Sabtu, 03 Maret 2012

Esai

Balaghah, Pengarang dan Karyanya
Oleh: M Taufan Musonip

Zaman dekontruksi memautkan kita pada sebuah permainan-permainan bahasa. Membuat kita enggan berpindah ke hal-hal yang lebih besar. Benarkah permainan bahasa mempersulit masuknya unsur-unsur maknawi? Padahal kitab suci sendiri memiliki gatra keindahan, segala makna timbul dalam berbagai bentuk bebunyian. Surat-surat pendek dalam Al Qur’an selalu memiliki bentuk bunyi. Tapi di dalamnya memiliki kandungan kebenaran.

Dalam kitab kuning ada sebuah ilmu tentang perluasan bahasa, yang dimaksud adalah balaghah. Ada baiknya sesekali kita melihat teks puitik dari perspektif balaghah, jika keyakinan bahwa segala sesuatu adalah metafor. Ilmu balaghah meyakini bahwa setiap kata ---sebagai mana keyakinan filsafat dekontruksi--- memiliki ruang penafsiran berbeda. Kemudian jika harapan bahwa sebuah teks memberdayakan pembaca, setiap metafora adalah bukti keunggulan seorang pengarang dalam menciptakan sebuah teks yang multitafsir itu.

Balaghah membawa kita kepada sesuatu yang lebih tinggi. Mengingat bahasa puitik dalam khazanah kesusatraan islam menghuni derajat keilmuan tinggi. Hikayat Kanjeng Kholil yang ditinggalkan muridnya karena kepandaian seorang murid bernama Kanjeng Siwaleh, membawa dia pada sebuah khalwah panjang di sebuah pesisir. Munajatnya mendapatkan ilmu yang tak mudah dikuasai oleh orang-orang biasa, membuat dia memadukan deburan ombak lautan dengan suara ketukan pandai besi. Maka pengalaman puitik adalah perpaduan antara implikasi yang dihasilkan alam semesta dengan implikasi ciptaan manusia. Lebih jauh berarti adanya  kemampuan sang pengarang memasukan sesuatu yang besar kepada yang kecil. Pengarang piawai menciptakan daya hambat kepada kebenaran tunggal dengan ciptaannya. Ini dikarenakan teks ciptaannya ingin selalu lestari pada setiap zamannya.

Kita uji saja misalnya puisi Sitor Situmorang,
Lebaran
Bulan di atas kuburan

Bagi dekontruksi bangunan puisi Sitor membunuh pengarangnya sendiri, Sitor tak bisa kita harapkan tengah menampilkan sebuah gatra metanarasi, bebunyian tampil sebagai penghambat kehendak menyampaikan apa yang tengah berkecamuk dalam dirinya. Maka segala pemaknaan segera diserahkan saja kepada pembaca.
Dalam kajian balaghah, puisi Sitor menghidupkan kembali penyairnya. Sejauh mana tanda yang disematkan dalam puisi tersebut mengalami perluasan. Pengarang menulis puisi bukan ingin mempersempit bahasanya dengan permainan-permainan. Ia ingin menjangkau tempat tertinggi, membicarakan bulan bukan sekedar bulan yang biasa dilihat oleh mata manusia. Oleh karenanya bebunyian di dalamnya mengantarkan pembaca kepada sebuah pengalaman tinggi. Sejauhmana pertanda menghasilkan kemungkinan-kemungkinan penafsiran. Keberdayaan pembaca bukan pada saat ia menentukan satu penafsiran untuknya, tapi membuka kemungkinan-kemungkinan lain yang boleh jadi merujuk pada pengarangnya sendiri, sejauhmana misalnya Sitor yang beragama Nasrani memahami lebaran, atau apa yang diinginkan Sitor  mengenai gambaran lebaran oleh masyarakat Indonesia yang direduksi dari hari raya idul fitri itu. Metanarasi adalah lahirnya kemungkinan-kemungkinan dalam sebuah pertanda. Termasuk kemungkinan-kemungkinan yang kita buat sebelum melakukan rujukan terhadap penulisnya sendiri.

Dekontruksi memahami totalitas pengarang (Derrida) dilihat dari sejauhmana hasil ciptaannya, bukan tentang pengarangnya sendiri. Sementara Balaghah menganggap kitab sekedar bungkus,  isinya adalah amalan soleh yang dimiliki pengarangnya. Setiap amalan yang dimiliki pengarang akan membentuk kemampuan menciptakan wadah bagi kebenaran itu. Kebenaran dalam hal ini bukanlah semata-mata apa yang dilukiskan pengarang dalam kitabnya, tetapi termasuk mengenai riwayat hidupnya: menjadi salah satu sabab-musabab ketika ciptaannya dibentuk. Manakib atau tarajim yang banyak diritualkan oleh para pengikut tarekat adalah memahami riwayat seorang penulis kitab. Mirip memoar atau biografi tentang seorang penulis besar.
***
Cikarang, 16 September 2011
Dimuat di Majalah Sabili edisi Januari 2012
dan Buletin Jejak edisi Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar