Ecofeminisme dalam Kajian Dua Karya Sastra
Oleh: M Taufan Musonip
Setidaknya saya telah mendapat cerpen
bertemakan tentang eco-kultural. Salah satunya adalah Henning Dorg Karya Yusac
Lie (Jawa Pos, 17/10) dan Banun milik Damhuri Muhammad (Kompas, 24/10). Hebatnya,
Banun mencerminkan eco-feminisme sebagai penetralisir tema feminisme radikal
yang banyak mempengaruhi karya-karya baik penulis perempuan maupun tentang
perempuan itu sendiri.
Saya jadi mencoba melakukan rujukan
kedua karya tersebut dengan istilah geneologi yang pernah diutarakan Foucault. Pembicaraan
Foucault bersumber pada pemikiran Nietzsche tentang asal-usul (usprung) dalam sebuah bukunya Geneologi
of Morals.
Foucault membantu saya memahami
ajaran Nietzsche dengan membagi kata definisi usprung kedalam arti turunan (herkunft) dan kata kemunculan
(entstehung).
Keduanya didudukan ke dalam arti yang
saling berlawanan. Usprung bukan lagi
persoalan tradisi yang tanpa kritik. Tapi suatu tradisi yang menghidupkan
kekinian dengan satu bentuk penafsiran kembali, sehingga seseorang muncul dalam
sejarahnya. Jelaslah seperti motif-motif para penulis Nietzshean yang mengarah
pada eksistensialisme kata kemunculan menjadi potensi bagi kehendak berkuasa.
Tradisi oleh karenanya bisa dikatakan
sebagai sebuah akumulasi kekeliruan yang dengannya muncul sesuatu diluar
kebiasaan, menjadi sejarah, momentum kelahiran. Bagaimanapun tradisi
Nietzschean tak pernah benar-benar menegasikan sesuatu yang ada sebelumnya.
Tetapi ia merupakan arah sublimasi untuk difungsikan menghadapi arus hidupnya
sendiri.
Mengaitkan kata geneologi dalam
khazanah sastra eco-kultural, seperti kedua cerpen yang saya sebutkan di atas.
Alam semesta bagaimanapun adalah asal-usul kehidupan manusia. Tinggal mau
dibawa kemana asal-usul itu dilangsungkan. Pada kata “kemunculan” atau hanya
semata-mata warisan keturunan.
Warisan selalu mengakibatkan satu
generasi terlena memelihara lingkungannya. Entah apa alasannya, yang jelas ia
selalu melenakan satu generasi pada ketergantungan. Sementara, Eksploitasi alam
tanpa pembangunan berkelanjutan (suistainable development) telah mengakibatkan
keserakahan di satu sisi dan ketertindasan di sisi lainnya.
Dengan demikian saya pikir kata entstehung tak pernah lepas dari hernkuft, menjadikan alam semesta
sebagai pelayan kehidupan manusia dengan memanfaatkannya dalam teknologi dan
melestarikannya demi menjaga warisan nenek moyang secara turun temurun. Satu
pemikiran yang cukup sederhana dan klise menurut saya.
Meskipun sederhana, masalah ini masih
terus membayangi negara-negara yang tergabung dalam organisasi dunia tentang
perubahan iklim, di mana masih ada pihak-pihak berpotensi, bahkan melanggar
Protokol Kyoto.
Negara-negara besar yang hendak
mengalirkan uangnya untuk program REDD, merasa gamang ketika dihadapkan kepada
persoalan penggunaan dana untuk penanggulangan deforestasi dan illegal logging
di negara-negara tujuan yang masih memiliki nilai rendah dalam hal menekan
kasus korupsi.
Saya tidak akan berpanjang lebar
membahas persoalan eco-politik global yang terjadi sekarang, kesempatan yang
pendek ini tidak cukup ruang untuk membahas kompleksitas persoalan lingkungan
ditengah krisis anomali cuaca.
Henning Dorg
Henning dorg menceritakan kisah
seorang anak lelaki yang terpisah jauh dari bapak biologisnya. Pengarang berhasil
membuatnya menjadi nampak simbolik. Sebuah cerita dengan setting sebuah kota di
Jepang memungkinkan tokoh aku dalam cerpen ini bertemu dengan bapak kandungnya
(Henning Dorg --- orang Jerman).
Secara kebetulan sang aku satu flat
dengan orang tuanya yang berdarah Jerman. Orang tua itu nampak boros dalam
menggunakan beberapa fasilitas flat, seperti menyalakan lampu pada waktu siang
hari hingga memakai mobil mewahnya untuk berhura-hura.
Si pengarang mulai mendramatisir
hubungan keduanya dalam konflik. Sang anak tiba-tiba mendekati bapaknya.
Mengurus semua keperluan hidupnya. Alih-alih sang bapak merasa sangat beruntung
karena ada yang membantunya ---meskipun pada mulanya merasa dilecehkan----
orang tua itu malah merasa aji mumpung.
Cerpen ini diakhiri dengan rasa
bergantung Henning Dorg pada anak muda misterius itu, saat ia mengalami
kecelakaan lalu lintas, akibat kejahilan tangan tokoh aku menumpahkan perasaan
kesal melihat kelakuan Henning Dorg yang sudah diberi hati minta jantung.
Henning Dorg dengan bantuan anak muda itu bukan saja dapat melunasi tunggakan
listrik dan air, akan tetapi ia bisa menuntaskan hasrat berahinya pada
wanita-wanita tuna susila.
Di dalam cerpen ini alur cerita
diramaikan oleh suasana tegang hubungan ayah dan anak, walaupun Henning Dorg mungkin
tak pernah tahu bahwa anak muda yang mengurusnya itu anaknya sendiri. Bukanlah
karya sastra jika ia berkiblat pada altruisme. Pengarang betul-betul berhasil
dalam memainkan naik-turunnya suhu konflik dalam skala absurdisme yang taat.
Nah, dalam perspektif geneologi, kata
usprung selalu saja berkait erat dengan kata “turunan” dan “kemunculan”. Kemunculan
Henning Dorg yang melahirkan satu garis keturunan, telah menandakan adanya
eksploitasi terhadap wanita sebagai simbol alam semesta, disamping eksploitasi
Dorg atas kebaikan anaknya sendiri: sebuah diksi yang menggelar hubungan barat
dan timur, bahwa meski kawasan timur memiliki kekayaan alam yang melimpah, ia
tak menjadi tuan di negerinya sendiri. Diakibatkan karena eksploitasi dan
keterlenaan umat manusia dibelahan timur dalam menjaga warisan nenek moyangnya.
Namun kisah ini memberi gambaran,
bahwa kenakalan tokoh aku didalamnya yang menyadari bahwa bapaknya sendiri
adalah asal-muasal (usprung) kelahirannya, maka tokoh aku menjadi semacam
“kemunculan” yang menggelikan ---pudenda
origo. Sebuah dendam bercampur pekat dengan kerinduan dan kasih sayang.
Asal-usul terbalik itu bisa saja saya analogikan sebagai kekayaan ilmu
pengetahuan yang melimpah di barat. Toh, Sampai hari ini, kebudayaan barat
masih merupakan mitos yang tak terbantahkan.
Eco-Feminisme
A Toynbee mengatakan bahwa sejatinya
sejak manusia mengenal Keesaan Tuhan ia mengalami kejatuhannya (descent),
tuhan-tuhan dalam tradisi animisme yang menguasai satu jagat tertentu ketika
diikat dalam monoteisme, membuat manusia tak pernah takut lagi menghadapi
gejolak alam dalam idetintas tuhan kecilnya.
Kejatuhan itu diteruskan menjadi
semacam tradisi pharaoh.
Manusia-manusia yang mengemban amanah Tuhan kemudian memegang kendali alam
semesta secara primordial/geneologis. Ini tentunya merupakan kritik terhadap penganut
agama monoteisme yang memiliki keyakinan bahwa Tuhan selalu ada di mana-mana.
Sebenarnya “kemunculan” orang-orang
barat di indonesia, misalnya, sejak jaman kolonialisme maupun jaman kapitalisme
(ada orang yang menyebutnya imperialisme) seperti sekarang, adalah titik balik volkerwanderung: meniti jalan
naturalisme sebagai awal mula kelahiran manusia, namun dengan cara eksploitasi
yang ugal-ugalan.
Dan naturalisme selalu identik dengan
belahan bumi timur karena kekayaan alamnya. Maka di sini ia selalu di lekatkan
dengan kekuatan eksotisme yang menggulirkan tema-tema perempuan sebagai
kodifikasi alam semesta.
Mengapa demikian?. Karena
perempuanlah yang selalu dekat dengan alam semesta. Perempuan mengemban tugas
regeneratif. Kerusakan alam akan selalu berdampak langsung bagi perempuan.
Dalam istilah mitologi jawa atau
helenis, perempuan selalu diartikan sebagai tanah tempat melahirkan semua
tetumbuhan, sementara lelaki adalah langit yang menguasai cuaca. Begitu pula
sebenarnya analogi barat dan timur, barat sebagai sebuah kawasan yang
melahirkan arus Aufklarung akan menyinari kawasan timur sebagai pusat kelahiran
manusia --- barat dan timur dalam pengertian jaman ini bukanlah diartikan secara
geografis tetapi semacam dikotomi bentuk pemikiran.
Perempuan memiliki bentuk kuasanya
sendiri terhadap hierarki laki-laki. Ia adalah tubuhnya sendiri. Jika hal itu
dimanfaatkan dengan baik, maka kekuasaan perempuan akan mendorong pelestarian
lingkungan hidup. Lelaki mencari nafkah untuk mengeksploitasi alam, perempuan
mengajak pasangannya bersama-sama untuk senantiasa menjaga kelangsungan hidup
manusia dengan melestarikan alam semesta.
Dalam hal ini cerpen Banun
merefleksikannya: perempuan yang tangguh dalam mensiasati krisis cadangan
energi, sangat konsisten menjadikan lingkungan tempat tinggalnya sebagai moda
ketahanan pangan, sehingga benar-benar berdaya, menciptakan keluarga yang
dibesarkan dari keringatnya menjaga lingkungan hidup, meskipun ia seorang janda.
Itulah prinsip dari eco-feminisme
sebagai penetralisir dari radikalisasi-feminis yang centang perenang menggugat
kodratnya sebagai perempuan.
***
Dimuat di Buletin Jejak Edisi Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar