Seni Sastra Islam: Membangun Suasana Islami
Oleh: M Taufan Musonip
Wassily Kandinsky, Untitled. Serigrafi / Seriegraphy, 50 x 65 cm |
Seni
bukanlah sesuatu semata-mata untuk menyimpan gagasan. Bukan juga media
semata-mata untuk menyampaikan pesan. Seni adalah artefak yang muncul dari
pengejawantahan seorang penyair atas eksistensinya. Proses berkesenian adalah
upaya menegakan kedirian seorang manusia yang mandiri. Oleh karenanya apakah
benar seni sebagian besar merupakan bentuk sekularisasi paling nyata dari
agama?
Jika
tak bisa dinyatakan demikian, agama seyogyanya haruslah menjadi spirit dari
proses berkesenian itu. Fungsi agama sebagai bentuk spirit seharusnya tidak
membatasi kebebasan berkreasi, di satu sisi. Di sisi lain semestinya ia menjadi
pengaping kebebasan itu ke arah kemanusiaan.
Mari
kita tengok sedikit ilustrasi gambaran hubungan agama dan kesenian dari
Kuntowijoyo. Menurutnya jika memang fungsi kesenian dalam Islam adalah bentuk
dakwah, mengajak orang pada sebenar-benarnya Islam, maka apakah menara masjid yang
indah yang di buat dengan khazanah arstektural Islam dapat membawa orang
bertambah keimanannya?.
Jika
tidak, bangunan-bangunan masjid dengan menara-menara tinggi itu tak ubahnya
artefak kesenian yang mubazir di mata misi dakwah Islam itu sendiri. Seperti
halnya kaligrafi atau puisi Islam, jika tak terlalu banyak berpengaruh membawa
orang pada keimanan, maka tak ubahnya karya-karya tersebut adalah barang mewah
yang tak dapat dimengerti.
Namun
bayangkan jika artefak-artefak seni dalam khazanah Islam itu disingkirkan, bisa
di yakinkan pada akhirnya umat Islam bisa disebut sebagai umat yang anti
kebudayaan, terlebih anti kesenian.
Maka
seni Islam di posisikan bukan semata-mata sebagai alat atau media untuk
menyampaikan pesan. Seni pada dasarnya adalah proses membentuk kedirian manusia
dalam artefak kesenian yang diciptakannya. Dengan demikian hal terpenting dari
proses berkesenian adalah aktualisasi diri yang menjadikan agama menjadi
semakin kongkret (in concreto).
Karena kesenian bukan semata-mata pemikiran (in abstraco) tapi praktik.
Kongkretisasi
agama dalam kesenian muncul sebagai wujud amar
makruf nahyi mungkar, mengajak pada kebaikan mencegah yang mungkar dapat
diartikan semacam semangat liberalisasi yang bersifat humanis. Kebebasan bukan
berarti apa-apa dalam kesenian Islam sebelum ia menyentuh unsur humanisme-nya.
Oleh
karenanya proses kreatif dalam kesenian Islam adalah rasa empati terhadap
fenomena kemanusiaan yang di gubah dalam bentuk artefak yang berdasar kepada
kebebasan berkreasi.
Namun
meskipun begitu, liberalis humanis yang sudah semakin menyublimkan agama Islam
ke dalam pergerakan zaman, bukan berarti ia kemudian lepas dari suasananya. Faktor
“suasana” ini nampaknya lebih penting dari urutan identifikasi kesenian Islam:
yaitu bahwa seni islam ---selain sebagai bentuk aktualisasi diri--- merupakan
bentuk syiar sebagaimana ia juga hadir
dalam bentuknya sebagai tasbih
(menganggungkan Tuhan).
Suasana
ternyata menjadi hal terpenting dari
ketiga identifikasi seni Islam diatas. Suasana sering membawa perasaan
seseorang kepada penjiwaan bagaimana orang lain yang memeriahkan satu atau dua
ibadah ritual dalam hal membangun identitasnya.
Identitas dan struktur
Dalam
seni sastra misalnya sebut saja Cerpen Bengawan Solo karya Danarto, meskipun
pada dasarnya ia tengah membicarakan kondisi kemanusiaan seputar KDRT --- dimana tokoh Pak Totok (Sang
Aku) dalam cerpen itu yang menjadi tetua Rumah Kita, rumah yang menampung anak-anak
jalanan, bersikeras untuk mempertahankan tokoh Nining seorang gadis kecil dari
ayah tirinya yang berusaha membawa gadis itu kembali, setelah ia pergi karena
kekerasan yang dialaminya dari ayah tirinya--- Danarto tetap membangun “suasana”
dalam menampilkan tokoh Kyai Kintir, seorang kyai yang selalu menghanyutkan
diri di Bengawan Solo, demi menguatkan identitasnya sebagai pengarang yang
beragama Islam.
Namun
meskipun begitu karena sosok yang ditampilkannya adalah seorang kyai nyleneh
(Danarto menyebutnya Sinting) maka pembaca merasakannya sebagai suasana unik,
karena sengaja menerakan Kyai Kintir bukan sebagai agamawan formal tetapi lebih
mendekati sosok penganut sufistik.
Suasana
yang dibangun melalui Kyai Kintir, tidak menjadikan sebuah alur cerita yang
kaku, bahkan ia berusaha menerabas pandangan keumuman, menerebas hal yang tak
mungkin, bahkan menerabas dogma agama itu sendiri. Berikut bagaimana Danarto
secara gamblang menggambarkan tokoh Kyai Kintir:
Sejumlah warga Solo ada
yang mengolok-oloknya sebagai Kiai Kenthir alias Kiai Sinting. Beliau tidak
peduli atas cemoohan itu karena hidup beliau sehari-harinya sangat serius.
Bahkan yang melecehkannya dikiriminya segepok uang yang dicomotnya dari udara.
Maka semakin bertambah banyak orang-orang yang meledeknya dengan pamrih Kiai
itu mengiriminya duit. Saya sendiri pernah melihat beliau mencomot uang dari
udara dan diberikannya kepada saya. Beliau pernah menyitir sabda Kanjeng Rasul
Muhammad SAW bahwa seandainya kalian tahu apa yang terjadi di dunia ini, kalian
akan menangis terus-menerus sepanjang hidup kalian.
Sepanjang hayat Kiai Kintir
mengasingkan diri. Tidak bergaul, tidak menerima santri, tidak mengajar, tidak
mau diwawancara, tidak mau diundang makan. Pokoknya serba tidak. Saya sadar,
semua kiriman beras dan kebutuhan dapur yang mendorong kami bisa berpesta itu,
merupakan sumbangan Kiai Kintir. Beliau selalu bisa membahagiakan orang, sedang
untuk dirinya sendiri, beliau tidak berniat sedikit pun. Cerita lainnya adalah,
pernah sejumlah wartawan elektronik diam-diam mengambil gambarnya. Ternyata
wajah beliau tidak terekam, yang muncul hanya gelap gulita. Jika beliau mulai
menghanyutkan diri di Bengawan Solo, itu pertanda di Solo akan terjadi sesuatu.
Selain
identitas, suasana sering dibangun dari sebuah struktur yang dihadirkan dalam
sebuah karya. Struktur itu ada kemungkinan selalu mendekati ciri-ciri struktur
teks, atau secara umum dalam ritual yang selalu dijalankan dalam agama Islam.
Simak
juga misalnya struktur perulangan yang dihadirkan Afrizal Malna1 dalam sajaknya berjudul Daftar Indeks,
dimana Malna membangun suasana itu
semacam kalimat zikir yang diulang sebagaimana juga beberapa ritual ibadah
dalam Islam seperti halnya umroh atau salat. Perhatikanlah sajak Malna berikut
ini:
Dan berjalan. Dan Tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan
makan. Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di sebuah kafe
di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan memotret kucing kawin di rumah
lely…. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa.
(Sajak “Daftar Indeks”, Pertemuan Kecil, HU Pikiran
Rakyat, Mei 2010)
Struktur
sajak Malna setidaknya mirip sekali dengan struktur kanonik, misalnya QS 72
dimana semua ayat suci dimulai dengan kata penghubung “dan”. Namun karena Malna
sadar bahwa tak ada satu hal pun yang membuat sebuah sajak sebanding dengan Al
Qur’an, maka ia menurunkan tensi kesyahduan menjadi hanya kemundanan.
Struktur
penempatan kata Dan pada setiap awal kalimat adalah semacam semangat
transendensi, ruang hela, yang membuat satu kemungkinan kejadian menjadi
betul-betul di ilhami oleh dunia “langit”. Dalam sajak ini memang tiap potongan
kalimat tidak nampak meledak-ledak, datar saja, seakan hanya perlu
memperlihatkan kesan mabuknya Malna dalam mencipta ruang ketidaksadaran dalam
proses menggubah sajak.
Perulangan
Malna pada akhirnya berlabuh pada mayat Caligula2, sebagai pusat,
yang berarti simbol kematian seorang penyair setelah berkuasa atas bahasa, atas
kata-kata3.
Malna
menemukan kuasanya atas bahasa, bagaimana ia bisa dibuat sedemikian rupa
menjadi sebuah tempat dimana gagasan bisa disampaikan, bahkan semundan dan
sesederhanan apapun. Tetapi pada akhirnya ia akan mati sendiri jika dirinya
terus bersembunyi dalam bahasa. Menurut Malna berarti gagasan bukan hanya “ada”
sebagai bahasa tetapi prilaku dan gerak. Itulah sebenarnya semangat keislaman
Malna.
Multitafsir
Suasana
menjadi bagian terpenting dalam membangun kesadaran hidup beragama karena ia
hadir dalam keadaan tidak memaksa orang untuk mengikuti apa yang ia yakini sebagaimana
fungsi syiar.
Suasana
yang dibangun dalam struktur seni islami dan identitas, agar tak terjajah
---meminjam istilah Sutardji Calzoum Bachri--- oleh gagasan-gagasan berbagai
kepentingan golongan haruslah menciptakan ruang-ruang kosong yang hadir diantara
letak penciptaan simbolisasi dengan unsur pembentuk “suasana” itu sendiri,
supaya ia menjadi multi tafsir: tak bergerak satu arah.
Dus,
seperti itulah mungkin dua contoh sastrawan yang sebetulnya mewakili
identitasnya sebagai umat Islam: membangun suasana keislaman demi terciptanya
aktualisasi dari pribadi-pribadi muslim yang berani berkreasi.
***
Cikarang,
30 Mei 2010
C
A T A T A N
1 Dalam esai Abdul Hadi WM yang
dimuat di Harian Suara Karya (1984) pernah disebutkan bahwa sajak Afrizal Malna
sangat kental unsur sufistiknya, menjadi landasan penulisan esai (Benda-benda,
Bahasa dan Kala: Mencari Simetri Tersembunyi dalam Teman-temanku dari Atap
Bahasa Karya Afrizal Malna,) oleh Tia Setiadi tentang Malna, bahwa struktur
sajaknya meskipun sudah jauh meninggalkan simbolisasi sufistik, masih memendam
unsur-unsur sufisme yang diterakan dalam simbol dan struktur sajaknya.
2 Sajak-sajak
Malna yang sukar dipahami karena berpusat pada simbol-simbol misterius dan
enigmatik, namun menjadi pertanda, bahwa simbol-simbol itu membawa kerja
matriks penafsiran sajak. Seperti sajak Daftar Indeks diatas, mayat Caligula
bisa diartikan sebagai kekuasaan yang digulingkan karena kudeta. Dalam
Wikipedia Caligula di ceritakan sebagai seorang Kaisar Romawi yang dikudeta
oleh serdadunya sendiri karena berbuat semena-mena semasa pemerintahannya (Lih.
http://id.wikipedia.org/wiki/Caligula)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar