Balaghah, Pengarang dan Karyanya
Oleh: M Taufan Musonip
Zaman dekontruksi memautkan kita pada
sebuah permainan-permainan bahasa. Membuat kita enggan berpindah ke hal-hal
yang lebih besar. Benarkah permainan bahasa mempersulit masuknya unsur-unsur
maknawi? Padahal kitab suci sendiri memiliki gatra keindahan, segala makna
timbul dalam berbagai bentuk bebunyian. Surat-surat pendek dalam Al Qur’an
selalu memiliki bentuk bunyi. Tapi di dalamnya memiliki kandungan kebenaran.
Dalam kitab kuning ada sebuah ilmu tentang
perluasan bahasa, yang dimaksud adalah balaghah. Ada baiknya sesekali kita
melihat teks puitik dari perspektif balaghah, jika keyakinan bahwa segala
sesuatu adalah metafor. Ilmu balaghah meyakini bahwa setiap kata ---sebagai
mana keyakinan filsafat dekontruksi--- memiliki ruang penafsiran berbeda.
Kemudian jika harapan bahwa sebuah teks memberdayakan pembaca, setiap metafora
adalah bukti keunggulan seorang pengarang dalam menciptakan sebuah teks yang
multitafsir itu.
Balaghah membawa kita kepada sesuatu yang lebih tinggi. Mengingat bahasa puitik dalam khazanah kesusatraan islam menghuni derajat keilmuan tinggi. Hikayat Kanjeng Kholil yang ditinggalkan muridnya karena kepandaian seorang murid bernama Kanjeng Siwaleh, membawa dia pada sebuah khalwah panjang di sebuah pesisir. Munajatnya mendapatkan ilmu yang tak mudah dikuasai oleh orang-orang biasa, membuat dia memadukan deburan ombak lautan dengan suara ketukan pandai besi. Maka pengalaman puitik adalah perpaduan antara implikasi yang dihasilkan alam semesta dengan implikasi ciptaan manusia. Lebih jauh berarti adanya kemampuan sang pengarang memasukan sesuatu yang besar kepada yang kecil. Pengarang piawai menciptakan daya hambat kepada kebenaran tunggal dengan ciptaannya. Ini dikarenakan teks ciptaannya ingin selalu lestari pada setiap zamannya.
Kita uji saja misalnya puisi Sitor
Situmorang,
Lebaran
Bulan di atas kuburan
Bagi dekontruksi bangunan puisi Sitor
membunuh pengarangnya sendiri, Sitor tak bisa kita harapkan tengah menampilkan
sebuah gatra metanarasi, bebunyian tampil sebagai penghambat kehendak
menyampaikan apa yang tengah berkecamuk dalam dirinya. Maka segala pemaknaan
segera diserahkan saja kepada pembaca.
Dalam kajian balaghah, puisi Sitor
menghidupkan kembali penyairnya. Sejauh mana tanda yang disematkan dalam puisi
tersebut mengalami perluasan. Pengarang menulis puisi bukan ingin mempersempit
bahasanya dengan permainan-permainan. Ia ingin menjangkau tempat tertinggi,
membicarakan bulan bukan sekedar bulan yang biasa dilihat oleh mata manusia.
Oleh karenanya bebunyian di dalamnya mengantarkan pembaca kepada sebuah
pengalaman tinggi. Sejauhmana pertanda menghasilkan kemungkinan-kemungkinan
penafsiran. Keberdayaan pembaca bukan pada saat ia menentukan satu penafsiran
untuknya, tapi membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang boleh jadi merujuk
pada pengarangnya sendiri, sejauhmana misalnya Sitor yang beragama Nasrani
memahami lebaran, atau apa yang diinginkan Sitor mengenai gambaran lebaran oleh masyarakat
Indonesia yang direduksi dari hari raya idul fitri itu. Metanarasi adalah
lahirnya kemungkinan-kemungkinan dalam sebuah pertanda. Termasuk
kemungkinan-kemungkinan yang kita buat sebelum melakukan rujukan terhadap
penulisnya sendiri.
Dekontruksi memahami totalitas
pengarang (Derrida) dilihat dari sejauhmana hasil ciptaannya, bukan tentang
pengarangnya sendiri. Sementara Balaghah menganggap kitab sekedar bungkus, isinya adalah amalan soleh yang dimiliki
pengarangnya. Setiap amalan yang dimiliki pengarang akan membentuk kemampuan menciptakan
wadah bagi kebenaran itu. Kebenaran dalam hal ini bukanlah semata-mata apa yang
dilukiskan pengarang dalam kitabnya, tetapi termasuk mengenai riwayat hidupnya:
menjadi salah satu sabab-musabab ketika ciptaannya dibentuk. Manakib atau
tarajim yang banyak diritualkan oleh para pengikut tarekat adalah memahami
riwayat seorang penulis kitab. Mirip memoar atau biografi tentang seorang
penulis besar.
***
Cikarang, 16 September 2011
Dimuat di Majalah Sabili edisi Januari 2012
dan Buletin Jejak edisi Februari 2012
Dimuat di Majalah Sabili edisi Januari 2012
dan Buletin Jejak edisi Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar