Rabu, 02 November 2011

Esai

  -->Visit Musi dan Kecerdasan Vernakular

M Taufan Musonip
---Pembacaan atas Buku Puisi Eko Putra
Jika menengok dua penyair senior Indonesia  yang sajak-sajaknya memiliki warna-warna kelokalan maka kita akan teringat pada Abdul Hadi WM dan Oka Rusmini.  Abdul Hadi WM, mempercayai bahwa senyawa antara pengalaman batin dan lingkungan tempat sang penyair tinggal akan menjadikan bahasa menemukan tonggaknya sebagai puisi. Hadi, menjadikan Puisi sebagai pengalaman egoistik, sebuah katarsis dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari sebagai perifer dari pengamatan puitiknya.
Sementara Oka Rusmini memberi warna katarsis dalam kacamatanya yang perempuan, dalam sebuah pengantarnya pada antologi puisi Warna Kita, Oka Rusmini yang mengedepankan dirinya sebagai seorang Balian, salah seorang anggota dukun bali yang mengalami pengalaman theurgis dalam melihat Bali sebagai inspirasi.
Kedua penyair ini sama-sama Melakukan sterilisasi atas kehidupan sehari-hari yang sedang mengalami kisruh hingga pendangkalan akan arti hidup, hal itu dikarenakan Hadi menulis antologi puisinya (judul: Madura, Luang Prabhang) dari rentang waktu tahun 1965 hingga 1980. Kisruh pecahnya Gestapu dan bergulirnya roda pembangunan jaman Orde Baru, bak membuat Hadi seperti para sufi yang meninggalkan keriuhan dunia untuk menjalani prosesi maqam spritual, alih-alih mungkin untuk menyusun kekuatan diri.
Kedua penyair ini lenyap dan merasakan dirinya yang misterius, seperti halnya dikatakan Oka, bahwa adakalanya ia harus diam ketika mendapatkan ide-ide puitik, batinnya harus segera mencari kedalaman subtansial gerak-gerak bendawi sekelilingnya hingga menghasilkan sebuah puisi yang hening, theurgis dan penuh getir.
Bedanya jika Abdul Hadi membuka kran iluminasi dalam katarsisnya sementara Oka membuka kran paripatetiknya dalam menghela ruang kosongnya itu, walhasil pada akhirnya Hadi nampak absen dari hiruk-pikuk masyarakat sebagai muara dari aktifitas penciptaan puisi sementara Oka meskipun dalam beberapa sajaknya membunyikan percakapan puisinya dengan masyarakat adat Bali, nampak Oka lebih mengedepankan sisi keindahan hiruk-pikuk orang bali dari pada semangat tragis yang dialami penduduk Bali. Mungkin pada rentang (1960-1990) sajak-sajak dalam antologi Warna Kita, Bali masih dipuncak kemapanan sebelum tragedi Bom Bali I dan II, misalnya.
Puisi Madura karya Hadi adalah contoh puisi yang terlampau hening bagi renungan iluminatif pengembaraan yang tenang (Pada Puisi Madura) sebagaimana syahdunya gaya falsafati Oka dalam Mencari Sketsa Wajah Tuhan.
Hasilnya, karya-karya Hadi dalam Madura, Luang Prabhang, telah membuat kelokalan menjadi tradisi yang menghikmahi gerak alam sebagai kedamaian. Seperti penggalan bunyi sajaknya: Kebiruan Selat Kamal/Adalah kebiruan sajakku/Dan terasa hidup makin kekal/Sesudah memusnah rindu (Madura, 1967) atau Diamnya Sungai Sampang/adalah diamnya Sajakku/sekali waktu banjir datang/sekali waktu airnya biru (Madura, 1967)
Sementara kelokalan Oka seakan menabrak dan mempertanyakan tradisi. Disuatu tempat terkadang Oka hendak menjadikan eksistensi Tuhan sebagai hipotesa, menjadikan dewa-dewa sebagai perantara dari Tuhan yang sebenarnya.
Menyepi dalam kebudayaan agama-agama, adalah suatu cara mengendalikan ego dari masa dekadensi jaman. Masa ini selalu akan melahirkan manusia-manusia yang menerima ilafat dari langit untuk memperbaiki keadaan.
Khalwah dalam tradisi sufisme telah memberi ruang fotisme bagi puncak spiritual Syeikh Abdul Qodir Jaelani sebuah jangkauan tematis tentang warna-warni aura manusia, bisa jadi puisi juga merupakan puncak dari penglihatan fotis, dimana benda-benda mati dalam pandangannya menjadi begitu bergerak, dalam suara mereka seolah bicara, memberi ilham tentang kesadaran batin. Appropiasi antara tradisi kontemplasi dan khalwah dengan kelokalan adalah urgensi melahirkan kembali tindak-tanduk perkampungan yang mengedepankan etika, gotongroyong dan kebersamaan. Serta membangun kembali kesadaran jalan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup.
Kelokalan seperti menarik kembali kesadaran akan natural yang menjadi fitofarmaka bagi kehidupan kota yang penuh dengan radikal bebas. Sebuah oksidasi dari ruang hijau yang memberi emisi karbon dari dampak polusi kota. Setidaknya pandangan bahwa Tuhan menguasai segala benda, dalam wacana Demokritus, membuat seorang manusia yang memiliki kesadaran naturalistik akan menjadikan alam semesta sebagai sesuatu yang dapat diajak bicara.
Kelokalan juga suatu netralisasi pada subordinasi kritik budaya perkampungan kepada kota yang sedang mengalami, meminjam istilah Machiveali sebagai, cotta corrotisima, kota korup, sebagai akibat dari penduduknya yang sudah memihak pada kejahatan secara terorganisir dan mengorbankan kejujuran sebagai barang langka.
Menyepi dalam keramaian
Oleh karenanya khalwah dan kontemplasi tak bisa lagi mengorbankan kehidupan sehari-hari menjadi penghambatnya. Akan tetapi ia seharusnya menjadi preposisi atau negasi-negasi dari proses dialektika batiniah. Pada posisi ini maka penyair tak pernah lepas dari jati dirinya sebagai anggota masyarakat. Menyepi dalam keramaian seperti diyakini Syaikh As Sajili mungkin akan selalu menjadikan pengalaman hidup dalam masyarakat sebagai perjalanan spiritual.
Sajak adalah pergolakan, penciptaan ruang hela bagi hadirnya kritik atas kehidupan yang didasari pada katarsis, pemurnian nurani dari kepentingan-kepentingan ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Kelokalan dalam hal ini adalah api bagi proses pendidihan sikap dan tindak-tanduk kebudayaan kota yang semestinya hadir sebagai pusat peradaban. Kota yang mencerminkan penduduknya menjalankan kehidupan jahiliyah dari banalitas, segera mendapatkan kritiknya dari sini.
Seperti pada sajak Eko Putra, mestinya anak kampung berdiri paling depan atas kemunduran budaya yang dialami kota, untuk mengingatkan kembali tradisi besar mereka, sebagai bangsa besar. Dalam sajaknya Di Depan Benteng Ini yang ditulis didalam antologi puisi Musi yang belum lama ini terbit, Eko yang memiliki identitas anak kampung mencoba menyadarkan penduduk kota dengan simbolisasi kejayaan Palembang masa lalu, dipacak kedalam kebudayaan yang perkasa merampok kehidupan/ dari sisi yang tak mereka mengerti/ oleh nyanyi sunyi dan reklamasi perjuangan/ di nganga mulut televisi, yang terus terkunyah/dan dicerna oleh ngilu usus sungai musi.
Dalam sajak yang lain Eko Putra juga menghadirkan lokalitas kampungnya dalam suatu keheningan yang lahir dari keramaian dalam pandangan mata batinnya. Misalnya sajak Pasar Sekayu Suatu Pagi,
berapa harga yang mesti kami tawarkan
kepada kehidupan yang melekat di setiap kupon belanja
dan setiap hiruk pikuk yang tergesa-gesa membangunkan kami
dari mimpi yang tak pernah sempurna bagi anak-anak

dan terjadinya pagi yang begitu tiba-tiba
tak sempat lagi kami bicarakan
antara barang-barang yang menghidupi
atau propaganda dalam kehidupan
yang kami panggul melalui keranjang sayuran
dan beberapa lagi yang kami gerai di lapak manisan
ah..betapa, dan beginilah kami bicara
pagi-pagi, menuju matahari yang gemerlap
di atas harga dan tawaran kami

(Pasar Sekayu Suatu Pagi, Buku Antologi Musi)


Dalam sajak ini Eko Putra tak sedikitpun membuka ruang ego-spiritualnya. Tetapi membuka bebas sensasinya sebagai seorang penyair menghadirkan ruang batiniah sebagai curahan gelombang arketip mempertanyakan soal-soal yang sedang terjadi di kampungnya, tentang penderitaan yang disikapi dengan perjungan menegakan diri.
Jika Abdul Hadi WM mensenyawakan antara realitas alam dengan batiniah yang nampak hampa maka Eko melanjutkannya dengan empati. Tak ada ruang sepi di dalamnya yang ada adalah riuh rendah sebuah penduduk kampung yang minta dimengerti oleh ruang batin. Meski dengan begitu masa remajanya kemudian habis, mengutip sajak Eko sendiri: bagi remajaku, bagi tahun-tahun yang tak dibaca, baginya masa remaja adalah bagian yang hilang dari pikirannya. Eko terlalu awal mengasah batinnya untuk peduli pada apa yang ia lihat, dikampungnya.
Dari sinilah maka penulis merasa telah melihat jiwa rausyanfikrnya Eko. Penyair Rausyanfikr, penyair lokal yang mencoba mengkritisi budaya masyarakat kota yang sudah terjerembab kedalam individualitas dalam skala banalitas yang mengkhawatirkan. Setidaknya dalam ukuran anak-anak remaja.
Visit Musi
Dalam sebuah esainya, Yudi Latif berhasil merunut sejarah bahwa lestarinya karya-karya sastra di masyarakat telah merubah struktur masyarakat itu sendiri. Setidaknya menurut Yudi, pada bentangan sejarah Indonesia, kesastraan berkembang sejalan dengan semakin semangatnya daya juang kaum muda dari kesadaran akan keterjajahan menjadi semacam kekuatan kesadaran perhimpunan demi ikhtiar menegakkan kemerdekaan.
Abdul Rivai dalam sebuah majalah bertajuk Bintang Hindia berhasil memecahkan mitos hierarki borjuasi yang ditanamkan Pemerintah Hindia-Belanda dari prinsip bangsawan-usul menjadi bangsawan-pikiran. Menurutnya prinsip ini memberi kesempatan kepada semesta manusia untuk bisa meraih posisi kebangsawanan dengan menumbuhkan kesadaran keilmuan.
Semangat yang membuat anak-anak bangsawan rendahan mendapatkan momentumnya, anak-anak muda di STOVIA mengukir nama-nama besar perjuangan dibawah kibar kebesaran nama OSVIA, sekolah bagi para anak-anak bangsawan tinggi. Dari sanalah kemudian berturut-turut nama sebuah organisasi pencetus pergerakan kemerdekaan bangkit. Dari Budi Utomo hingga Perhimpunan Indonesia.
Pada kondisi itulah maka kesastraan sangat diperhitungkan, meskipun pada mulanya hanya semacam pencetus kesadaran akan kuasa bangsa atas teks. Namun pada dasarnya kesastraan adalah hal utama yang perlu diperhatikan jika sebuah bangsa memimpikan sebuah kemajuan.
Hal itu dimungkinkan karena dalam dunia sastra, bahasa menjadi sebuah teks yang menampung ide-ide melalui diksi-diksi yang membuat orang akan menempuh kondisi intelektualnya melalui cara lebih unik.
Bahwa sejatinya gairah perjuangan bangsa muncul pada saat tradisi linguis menumbuhkan kesadaran vernakular, kesadaran kelokalan. Satu kondisi di mana itu pernah menjadi siasat politik berbasis folklore yang di tegakkan pemerintah Hindia-Belanda, tadinya justru untuk meredam pergerakan.
Kesadaran ini kemudian berkembang untuk terus melestarikkan budaya lokal yang semakin tergerus oleh industrialisasi, migrasi, dan globalisasi di jaman ini. Jika di jaman penjajahan kesadaran vernakular adalah memperkuat orang-orang lokal secara terselubung untuk mempersiapkan nasionalisme, maka vernakular pada masa ini adalah untuk memperkuat pribadi daerah dalam menghadapi arus globalisasi lintas bangsa, lintas suku baik demi kepentingan otonomi daerah secara politis, kekuatan sumber daya alam yang mematrikan kesejahteraan penduduknya maupun pariwisata secara budaya.
Jika demikian tujuannya, sebuah karya sastra bermuatan  lokal haruslah menerbitkan kesadaran penduduk lokal untuk bangkit dari ketertindasan dari hierarki kota-pedesaan dalam arti memberi kritik atas kehidupan masyarakat perkotaan, yang sudah melambung jauh meninggalkan sarangnya sebagai orang Indonesia yang selama ini teracuni oleh pengaruh-pengaruh “luar” tanpa sikap kritis sambil mempercantik dan memberdayakan kampungnya sebagai tempat tinggal yang menjadi tempat hidup serta layak disambangi seluruh bangsa dari penjuru dunia untuk menaikan devisa negara.
Disinilah buku puisi karya seorang penyair muda lahir sebagai rembesan dari semangat vernakular. Seorang penyair muda keturunan jawa, yang tiba-tiba menjadi orang Sekayu di bantaran Sungai Musi sebagai pilihan jati dirinya,
musi yang manis
izinkan aku mencintaimu
dengan segala kesederhanaan

pada riakmu di januari-desember
di kelepak burung belatuk
dan lingkaran kasihsayang
lelaki penunggu sungai

ladang-ladang jagung
jeluntai putik kemang
dan anak-anak perahu

semakin aku mencintaimu
bagai seorang kekasih
tempat menanam kehidupan
di bunga-bunga siwalan

izinkan aku mencintaimu
pada keributan angin
segala kehidupan
pasir-pasir agustus
pada lelakiku

(Musi yang Manis, Izinkan Aku Mencintaimu: Buku Antologi Puisi Musi, Eko Putra)
Pilihan menjadi orang Sekayu membuat Eko Putra merasa bertanggung jawab atas kemajuan kampung dimana ia tinggal melalui kegemarannya berpuisi. Tentunya atas dasar kecintaannya pada Sekayu. Mungkin Eko tak pernah sadar bahwa kesadaran vernakular dalam puisinya paralel dengan spirit Visit Musi yang menjadi impian pemerintah dan seluruh masyarakat Sumatera Selatan, untuk meningkatkan harkat masyarakat Sumsel di kancah internasional melalui simbol Sungai Musi sebagai asal-muasal lahirnya peradaban.
Namun sejatinya Penyair ini lepas dari kepentingan apapun, yang dikerjakannya adalah mencoba mengilhami alam Sekayu dengan perasaan batinnya. Menegakan eksistensinya sebagai orang kampung untuk menantang jamannya.
***
Cikarang, 3 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar