Senin, 26 November 2012

Cerpen


Kentut Pemikiran
*Lamunan Seorang Eksistensialis  
Oleh: M Taufan Musonip

Orang-orang pada ribut soal manusia paripurna yang pernah dicetuskan oleh filosof barat bernama Nietzsche. Mereka kini benar-benar tak pernah lagi menengok ke belakang. Maju ke depan dengan langkah sedikit tergesa-gesa.

Slogan ubermensch terpahat di tiap pintu kerja, sebagai pencetus kehendak untuk berkuasa. Apa tidak repot para pemilik pabrik itu?, memiliki anak buah pada mengejar prestasi. Loh, apanya yang repot, mereka justru merasa terbantu memiliki bawahan yang gila prestasi, karena dapat mendongkrak efisiensi dan keuntungan. Kekuasaan memang sebuah magnet, jadi tak perlu dijadikan tabu. Sejauh orang punya kualitas, kekuasaan menjadi keniscayaan.

Tapi, kan mengejar kekuasaan bukan hanya itung-itungan prestasi, ada kehendak untuk menyingkirkan yang lain. Dalam rentang sejarahnya kekuasaan selalu bermuara pada kubangan darah. Ken Arok, Napoleon Bonaparte, Jengis Khan, Alexander, Soeharto, Lenin, Stalin, hingga Castro mereka pendamba kekuasaan, dari jaman yang diliputi selimut darah dengan wajah langit yang dingin.

Kamu pintar. Tapi lebih bijak harusnya kamu mengatakan bahwa karena kehadiran mereka peradaban berkata lain. Dan mereka adalah pencetus peradaban pada masanya. Kamu juga harusnya tahu, peradaban mereka melawan arus kemunafikan, manusia pada dasarnya adalah insting yang ditutupi kekuasaan. Kebenaran adalah kekuasaan. Dan perjalanan kekuasaan dengan linangan darah dan airmata adalah seni kehidupan. Kau paham?

Minggu, 25 November 2012

Cerpen


Langit Retak
Oleh: M Taufan Musonip

Potongan Lukisan: "Tuhan Menciptakan Adam", karya  Michelangelo.
Id. Wikipedia.org
Aku sendiri tak pernah tahu apa yang telah menimpaku. Waktu itu jalanan di kota ini tiba-tiba tak memiliki nama. Buku-buku dibakar begitu saja di jalan-jalan. Para seniman dan kaum terpelajar dikenai hukum bakar. Kaum revolusioner berkehendak kuat menciptakan lupa pada sejarah, mereka adalah pemuja cinta, orang-orang romantik yang merasa dipisahkan dengan para jelata akibat ulah kaum intelektual dan seniman. Untuk bersatu dengan para jelata, dalam keadaan saling menyayangi, mereka rela membangun cinta dengan darah. Dan mereka memulainya dengan menghancurkan gedung-gedung pemerintahan, parlemen, monumen-monumen kota, termasuk menara-menara indah di setiap sudut tempat ibadah, sebagai pertanda bahwa kekuasaan intelektual dan seniman telah tumbang di negeri kami, kekuasaan yang telah membuat bangunan-bangunan itu menjadi penghalang percintaan semesta rakyat sejak masa purba.

Aku masih ingat, para serdadu menyekapku persis seperti binatang, tatkala aku sedang menyusuri jalan bagai menyigi memori menuju lupa. Mereka begitu, karena aku dulu seorang penyair, meski bukan termasuk kalangan penyair masyur, syair-syairku cukup mampu memabukkan kaum urban kota yang jemu pada keadaan negerinya yang sering berkecamuk.

Saat itu aku tengah tersesat, mereka mencopot penunjuk jalan ke berbagai tujuan pelarian. Pelarianku tersekap sebuah sejarah dengan gerak seketika.

Cerpen

Matinya Seekor Anjing
M Taufan Musonip

"Anjing Kepala 2"
di ambil/karya dari lukisanmoses.wordpress.com
Dia mulai menulis tentang seorang pemulung yang  meninggalkan keluarganya pada malam yang meningkup tanpa bintang. Memanggul goni, dengan caping anyaman di kepalanya, memungut  barang apa saja yang mungkin dapat dia jual kepada penadah, sampai dia menemu pagi dengan kabut berembus membasahi kepalanya.

Dadanya berdebar, adakah dia benar­benar dapat menjiwai perjalanan malam yang dilalui tokohnya itu. Dia memang tengah menjadi malam, dengan tanggungan yang lebih berat dari pemanggul goni itu, karena memulung kata­kata, serupa menyelam di luas lautan, mencari mutiara di ceruk karang, di jurang­jurang dalamnya samudera.

Dihisapnya sebatang rokok, sang pemulung terus melangkah dalam pikirannya melewati para peronda, rumah­rumah warga, dengan bayang­bayang perasaan asing. Sang pemulung tak pernah berani bermimpi dapat memiliki rumah. Apalagi menelusuri muasal nasibnya. Hidup memang hadir secara berpasangan, kaya­miskin, langit­bumi, siang­malam, hujan­kemarau, semua jalin berjalin demi mengimani pikiran, dan pikiran adalah langit yang tak dapat dijangkaunya.