Selasa, 24 Januari 2012

Esai

          Ecofeminisme dalam Kajian Dua Karya Sastra
Oleh: M Taufan Musonip

Setidaknya saya telah mendapat cerpen bertemakan tentang eco-kultural. Salah satunya adalah Henning Dorg Karya Yusac Lie (Jawa Pos, 17/10) dan Banun milik Damhuri Muhammad (Kompas, 24/10). Hebatnya, Banun mencerminkan eco-feminisme sebagai penetralisir tema feminisme radikal yang banyak mempengaruhi karya-karya baik penulis perempuan maupun tentang perempuan itu sendiri.
Saya jadi mencoba melakukan rujukan kedua karya tersebut dengan istilah geneologi yang pernah diutarakan Foucault. Pembicaraan Foucault bersumber pada pemikiran Nietzsche tentang asal-usul (usprung) dalam sebuah bukunya Geneologi of Morals.
Foucault membantu saya memahami ajaran Nietzsche dengan membagi kata definisi usprung kedalam arti turunan (herkunft) dan kata kemunculan (entstehung).
Keduanya didudukan ke dalam arti yang saling berlawanan. Usprung bukan lagi persoalan tradisi yang tanpa kritik. Tapi suatu tradisi yang menghidupkan kekinian dengan satu bentuk penafsiran kembali, sehingga seseorang muncul dalam sejarahnya. Jelaslah seperti motif-motif para penulis Nietzshean yang mengarah pada eksistensialisme kata kemunculan menjadi potensi bagi kehendak berkuasa.


Tradisi oleh karenanya bisa dikatakan sebagai sebuah akumulasi kekeliruan yang dengannya muncul sesuatu diluar kebiasaan, menjadi sejarah, momentum kelahiran. Bagaimanapun tradisi Nietzschean tak pernah benar-benar menegasikan sesuatu yang ada sebelumnya. Tetapi ia merupakan arah sublimasi untuk difungsikan menghadapi arus hidupnya sendiri.
Mengaitkan kata geneologi dalam khazanah sastra eco-kultural, seperti kedua cerpen yang saya sebutkan di atas. Alam semesta bagaimanapun adalah asal-usul kehidupan manusia. Tinggal mau dibawa kemana asal-usul itu dilangsungkan. Pada kata “kemunculan” atau hanya semata-mata warisan keturunan.
Warisan selalu mengakibatkan satu generasi terlena memelihara lingkungannya. Entah apa alasannya, yang jelas ia selalu melenakan satu generasi pada ketergantungan. Sementara, Eksploitasi alam tanpa pembangunan berkelanjutan (suistainable development) telah mengakibatkan keserakahan di satu sisi dan ketertindasan di sisi lainnya.
Dengan demikian saya pikir kata entstehung tak pernah lepas dari hernkuft, menjadikan alam semesta sebagai pelayan kehidupan manusia dengan memanfaatkannya dalam teknologi dan melestarikannya demi menjaga warisan nenek moyang secara turun temurun. Satu pemikiran yang cukup sederhana dan klise menurut saya.
Meskipun sederhana, masalah ini masih terus membayangi negara-negara yang tergabung dalam organisasi dunia tentang perubahan iklim, di mana masih ada pihak-pihak berpotensi, bahkan melanggar Protokol Kyoto.
Negara-negara besar yang hendak mengalirkan uangnya untuk program REDD, merasa gamang ketika dihadapkan kepada persoalan penggunaan dana untuk penanggulangan deforestasi dan illegal logging di negara-negara tujuan yang masih memiliki nilai rendah dalam hal menekan kasus korupsi.
Saya tidak akan berpanjang lebar membahas persoalan eco-politik global yang terjadi sekarang, kesempatan yang pendek ini tidak cukup ruang untuk membahas kompleksitas persoalan lingkungan ditengah krisis anomali cuaca.
Henning Dorg
Henning dorg menceritakan kisah seorang anak lelaki yang terpisah jauh dari bapak biologisnya. Pengarang berhasil membuatnya menjadi nampak simbolik. Sebuah cerita dengan setting sebuah kota di Jepang memungkinkan tokoh aku dalam cerpen ini bertemu dengan bapak kandungnya (Henning Dorg --- orang Jerman).
Secara kebetulan sang aku satu flat dengan orang tuanya yang berdarah Jerman. Orang tua itu nampak boros dalam menggunakan beberapa fasilitas flat, seperti menyalakan lampu pada waktu siang hari hingga memakai mobil mewahnya untuk berhura-hura.
Si pengarang mulai mendramatisir hubungan keduanya dalam konflik. Sang anak tiba-tiba mendekati bapaknya. Mengurus semua keperluan hidupnya. Alih-alih sang bapak merasa sangat beruntung karena ada yang membantunya ---meskipun pada mulanya merasa dilecehkan---- orang tua itu malah merasa aji mumpung.
Cerpen ini diakhiri dengan rasa bergantung Henning Dorg pada anak muda misterius itu, saat ia mengalami kecelakaan lalu lintas, akibat kejahilan tangan tokoh aku menumpahkan perasaan kesal melihat kelakuan Henning Dorg yang sudah diberi hati minta jantung. Henning Dorg dengan bantuan anak muda itu bukan saja dapat melunasi tunggakan listrik dan air, akan tetapi ia bisa menuntaskan hasrat berahinya pada wanita-wanita tuna susila.
Di dalam cerpen ini alur cerita diramaikan oleh suasana tegang hubungan ayah dan anak, walaupun Henning Dorg mungkin tak pernah tahu bahwa anak muda yang mengurusnya itu anaknya sendiri. Bukanlah karya sastra jika ia berkiblat pada altruisme. Pengarang betul-betul berhasil dalam memainkan naik-turunnya suhu konflik dalam skala absurdisme yang taat.
Nah, dalam perspektif geneologi, kata usprung selalu saja berkait erat dengan kata “turunan” dan “kemunculan”. Kemunculan Henning Dorg yang melahirkan satu garis keturunan, telah menandakan adanya eksploitasi terhadap wanita sebagai simbol alam semesta, disamping eksploitasi Dorg atas kebaikan anaknya sendiri: sebuah diksi yang menggelar hubungan barat dan timur, bahwa meski kawasan timur memiliki kekayaan alam yang melimpah, ia tak menjadi tuan di negerinya sendiri. Diakibatkan karena eksploitasi dan keterlenaan umat manusia dibelahan timur dalam menjaga warisan nenek moyangnya.
Namun kisah ini memberi gambaran, bahwa kenakalan tokoh aku didalamnya yang menyadari bahwa bapaknya sendiri adalah asal-muasal (usprung) kelahirannya, maka tokoh aku menjadi semacam “kemunculan” yang menggelikan ---pudenda origo. Sebuah dendam bercampur pekat dengan kerinduan dan kasih sayang. Asal-usul terbalik itu bisa saja saya analogikan sebagai kekayaan ilmu pengetahuan yang melimpah di barat. Toh, Sampai hari ini, kebudayaan barat masih merupakan mitos yang tak terbantahkan.
Eco-Feminisme
A Toynbee mengatakan bahwa sejatinya sejak manusia mengenal Keesaan Tuhan ia mengalami kejatuhannya (descent), tuhan-tuhan dalam tradisi animisme yang menguasai satu jagat tertentu ketika diikat dalam monoteisme, membuat manusia tak pernah takut lagi menghadapi gejolak alam dalam idetintas tuhan kecilnya.
Kejatuhan itu diteruskan menjadi semacam tradisi pharaoh. Manusia-manusia yang mengemban amanah Tuhan kemudian memegang kendali alam semesta secara primordial/geneologis. Ini tentunya merupakan kritik terhadap penganut agama monoteisme yang memiliki keyakinan bahwa Tuhan selalu ada di mana-mana.
Sebenarnya “kemunculan” orang-orang barat di indonesia, misalnya, sejak jaman kolonialisme maupun jaman kapitalisme (ada orang yang menyebutnya imperialisme) seperti sekarang, adalah titik balik volkerwanderung: meniti jalan naturalisme sebagai awal mula kelahiran manusia, namun dengan cara eksploitasi yang ugal-ugalan.
Dan naturalisme selalu identik dengan belahan bumi timur karena kekayaan alamnya. Maka di sini ia selalu di lekatkan dengan kekuatan eksotisme yang menggulirkan tema-tema perempuan sebagai kodifikasi alam semesta.
Mengapa demikian?. Karena perempuanlah yang selalu dekat dengan alam semesta. Perempuan mengemban tugas regeneratif. Kerusakan alam akan selalu berdampak langsung bagi perempuan.
Dalam istilah mitologi jawa atau helenis, perempuan selalu diartikan sebagai tanah tempat melahirkan semua tetumbuhan, sementara lelaki adalah langit yang menguasai cuaca. Begitu pula sebenarnya analogi barat dan timur, barat sebagai sebuah kawasan yang melahirkan arus Aufklarung akan menyinari kawasan timur sebagai pusat kelahiran manusia --- barat dan timur dalam pengertian jaman ini bukanlah diartikan secara geografis tetapi semacam dikotomi bentuk pemikiran.
Perempuan memiliki bentuk kuasanya sendiri terhadap hierarki laki-laki. Ia adalah tubuhnya sendiri. Jika hal itu dimanfaatkan dengan baik, maka kekuasaan perempuan akan mendorong pelestarian lingkungan hidup. Lelaki mencari nafkah untuk mengeksploitasi alam, perempuan mengajak pasangannya bersama-sama untuk senantiasa menjaga kelangsungan hidup manusia dengan melestarikan alam semesta.
Dalam hal ini cerpen Banun merefleksikannya: perempuan yang tangguh dalam mensiasati krisis cadangan energi, sangat konsisten menjadikan lingkungan tempat tinggalnya sebagai moda ketahanan pangan, sehingga benar-benar berdaya, menciptakan keluarga yang dibesarkan dari keringatnya menjaga lingkungan hidup, meskipun ia seorang janda.
Itulah prinsip dari eco-feminisme sebagai penetralisir dari radikalisasi-feminis yang centang perenang menggugat kodratnya sebagai perempuan.
***
Dimuat di Buletin Jejak Edisi Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar