Rabu, 09 November 2011

Esai

Wacana Uang dalam Agenda Seni Sastra Hari ini
Oleh M Taufan Musonip

Adalah Bandung Mawardi dalam esainya Uang, Modernitas dan Tafsir Sastra telah menuturkan bahwa eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia. Selanjutnya ia berkata:

Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra1.

Anehnya Mawardi menarik wacananya pada karya sastra yang terbit abad XX tanpa menyebutkan secara spesifik karya mana saja pada masa itu yang menjadi pertanda lahirnya arus besar kesusastraan  bagaimana prihal uang telah benar-benar mempengaruhi kultur masyarakat ketika itu.

Memang tak jelas menyandingkan kata modernitas dengan rentang sejarah tertentu sebuah Negara dan bangsa. Sebab sejatinya setiap modernitas adalah tradisi pula, dimana ia berhenti pada waktu tertentu dan bersinergi dengan prilaku masyarakat tertentu.
Zaman ini prihal uang sudah bukan lagi berputar hanya di wilayah keluarga. Uang pada masa ini sudah benar-benar merasuki manusia menjadi manusia manipulatif terorganisir. Konspiratif dan penuh intrik, seperti terjadi pada beberapa kasus yang melibatkan beberapa institusi dibawah payung Negara. Pada kondisi ini Negara tak jauh berbeda dari labirin dimana perputaran uang tak ketahuan ujung pangkalnya, dan berlabuh dimana.
Kemana uang itu sebenarnya berputar?
Pertanyaan itu menjadi beban punggawa dunia sastra agar bisa menembus labirin konspirasi masyarakat elit dalam mengendalikan keuangan Negara. Mampukah dunia sastra berbuat sedemikian rupa untuk memecahkan teka-teki konspirasi itu?.
Fakta-fakta yang terjadi didunia konspirasi atau dunia mafia, tak ada yang tak menarik untuk dijadikan bahan baku penulisan karya sastra (utamannya cerpen dan novel), para pengarang ditantang untuk menggeledah labirin organisasi dalam silang sengketa kekuasaan yang terjadi di pemerintahan sebagai penyebab utama kemana akhirnya aliran uang itu berlabuh.
Ironisnya Bandung dan teman-teman yang lain yang membahas secara berapi-api tentang pentingnya gagasan uang mampu memberi inspirasi bagi para empu-empu sastra Indonesia dalam menciptakan karyanya, tidak sedikitpun melirik sebuah karya sastrawan terkini yang sudah sedemikian menjiwai untuk mendedah prihal uang yang perputarannya hanya dirasakan oleh segelintir elite Negara dan pengusaha.
Membakar Api
Simaknya saja misalnya Cerpen karya Eka Kurniawan, Membakar Api. Eka berhasil menarik fakta konspirasi yang menjadi pemberitaan media saat cerpennya ditulis kedalam sebuah simbol “rumah judi” yang didirikan tokoh Lohan. Rumah Judi itu digambarkan sebagai simbol korporasi fiktif dimana aliran uang yang bergulir padanya akan dimanfaatkan untuk menyuap. Eka juga menyimbolkan para mafia dalam ruang lingkup institusi dengan subjek  pre yang merujuk pada kata preman, manusia bebas nilai, yang bebas melakukan sesuatu karena dilindungi oleh kekuasaan.
Simak narasi Eka tentang Pre dalam salah satu bait cerpennya berikut ini:
Pre merupakan istilah mereka untuk orang lapangan, para preman jalanan yang terlatih. Tidak, tidak sembarang preman jalanan. Tugas mereka adalah melakukan segala tindak kekerasan secara bersih untuk melindungi segala kepentingan organisasi. Preman jalanan hanya malak tukang parkir dan penjual kaki lima. Pre membunuh dan membakar gedung, tanpa diketahui. Lohan sendiri seorang pre, jika ia ditangkap oleh sesama pre, berarti ada masalah serius yang menyangkut internal organisasi.
Jelas narasi Eka sangat berkaitan erat dengan dunia mafia yang terjadi sekarang, sebuah komplotan yang mengarahkan kekuasaan menjadi semacam kejahatan yang nampak baik dimata semua orang. Bukankah bukti kejahatan terorganisir adalah  kemampuan satu organisasi berkuasa dalam hal menciptakan image baiknya. Setiap rezim tentunya melakukan cara tempuh yang berbeda-beda. Ada yang melakukannya dengan cara pencitraan hingga tindakan represif seperti dilakukan zaman orde baru.
Eka juga secara implisit mengisyaratkan bahwa kejujuran dalam dunia mafia adalah bentuk awal kekalahan, menurut Eka mungkin afirmasi terhadap maksud-maksud jahat dalam elemen penting organisasi adalah hal yang paling baik. Afirmatif saja tidak cukup, kelicikan sangat diperlukan bagaimana mampu menguasai sendi-sendi organisasi.
Lohan yang ditangkap oleh para Pre, karena telah berperan penting dalam pendirian “rumah judi” tiba-tiba diculik, di jebloskan ke jeruji, yang terus ditelusuri oleh Mirdad anak dari pemimpin organisasi bernama Rustam Satria Juwono, sebagai atasannya Lohan, ayah dari Artika, istri Mirdad. Rustam Satria Juwono mengatakan bahwa alasan penangkapan karena Rumah Judi-nya telah memboroskan uang organisasi meskipun Rustam mengerti bahwa Rumah Judi itu didirikan bukan semata-mata kehendak Lohan tapi karena kehendak organisasi yang dipimpin Rustam sendiri.
”Apakah kamu akan mengorbankanku demi membuat senang para tetua?”
Itulah pertanyaan terakhir Lohan sebelum dirinya ditangkap komplotan Pre, tetua merujuk pada para pengusaha yang secara informal lebih tinggi kekuasaannya dibanding Rustam, sebagai pemimpin tertinggi organisasi itu, tatkala para pengusaha melakukan audit terhadap pembukuan organisasi: sebagai kodifikasi bahwa pengusaha membutuhkan asupan modal dari organisasi tersebut. Tetua itu marah besar ketika uang dalam kantong organisasi kosong melompong. Padahal pada saat itu iklim usaha sedang lesu.
Eka berhasil meramu sebuah kisah dengan bongakahan-bongkahan simbol yang mengalir pada plot cerita. Sehingga pada akhirnya, cerpennya tidak terlihat superrealis, dia berhasil menyembunyikan gagasan dan kejadian yang terjadi pada jamannya menjadi ruang kosong yang tertarik untuk ditafsirkan. Bagi saya cerpen ini agak lebih menarik daripada kisah yang ada dalam The God Father karya Mario Puzo, yang sangat realis, dan hanya mengandalkan intrik-intrik kehebatan mafia dalam plotnya ---meskipun terkadang tak adil juga untuk memperbandingkan karya novel dengan cerpen. Eka berhasil menggambarkan kisah dengan esensi gagasan uang dan kekuasaan yang ditarik dalam satu organisasi konspirasi yang sebetulnya tengah hangat dibicarakan di negeri ini.
Mestinya ada yang lebih baik lagi dari karya Eka Kurniawan, karena seperti dikatakan teman-teman diatas bahwa uang telah menjadi agenda wacana dalam dunia sastra modern. Untuk mencerap kejadian-kejadian mengejutkan dalam manuver-manuver politik dalam panasnya pentas politik di dalam organisasi besar bernama inkorporasi Negara Indonesia.
Sastra memang bukan alat untuk menyampaikan pesan berbagai kepentingan propaganda terlebih juga gagasan. Tapi ada peluang didalamnya untuk mereduksi segala gagasan dan maksud menegakan bendera kebenaran dalam bentuknya yang paling unik: estetis.
Setelah menulis esai ini saya merasa ingin sekali membuat cerpen atau novel tentang intrik-intrik mafia, yang kaya simbol, supaya membuka ruang penafsiran bagi penikmatnya.
***
Cikarang, 26 Mei 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar