Rabu, 02 November 2011

Esai

       -->Volkerwanderung Dunia Maya
Oleh: M Taufan Musonip


Abas Alibasyah,
Cat minyak di atas kanvas 
/ Oil on canvas, 100 x 66 cm, Inv.
Bisa jadi ketika sebuah nilai estetika yang diyakini melembaga, ia akan menciptakan dominasi. Maka muncullah istilah oposisi biner yang dikatakan Beni Setia (Pikiran Rakyat, 12 Desember 2010), mungkin merujuk kepada beberapa kekuatan yang sudah lama melembaga bahkan sejak masa kolonialisme. Sehingga semata-mata politis.  
Kekuatan-kekuatan itu terus mengalami evolusi, seiring dengan nilai-nilai luar yang mempengaruhinya, bahkan mungkin beberapa kekuatan terdegradasi menjadi bagian akumulasi kekuatan yang ada. Misalnya, pada masa tahun 1960an, Lesbumi adalah salah satu sayap kebudayaan bagi eksistensi kaum muslim dalam meyakini pandangannya tentang estetika, tak pelak bertarung dengan sayap-sayap kebudayaan lain yang bermuara pada kepentingan-kepentingan politik.
Namun letak persoalannya bukan di situ, dominasi sastra koran masih menjadi tolok ukur sebagai eleganitas sebuah karya sastra. Di situlah kemudian nilai-nilai estetika kesusastraan seolah melembaga. Strukturalisme yang sudah nampak dikatakan ketinggalan jaman dalam bangunan karya sastra, kemudian beralih menjadi formalisme struktur lembaga dalam operasionalnya bagaimana dapat memublikasikan sebuah karya.
Formalisme selalu dikaitkan dengan standarisasi, sebagai nilai-nilai sebuah struktur yang harus dipenuhi. Beni, kurang jeli dalam melihat hubungan antara konflik biner yang sudah melembaga dengan pergerakan sastra arus bawah yang sedang mengalami masa retardasi.
Masa retardasi mereka terjadi pada ledakan arus ---meminjam istilah A Toynbee--- volkerwanderung dunia maya. Lebih menguat semenjak lahirnya cyber sastra. Di sana mereka dapat berhubungan secara intens dengan dunianya. Mereka merasa mendapatkan ekumene baru, sebuah daratan yang hendak membesarkannya.
epikurian
Hudan Hidayat sendiri dalam akun facebooknya bernama Jurnal Sastratuhan Hudan sempat akan menerbitkan mengenai sepak terjang para penyair volkerwanderung itu, entah sampai saat ini kabarnya bagaimana, penerbitan itu terganggu oleh perpecahan yang terjadi diantara para simpatisan dengan pemilik jurnal itu sendiri atau alasan lain.
Hudan Hidayat sangat proaktif pada awalnya dalam upayanya membangun spirit menciptakan tandingan yang ditujukan kepada kemapanan sastra koran. Ia pun sering mengangkat beberapa nama baru untuk diorbitkan menjadi sastrawan ---tentunya disesuaikan dengan genrenya--- dengan “seolah-olah” menggiring mereka pada upaya penerbitan buku untuk semua karya yang dimiliki.
Muncul misalnya nama-nama seperti Ida Nursanti Basuni (Antologi Puisi: Mimpi Sang Dare, Q Publisher), Syaiful Alim (Novel: Kidung Cinta Pohon Kurma, Kata Kita), Helena Adriany (Antologi Puisi: Serangkaian Tunggu, Mijil Publisher), Hanna Fransisca( Antologi Puisi: Konde Penyair Han, Kata Kita), dan Herri Gieb (Kumpulan Racauan, Aku Ini dan Itu, Mijil Publisher). Hanya satu nama saja yang proyek penerbitannya di tukangi oleh Hudan (Helena Adriany), meski mungkin hanya sebatas menorehkan kata pengantar di buku mereka.
Pada awalnya Hudan sering mengangkat karya-karya mereka dalam esainya yang diposting di facebook di akunnya. Hudan sendiri akhir-akhir ini jarang sekali menulis di media massa, mungkin sebagai simbol “perlawanan” pada kemapanan sastra koran. Pada masa itu pergerakan arus bawah sastra dalam jejaring ini seakan-akan mendapat momentumnya. Dan memang terjadi ledakan-ledakan kecil, beberapa simpatisan Jurnal milik Hudan ini berhasil menerbitkan buku.
Sayang sekali, terdengar kabar bahwa beberapa simpatisan Hudan, tak lagi berhubungan secara intens dengannya, padahal ada beberapa nama lagi yang masih bisa berkibar setelah nama-nama yang disebutkan diatas.
Hudan terlalu ingin memosisikan diri sebagai pusat segala sesuatu dari para simpatisannya, mencitrakan diri sebagai pembela kaum sastra arus bawah dengan cara-cara pseudo, sehingga para pengikutnya menjadi begitu tergantung dengan sosoknya, menggantungkan harapan, namun ketika harapan itu mereka tagih, Hudan belum mampu memenuhi harapan itu dengan tangannya sendiri.
Hudan kemudian berusaha membentuk epikurnya, dengan mengembuskan teori turunan hudanian. Tanpa menyadari bahwa epikurian dalam dunia kekaryaan sangat diharamkan, seperti Nietzschean atau Hedeggerian, sesungguhnya mereka yang apresiatif terhadap karya besar pendahulunya adalah bagaimana menerbitkan kritik terhadap pencarian makna dari hasil pembacaan kerangka pemikiran mereka. Alih-alih Hudan malah menggambarkan cara pembacaan atas karya-karyanya, menerapkan standar-standar kepada para simpatisan bagaimana caranya menjadi seorang hudanian.
Uniformisme dan Netralisasi
Maka ledakan besar dalam tubuh simpatisan Jurnal Sastratuhan Hudan hanya terjadi pada fenomena uniformisme: para simpatisan memakai bingkai profil facebooknya dengan cover untuk buku yang rencananya akan diterbitkan oleh Hudan. Itu terjadi saat saya diserang secara brutal oleh dua orang yang disinyalir merupakan pengikut dari Saut Situmorang pada saat saya membuat esai untuk mengomentari puisi Eko Putra (penyair Sekayu Sumatera Selatan), sebagai bentuk simpatik kepada pembelaan Hudan atas penyerangan pengikut Saut kepada saya di kotak komentar: Kedua orang itu sengaja menuduh saya sebagai epikurian Hudan. Padahal sama sekali saya tak pernah mengklaim sebagai pengikut Hudan. Seperti simpatisan lain saya datang ke jurnal itu untuk belajar.
Dengan uniformisme itu, para sastrawan facebooker yang memulai debutnya melalui kepedulian Hudan, sebagian merasa disadarkan bahwa sastra Indonesia terbelah beberapa kubu. Lanjutan perang klasik antara Manikebu dan Lekra dalam bentuknya yang baru, kepada komunitas turunan-turunannya. Pada keadaan itu yang perlu disiapkan para pendatang baru bukan saja keelokan estetis dalam setiap karyanya akan tetapi bersiap mendapatkan serangan dan stigmasi jika ia ingin belajar pada satu komunitas.
Namun diluar kelemahan eksistensi jurnal itu, pada dasarnya dalam dunia kesastraan Indonesia hari ini, sejatinya sedang bergerak semacam muatan baru, sebagai antinom dari kemapanan sastra koran, meskipun masih embrionik. Sehingga yang menjadi tolok ukur sekarang adalah bukan terjadinya konflik biner yang melelahkan dalam sastra koran, tetapi geliat sastra yang timbul dari bawah untuk melengkapinya.
Lalu yang harus dilakukan menyikapi perbedaan ini bagi para pendatang baru dunia sastra adalah melakukan netralisasi dengan pengayaan subtansi. Sehingga tidak terjerat dominasi. Tentunya dengan terus berkarya tanpa terhalang kriteria sastrawi pada tiap-tiap kubu dominasi, seperti dikatakan Beni. Dengan itu proses berkarya akan menemui bentuk kualitasnya: tak ada puncak kreasi yang seragam, sebab kerja seni selalu beresensi pada kemandirian.
Bersikap juga toleran, dalam arti mengikuti perkembangan yang terjadi diantara persaingan kubu-kubu yang berkonflik, meluaskan pergaulan dengan siapapun untuk menambah subtansi pengetahuan dari berbagai perspektif yang ada. Ini akan menghindari fanatisme kubu, yang akan menzalimi diri sendiri.
***
Cikarang, 15 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar