu, merupakan sumbangan Kiai Kintir. Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang untuk dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya adalah, pernah sejumlah wartawan elektronik diam-diam mengambil gambarnya. Ternyata wajah beliau tidak terekam, yang muncul hanya gelap gulita. Jika beliau mulai menghanyutkan diri di Bengawan Solo, itu pertanda di Solo akan terjadi sesuatu.

Selain identitas, suasana sering dibangun dari sebuah struktur yang dihadirkan dalam sebuah karya. Struktur itu ada kemungkinan selalu mendekati ciri-ciri struktur teks, atau secara umum dalam ritual yang selalu dijalankan dalam agama Islam.
Simak juga misalnya struktur perulangan yang dihadirkan Afrizal Malna1  dalam sajaknya berjudul Daftar Indeks, dimana  Malna membangun suasana itu semacam kalimat zikir yang diulang sebagaimana juga beberapa ritual ibadah dalam Islam seperti halnya umroh atau salat. Perhatikanlah sajak Malna berikut ini:
Dan berjalan. Dan Tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan. Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan memotret kucing kawin di rumah lely…. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa.
(Sajak “Daftar Indeks”, Pertemuan Kecil, HU Pikiran Rakyat, Mei 2010)
Struktur sajak Malna setidaknya mirip sekali dengan struktur kanonik, misalnya QS 72 dimana semua ayat suci dimulai dengan kata penghubung “dan”. Namun karena Malna sadar bahwa tak ada satu hal pun yang membuat sebuah sajak sebanding dengan Al Qur’an, maka ia menurunkan tensi kesyahduan menjadi hanya kemundanan.
Struktur penempatan kata Dan pada setiap awal kalimat adalah semacam semangat transendensi, ruang hela, yang membuat satu kemungkinan kejadian menjadi betul-betul di ilhami oleh dunia “langit”. Dalam sajak ini memang tiap potongan kalimat tidak nampak meledak-ledak, datar saja, seakan hanya perlu memperlihatkan kesan mabuknya Malna dalam mencipta ruang ketidaksadaran dalam proses menggubah sajak.
Perulangan Malna pada akhirnya berlabuh pada mayat Caligula2, sebagai pusat, yang berarti simbol kematian seorang penyair setelah berkuasa atas bahasa, atas kata-kata3.
Malna menemukan kuasanya atas bahasa, bagaimana ia bisa dibuat sedemikian rupa menjadi sebuah tempat dimana gagasan bisa disampaikan, bahkan semundan dan sesederhanan apapun. Tetapi pada akhirnya ia akan mati sendiri jika dirinya terus bersembunyi dalam bahasa. Menurut Malna berarti gagasan bukan hanya “ada” sebagai bahasa tetapi prilaku dan gerak. Itulah sebenarnya semangat keislaman Malna.
Multitafsir
Suasana menjadi bagian terpenting dalam membangun kesadaran hidup beragama karena ia hadir dalam keadaan tidak memaksa orang untuk mengikuti apa yang ia yakini sebagaimana fungsi syiar.
Suasana yang dibangun dalam struktur seni islami dan identitas, agar tak terjajah ---meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri--- oleh gagasan-gagasan berbagai kepentingan golongan haruslah menciptakan ruang-ruang kosong yang hadir diantara letak penciptaan simbolisasi dengan unsur pembentuk “suasana” itu sendiri, supaya ia menjadi multi tafsir: tak bergerak satu arah.
Dus, seperti itulah mungkin dua contoh sastrawan yang sebetulnya mewakili identitasnya sebagai umat Islam: membangun suasana keislaman demi terciptanya aktualisasi dari pribadi-pribadi muslim yang berani berkreasi.
***
Cikarang, 30 Mei 2010
C A T A T A N 
1 Dalam esai Abdul Hadi WM yang dimuat di Harian Suara Karya (1984) pernah disebutkan bahwa sajak Afrizal Malna sangat kental unsur sufistiknya, menjadi landasan penulisan esai (Benda-benda, Bahasa dan Kala: Mencari Simetri Tersembunyi dalam Teman-temanku dari Atap Bahasa Karya Afrizal Malna,) oleh Tia Setiadi tentang Malna, bahwa struktur sajaknya meskipun sudah jauh meninggalkan simbolisasi sufistik, masih memendam unsur-unsur sufisme yang diterakan dalam simbol dan struktur sajaknya.
2 Sajak-sajak Malna yang sukar dipahami karena berpusat pada simbol-simbol misterius dan enigmatik, namun menjadi pertanda, bahwa simbol-simbol itu membawa kerja matriks penafsiran sajak. Seperti sajak Daftar Indeks diatas, mayat Caligula bisa diartikan sebagai kekuasaan yang digulingkan karena kudeta. Dalam Wikipedia Caligula di ceritakan sebagai seorang Kaisar Romawi yang dikudeta oleh serdadunya sendiri karena berbuat semena-mena semasa pemerintahannya (Lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Caligula)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar