Rabu, 02 November 2011

Esai

-->Tragedi Kekacauan Gelombang Cahaya

---telaah atas Buku Antologi Puisi Fuad:
 Awan Hitam, Saat dan Peristiwa
Kegelapan adalah inti daripada cahaya
(Fuad, Buku Awan Hitam, Saat dan Peristiwa: Mijil Publisher)
Telaah atas buku Fuad tidak harus dimulai dari statementnya atas eksistensialisme sebagaimana keyakinannya. Akan sulit mencari interkoneksi antara kegelapan dengan cara “mengada” penyair bawah sadar ini. Sebab eksistensialisme selalu memiliki tanda keberhadiran, sesuatu yang selalu dihubung-hubungkan dengan emanasi, menamburnya sebuah gelombang cahaya dalam ranah kehidupannya. Maka apa yang menjadi maksud paradoks antara keberhadiran dengan kegelapan, noktah hitam yang terkadang menjadi anak haram sejarah, sesuatu yang mungkin dilupakan dan terlupakan.
Fuad memulai keberhadirannya dengan adanya peristiwa kekacauan gelombang cahaya. Sesuatu yang sama sekali mirip dengan teorema kotak sianida Schröndinger, menghempas keyakinan “keterbatasan indrawi” Heisenberg. Menurut Heisenberg, uncertainty didasarkan kepada adanya sesuatu yang tak dapat diukur, meskipun sebuah ukuran benda-benda dinyatakan dalam sebuah instrumen pengukuran. Heisenberg menyatakan bahwa semakin detail kita mengamati benda-benda maka ketidakpastian akan pengukuran semakin besar, atau dalam filsafat jawa, semakin kita mengetahui segala sesuatu, semakin banyak pula yang tidak kita ketahui.
Schröndinger mematahkan pendapat Heisenberg bahwa tanpa pengamatan benda-benda sejatinya akan selalu bergerak. Artinya tanpa cahaya dan kerja indrawi, kehidupan akan terus berlangsung sebagaimana adanya.
Maka pada puisi-puisi Fuad, saya melihat adanya tragedi kehancuran gelombang cahaya. Segala kerja indrawi disumbat, ia sendiri memasukan alam mimpi ke dalam alam nyata, begitu juga sebaliknya, alih-alih mimpi itu sendiri yang menjadi komando atas kehidupannya. Sebuah kegelapan yang menjadi inti dari cahaya, begitu Fuad selalu memulainya saat menulis puisi.
Lihat misalnya potongan puisi Ketidakpastian (h. 47):
Awan hitam terlihat bergerak berarak
Beriringan dengan suara gemuruh di langit
Bukan berarti akan selalu pertanda hujan
Ketika awan memulai memutih melambat diam
Seperti tak terpikirkan lagi bahwa ada awan di sana
Sesungguhnya ketika diam dan tenang
Dan tak ada lagi yang memperhatikannya
Yakinkan diri bahwa saat itu adalah
Saat sempurna pengamatan

Begitu tenang riak yang ada dalam potongan puisi ini, ketenangan dan kesahajaan Fuad dalam mengolah tragedi “kehancuran gelombang cahaya” seolah memperdaya pembaca dengan memberi penekanan yang adem pada: Sesungguhnya ketika diam dan tenang/dan tak ada lagi yang memperhatikannya/yakinkan diri bahwa saat itu adalah/ saat sempurna pengamatan//. Fuad piawai menggerakkan apa yang dilihatnya sebagai struktur alam semesta dalam kuasa mimpi.
Black Core puisi tersebut menjadi komando atas terciptanya struktur alam semesta yang digerakannya, namun karena ia berpusat pada tragedi, segalanya menjadi daya ledak, membuat nalar pembaca porak poranda, mana mungkin ketika kita tidak memperhatikan sesuatu dalam keadaan yang biasa maka saat itu pula pengamatan mencapai maqam tertinggi.
Siapa yang menjadi subjek “ada” dalam puisi ini, sebenarnya? Ia adalah penyair itu sendiri, yang mampu menembus keadaan tak biasa, dalam tahap kegilaan ego tertentu, mencatat tragedi sebagai sebuah kebenaran menjadi estetika yang terkadang tak dapat dimengerti.
Fuad mengkremus kegelapan sebagai pusat diri, sesuatu yang memproduksi peristiwa, dan perjalanan benda-benda. Ia berdiri sebagai pengamat pasif atas pergerakan semesta, saat indrawinya sengaja disumbat, dan ia sendiri keluar dari raganya, merasuki benda-benda melakukan penentangan atas kuasa cahaya, mencatat apa yang tak pernah berhasil dicatat oleh pengamat-pengamat biasa, dengan begitu ia menasbihkan diri sebagai pengamat luar biasa: pencatat sejarah diluar sejarah.
Lukisan Hans hartung
Namun bagaimanapun Fuad tak pernah mampu lepas dari jerat kuasanya sendiri, sebab ciri eksistensialis adalah keberadaan yang mau tidak mau selalu berpusat pada kuasa, oleh karenanya selalu politis. Kuasa adalah cermin, pusat citraan, maka ketika tangan kiri ia gerakan sesungguhnya ia tengah menggerakan tangan kanan.
Sosok Fuad ialah bayangan, hendak menguasai sang ada di luar cermin, meyakini bayangan sebagai ada sejati, sementara keberadaan semata-mata kefanaan. Sesuatu yang sering salah ditafsirkan oleh modernitas. Modernitas semacam kebingungan menentukan sang ada: aku dalam cermin atau aku diluar cermin. Padahal sejatinya aku di dalam cermin lah sebagai bayangan yang memberi sign atas apa yang tengah kita kenakan. Bayangan akan selalu memerintahkan untuk membenarkan rambut kita yang kusut. Kegelapan dalam tema-tema puisi Fuad adalah sebuah subtansi yang memerintah kuasa sebagaimana adanya.
Setiap saat adalah kehadiran
Waktu adalah kehadiran bagi diri
Kembali menemukan diri yang selalu hadir
Kehadiran pada ketiadaan sempurna
Karena ketiadaan adalah kesempurnaan keberadaan…

Ikatan dunia adalah rantai Ilusi
Dunia adalah ilusi penampakan
Segala sesuatu adalah ilusi
Mencoba melihat pantulan dalam diri
Kemana pun menatap selalu terlihat
Tak ada yang lepas dari pandangan
(Kehadiran, h 85)

Keberhadiran bukan tanpa pretensi kuasa. Setiap pagi Fuad dalam cermin memerintahkan dirinya di luar cermin untuk merapikan pakaiannya ditubuhnya, sambil meyakini bahwa ada dirinya yang sejati adalah apa yang ada di dalam cermin. Di sinilah puisi hadir sebatas citraan. Meyakinkan pembaca bahwa penyair memiliki kemampuan menggali bagian terdalam jiwa, sebagai nafasnya, yang tak lain adalah warna kuasanya pula: bahwa ia bukan lagi dikatakan sebagai orang biasa. Bukankah itu kuasa?
Atas gema kuasanya dari dalam diri yang pasif itu maka sama sekali tak dihiraukannya kegelapan dalam arti sesungguhnya. Apa yang terlintas saat pengamatannya pada kehidupan tanpa cahaya menjadi abai terhadap kehidupan nyata yang tak pernah tertulis dalam buku-buku sejarah.
Siapa penghuni gelap sebenarnya? Mereka adalah yang tak pernah hadir dalam pengamatan kita, tetapi toh sebenarnya mereka tengah hidup, mencipta peristiwanya sendiri. Mengapa lalu merasa sendirian, padahal masih ada orang-orang yang tak seberuntung Fuad, menjalani malam dengan nanah yang menggumpal dilangit, berteriak merayakan hujan darah yang turun dari retakan sang daru. Penyair tak lagi jeli mendengar suara-suara ketertindasan.
Benda-benda apa yang sebenarnya tengah menciptakan sebuah peristiwa itu? bukankah Atas nama modernitas benda-benda adalah pertanda kuasa pula? Maka benda-benda dalam peristiwa adalah sebuah gerakan di mana manusia kehilangan kemanusiaannya. Benda-benda selalu menjadi cikal bakal pertarungan, perebutan, pengkhianatan, dan lain sebagainya. Maka diluar perebutan benda-benda itu selalu ada adiperistiwa atas peristiwa. Ia adalah keinginan menceritakan orang-orang yang kalah, mereka yang hadir di pinggiran pusat kuasa peristiwa yang dihasilkan benda-benda. Jika para pencipta peristiwa terus berjuang mempertahankan benda-benda untuk terus memproduksinya, maka orang-orang pinggiran hanya sekedar menjadikan benda sebagai cara bertahan hidup.
Tapi itulah Fuad yang merayakan gelap dalam batinnya sendiri, ia bagai pohon yang kokoh menjulang ke langit, sementara akarnya tertanam jauh ke dalam tanah. Sebagai pertanda bahwa apapun tak dapat meruntuhkannya: Gurat usianya adalah pengalaman hidup, yang tahu ke mana air akan mengalir, dan kapan saatnya sesuatu akan menjadi peristiwa menuju tempat-tempat yang digenapkan. “Tak perlu risau” katanya, “semua toh memiliki waktunya”. Itulah rasa kagum saya terhadap orang tua satu ini, damai dalam ketenangannya, tekun dalam rasa gelisahnya, tak goncang oleh keadaan, tak terpengaruh oleh jaman, dan sejatinya ia adalah pencipta jamannya sendiri.
***
Cikarang, 2 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar