Wacana Uang dalam Agenda Seni Sastra Hari ini
Oleh M Taufan Musonip
Oleh M Taufan Musonip
Adalah Bandung Mawardi dalam esainya
Uang, Modernitas dan Tafsir Sastra telah menuturkan bahwa eksplorasi terhadap
tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia.
Selanjutnya ia berkata:
Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks
kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra1.
Anehnya Mawardi menarik wacananya
pada karya sastra yang terbit abad XX tanpa menyebutkan secara spesifik karya mana
saja pada masa itu yang menjadi pertanda lahirnya arus besar kesusastraan bagaimana prihal uang telah benar-benar
mempengaruhi kultur masyarakat ketika itu.
Memang tak jelas menyandingkan kata
modernitas dengan rentang sejarah tertentu sebuah Negara dan bangsa. Sebab
sejatinya setiap modernitas adalah tradisi pula, dimana ia berhenti pada waktu
tertentu dan bersinergi dengan prilaku masyarakat tertentu.
Zaman ini prihal uang sudah bukan lagi
berputar hanya di wilayah keluarga. Uang pada masa ini sudah benar-benar merasuki
manusia menjadi manusia manipulatif terorganisir. Konspiratif dan penuh intrik,
seperti terjadi pada beberapa kasus yang melibatkan beberapa institusi dibawah
payung Negara. Pada kondisi ini Negara tak jauh berbeda dari labirin dimana
perputaran uang tak ketahuan ujung pangkalnya, dan berlabuh dimana.
Kemana uang itu sebenarnya berputar?
Pertanyaan itu menjadi beban punggawa
dunia sastra agar bisa menembus labirin konspirasi masyarakat elit dalam
mengendalikan keuangan Negara. Mampukah dunia sastra berbuat sedemikian rupa
untuk memecahkan teka-teki konspirasi itu?.
Fakta-fakta yang terjadi didunia
konspirasi atau dunia mafia, tak ada yang tak menarik untuk dijadikan bahan
baku penulisan karya sastra (utamannya cerpen dan novel), para pengarang
ditantang untuk menggeledah labirin organisasi dalam silang sengketa kekuasaan
yang terjadi di pemerintahan sebagai penyebab utama kemana akhirnya aliran uang
itu berlabuh.
Ironisnya Bandung dan teman-teman
yang lain yang membahas secara berapi-api tentang pentingnya gagasan uang mampu
memberi inspirasi bagi para empu-empu sastra Indonesia dalam menciptakan
karyanya, tidak sedikitpun melirik sebuah karya sastrawan terkini yang sudah
sedemikian menjiwai untuk mendedah prihal uang yang perputarannya hanya
dirasakan oleh segelintir elite Negara dan pengusaha.
Membakar Api
Simaknya saja misalnya Cerpen karya
Eka Kurniawan, Membakar Api. Eka berhasil menarik fakta konspirasi yang menjadi
pemberitaan media saat cerpennya ditulis kedalam sebuah simbol “rumah judi”
yang didirikan tokoh Lohan. Rumah Judi itu digambarkan sebagai simbol korporasi
fiktif dimana aliran uang yang bergulir padanya akan dimanfaatkan untuk menyuap.
Eka juga menyimbolkan para mafia dalam ruang lingkup institusi dengan subjek pre
yang merujuk pada kata preman, manusia bebas nilai, yang bebas melakukan
sesuatu karena dilindungi oleh kekuasaan.
Simak narasi Eka tentang Pre dalam
salah satu bait cerpennya berikut ini:
Pre merupakan istilah mereka untuk orang lapangan, para preman jalanan
yang terlatih. Tidak, tidak sembarang preman jalanan. Tugas mereka adalah
melakukan segala tindak kekerasan secara bersih untuk melindungi segala
kepentingan organisasi. Preman jalanan hanya malak tukang parkir dan penjual
kaki lima. Pre membunuh dan membakar gedung, tanpa diketahui. Lohan sendiri
seorang pre, jika ia ditangkap oleh sesama pre, berarti ada masalah serius yang
menyangkut internal organisasi.
Jelas narasi Eka sangat berkaitan
erat dengan dunia mafia yang terjadi sekarang, sebuah komplotan yang
mengarahkan kekuasaan menjadi semacam kejahatan yang nampak baik dimata semua
orang. Bukankah bukti kejahatan terorganisir adalah kemampuan satu organisasi berkuasa dalam hal
menciptakan image baiknya. Setiap rezim tentunya melakukan cara tempuh yang
berbeda-beda. Ada yang melakukannya dengan cara pencitraan hingga tindakan
represif seperti dilakukan zaman orde baru.
Eka juga secara implisit
mengisyaratkan bahwa kejujuran dalam dunia mafia adalah bentuk awal kekalahan,
menurut Eka mungkin afirmasi terhadap maksud-maksud jahat dalam elemen penting
organisasi adalah hal yang paling baik. Afirmatif saja tidak cukup, kelicikan
sangat diperlukan bagaimana mampu menguasai sendi-sendi organisasi.
Lohan yang ditangkap oleh para Pre, karena telah berperan penting dalam
pendirian “rumah judi” tiba-tiba diculik, di jebloskan ke jeruji, yang terus
ditelusuri oleh Mirdad anak dari pemimpin organisasi bernama Rustam Satria
Juwono, sebagai atasannya Lohan, ayah dari Artika, istri Mirdad. Rustam Satria
Juwono mengatakan bahwa alasan penangkapan karena Rumah Judi-nya telah
memboroskan uang organisasi meskipun Rustam mengerti bahwa Rumah Judi itu
didirikan bukan semata-mata kehendak Lohan tapi karena kehendak organisasi yang
dipimpin Rustam sendiri.
”Apakah kamu akan mengorbankanku demi membuat senang para tetua?”
Itulah pertanyaan terakhir Lohan
sebelum dirinya ditangkap komplotan Pre,
tetua merujuk pada para pengusaha yang secara informal lebih tinggi
kekuasaannya dibanding Rustam, sebagai pemimpin tertinggi organisasi itu, tatkala
para pengusaha melakukan audit terhadap pembukuan organisasi: sebagai
kodifikasi bahwa pengusaha membutuhkan asupan modal dari organisasi tersebut.
Tetua itu marah besar ketika uang dalam kantong organisasi kosong melompong.
Padahal pada saat itu iklim usaha sedang lesu.
Eka berhasil meramu sebuah kisah
dengan bongakahan-bongkahan simbol yang mengalir pada plot cerita. Sehingga
pada akhirnya, cerpennya tidak terlihat superrealis, dia berhasil
menyembunyikan gagasan dan kejadian yang terjadi pada jamannya menjadi ruang
kosong yang tertarik untuk ditafsirkan. Bagi saya cerpen ini agak lebih menarik
daripada kisah yang ada dalam The God Father karya Mario Puzo, yang sangat
realis, dan hanya mengandalkan intrik-intrik kehebatan mafia dalam plotnya
---meskipun terkadang tak adil juga untuk memperbandingkan karya novel dengan
cerpen. Eka berhasil menggambarkan kisah dengan esensi gagasan uang dan
kekuasaan yang ditarik dalam satu organisasi konspirasi yang sebetulnya tengah
hangat dibicarakan di negeri ini.
Mestinya ada yang lebih baik lagi
dari karya Eka Kurniawan, karena seperti dikatakan teman-teman diatas bahwa uang
telah menjadi agenda wacana dalam dunia sastra modern. Untuk mencerap
kejadian-kejadian mengejutkan dalam manuver-manuver politik dalam panasnya
pentas politik di dalam organisasi besar bernama inkorporasi Negara Indonesia.
Sastra memang bukan alat untuk
menyampaikan pesan berbagai kepentingan propaganda terlebih juga gagasan. Tapi
ada peluang didalamnya untuk mereduksi segala gagasan dan maksud menegakan
bendera kebenaran dalam bentuknya yang paling unik: estetis.
Setelah menulis esai ini saya merasa ingin sekali membuat cerpen atau novel tentang intrik-intrik
mafia, yang kaya simbol, supaya membuka ruang penafsiran bagi penikmatnya.
***
Cikarang, 26 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar