Senin, 28 Januari 2013

Esai

http://daxbennington.blogspot.com/2010/04/atheistic-existentialism.html



Pembacaan Teks Sastra, kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme
Oleh: M Taufan Musonip

Kumpulan Esai Kesusastraan dan kekuasaan (Yayasan Arus, 1984) karya Wiratmo Soekito, yang pada tulisan pembukanya menelusuri secara singkat kiprah George Lukacs, dalam gerakan sosialisme yang meneruka jalan kesustraan pada pembacaan atas dua novel Franz Kafka, Der Prozess dan Der Schllos, merupakan imajinasi tentang pergerakan kepahlawanan melawan kekuasaan diktator yang pada satu dasawarsa berikutnya setelah dua novel itu terbit (1930an) muncul di beberapa negara pemerintahan diktatoriat.

Wiratmo berpendapat bahwa pada kenyataannya teks menciptakan universalitas, dalam cahaya pencerahan, sebagaimana teks Sumpah Pemuda membentuk perkumpulan awal membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan seperti halnya pula karya­karya sastra lainnya yang telah memberi inspirasi pergerakan: Karya­karya Muhammad Iqbal yang menginspirasi kemerdekaan Negara Pakistan, atau Novel Uncle Tom Cabin yang memicu perang Saudara.

Berbeda dengan Wiratmo, A Teeuw dalam bukunya Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994)  menyatakan dengan adanya jarak (distance) antara sang kreator dengan pembaca pada budaya teks ketimbang antara pembicara dan hadirin, justru akan membangun pembacaan multitafsir khalayak pembaca. Apa sebenarnya letak perbedaan dari wacana yang disampaikan Wiratmo dengan Teeuw itu? Jika kita memahami bahwa keduanya sebenarnya sedang membicarakan tradisi tulis dengan pertimbangan­pertimbangan kesusastraan.

Sabtu, 19 Januari 2013

Esai

Imaji Ornamen Karya#1 karya Reno Megy Setiawan



Kelahiran Kritikus dalam Tradisi Cetak Karya pantun:
Proyeksi Rencana Penerbitan Buku Besar Pantun (B2P)
Oleh M Taufan Musonip

Rencana Iwan Soekri pendiri Grup Pantun di jejaring Sosial Facebook (http://www.facebook.com/groups/297755106918835/) ---yang sudah menjaring anggota lebih dari 3000 orang itu--- menerbitkan Buku Besar Pantun (B2P), cukup mencengangkan. Pasalnya, rencana tersebut bukan hanya memerlukan biaya cukup besar tapi sejauhmana peluang buku tersebut dapat membuka kesadaran masyarakat pentingnya berpantun, bagi saya pantun  adalah seni bertutur yang mampu menyampaikan  realitas makna sebagaimana adanya. Pantun memang masih tumbuh dalam keseharian kita, sebagian besar diproduksi oleh media virtual (dalam acara komedi di televisi, misalnya), namun di dalamnya kita belum banyak mendapatkan asupan yang baik, sebagaimana pantun nenek moyang yang melahirkan banyak jenis pantun itu, pada akhirnya mengerucut pada satu tujuan yaitu inti sari kehidupan.

Pantun apabila kembali dimunculkan dalam kehidupan sastra dunia, dapat menjadi otokritik yang tepat menghadapi permasalahan dekonstruksi, jaman di mana realitas makna tak pernah sejalan dengan usaha permainan bahasa, kecuali gaung kemerdekaan yang diserahkan kepada pembaca ketika mereka melahirkan banyaknya pandangan atas teks yang memproduksi beragam makna. Dalam pantun realitas makna bukan saja dibenturkan ke dalam usaha permainan bahasa (meminjam istilah Jacques Derrida) terlebih bunyi (rima), namun tetap mempertahankan realitas makna sebagai inti nafas bahasa.

Esai

Komunitas Sastra dan Pembangunan Kekuatan Pribadi Lokal
Oleh: M Taufan Musonip

Pagi-Sore, Karya Hansen Thiam Sun
http://sahabatgallery.wordpress.com/2011/08/
Boleh diartikan kehadiran komunitas dalam eksistensi kesusastraan memberi peluang individu di dalam pembentukan diskursus hasil daripada puncak pencapaian estetika sebagai refleksi perkembangan individu manusia berkaitan dengan kondisi kultur masyarakat.
Komunitas bukan diartikan lagi sebagai budaya komunal masa lalu di mana itu selalu terkait pada isu-isu kesukuan. Pada masa ini komunitas menjadi semacam pembicaraan ekuminisme  dalam arus volkerwanderung manusia lokal kepada hal-hal baru yang dihujamkan kepada arus pemikiran pribadi yang dibentuk oleh tradisinya.
Artinya komunitas yang lahir dari pribadi-pribadi kedaerahan bukan berarti unifikasi kebaruan dan tradisi seperti halnya pentas seni kolaborasi antara gamelan dan musik hip-hop, estetika bagaimanapun adalah ekspresi pribadi yang bermigrasi dari hanya soal tradisi dan modernitas kepada keputusan estetika meski ia berpentas tentang tradisinya sendiri.
Kembali kepada pengertian aktifitas estetik, kepribadian menjadi soal utama ketimbang soal faktual yang menjadi arus hidupnya, komunitas menjadi tempat percakapan bagaimana pribadi- pribadi mengambil jarak atas peristiwa-peristiwa faktual yang hadir, di dalamnya termasuk pembicaraan soal eksistensi budaya tradisi yang tengah di hajar habis-habisan oleh modernitas. Oleh karenanya ---seperti diungkapkan di atas--- kehadiran komunitas harus merangsang individu di dalamnya bagaimana menjadi begitu soliter dari peristiwa faktual.
Di Indonesia, kedaerahan bukan hanya habis terganyang oleh modernitas dalam pengertian globalisasi, akan tetapi juga merupakan ekses kehendak negara dalam upaya mengaburkan soal tradisi secara genotip. Penyebaran masyarakat daerah yang bermigrasi ke daerah lain menjadikan tradisi kehilangan darahnya dalam mempertahankan kepribadian lokal. Ini terjadi bukan hanya pada masa orde baru ketika masa boomingnya transmigrasi membawa dampak jawanisasi di tiap daerah ---seperti istilah rusifikasi atas koloni komunisme Sovyet--- akan tetapi juga terjadi pada masa-masa agresi kerajaan mataram misalnya di tatar sunda, bahasa egaliter orang sunda tergusur oleh adanya undak-unduk basa (tingkatan bahasa) yang membentuk masyarakat kelas.

Sabtu, 12 Januari 2013

Cerita Bersambung, Tanah Edrich (1)


Tanah Edrich
…Namun, bagaimanapun juga jika ia (lelaki) merenungkan Tuhan dalam dirinya tanpa mereferensi pada wanita maka ia merenungkan-Nya dalam bentuk pasif… (Ibnu Arabi).

1
Di ujung jalan sebuah desa, sebagai perantara menuju kaki gunung Manglayang terbentanglah sebuah tanah hijau. Masyarakat menyebutnya sebagai tanah Vervonding, tanah peninggalan tuan tanah Van Erdich zaman kolonialisme belanda, karena terasimilasi oleh bahasa yang membudaya maka tanah tersebut secara turun-temurun berubah nama menjadi Tanah Edrich atau tanah Erik.
Tanah yang subur ini ditanami pohon-pohon perkebunan seperti kebun karet, dan tanaman palawija, saking suburnya tanah ini mengandung mitos yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat tinggal Nyai Dasima. Masyarakat setempat meyakini Nyai Dasima Tinggal di sebuah pohon beringin, sebuah pohon besar yang hampir menutupi tampak muka perkebunan itu.
Girl with a Pearl Earring oleh Jan Vermeer
Legenda Nyai Dasima diceritakan sebagai seorang pembantu rumah tangga, yang dengan kecantikannya berhasil memesona sang tuan tanah. Mereka melakukan skandal seksual yang membuat Nyai Dasima mengandung anak haram. Berita itu pada akhirnya menyebar dan sampai kepada Istri Van Edrich. Michelle Istri Edrich histeris bukan main, dan menghendaki agar Dasima diusir saja dari desa itu. Michelle berhasil mereduksi skandal tersebut menjadi sebuah konflik masyarakat, ia melakukan siasat dengan Sutami kekasih Dasima yang merasa terkhianati cintanya, dengan melaporkan skandal itu pada Kyai Usman.

Esai


Lokalitas dan Pemihakan Terhadap Orang-orang Terekslusi
Oleh: M Taufan Musonip

Modernitas menempatkan posisi kota dan desa bukan lagi semata-mata persoalan geografis. Sejatinya telah terjadi invasi modernitas secara membabi buta, melepaskan batas-batas itu. Orang-orang kota yang memegang kekuatan ekonomi, toh bisa merencanakan lanskap modernitas bahkan di pelosok desa.

Orang-orang desa bahkan sedang terdistorsi budayanya dari serangan distribusi produksi, industrialisasi, hingga rencana perkotaan mandiri. Prilaku materialistis menular begitu saja. Mereka dipaksa untuk menjangkau gaya hidup perkotaan yang menerjangnya. Sementara lahan pekerjaan yang dahulu tercermin dalam kebiasaan bercocok tanam, misalnya, sudah sedemikian tergerus.

Dalam keadaan itu, mereka kemudian merasa harus memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara orang kota, tapi selalu menjadi pertanda marjinalisasi bagi laku gerak modernitas.

Maka pada kenyataannya perkara kedaerahan bukan lagi persoalan asal muasal, tapi merupakan sebuah pilihan ketika orang mulai mencari tempat yang tepat untuk melangsungkan hidupnya saat ia harus mencoba peruntungan di luar kampungnya.

Lalu bagaimana mempertahankan kedaerahan itu mengikuti irama modernitas? Para sastrawan, hendak melakukannya dengan menguak kembali memori prilaku masyarakat kampungnya, menghadirkan simbolisasi mitologis tradisi dalam teroka kekinian.

Esai

"Mohamad Ali" Karya Andy Warhol

Hikmah Tragedi
Oleh M Taufan Musonip

Saya pikir bukanlah filsafat jika ia benderang. Memang pusatnya pada pikiran, tapi pikiran dilatih di dalamnya untuk mengetahui batas-batas yang tak bisa terjamah oleh pikiran. Itulah mengapa semua buku filsafat selalu mengurut dahi, ia pada akhirnya mitos pula.

Maka nalar dipertanyakan jika ia hanya mampu menelusuri garis-garis yang dapat dipikirkan. Nalar mendapat kritiknya, sejak Lacan menemukan istilah Psychedelica, para intelektual meyakini ada sesuatu yang lebih eksotis ketimbang apa yang hanya bisa kita lihat.

Maka akhir dari strukturalisme adalah munculnya koordinat cartesian, sebuah momentum di mana sejarah mengalami keterputusan (diskontinuitas), orang-orang mulai meyakini sesuatu di luar nalar. Intelektual dalam garis strukturalisme yang memautkan formalisme mendapat tantangannya. Filsafat di sini mengambil peran sebagai garda depan menunjukan para pemikir pada lorong gelap yang belum terjamah. Sesuatu yang benderang ditarik ke arah gelap, sesuatu yang berbicara tentang kematian itu, tentang sebuah kehendak mengetahui segala sesuatu memerlukan pembinasaan diri, seperti dikatakan oleh Foucault.

Atribut itu bermuara pada ciri berada manusia yang hendak aktual, maka waktu menjadi memiliki gambaran tersendiri, mekanisme sebagai titik yang merentang antara perputaran waktu didekontruksi menjadi waktu mengada. Maka dalam sejarahnya formalisme selalu memautkan pekerja-pekerja yang menyerah oleh waktu mekanis ketimbang pekerja-pekerja yang berkuasa atas waktu.

Pembinasaan diri dalam rentang waktu mengada, bukan berarti hanya berbicara mengenai yang diperlukan setelah mati. Tetapi menjadi semacam tumbukan yang bergerak dua sisi: keabadian dan kehendak berkuasa atas dunia.

Perlu digaris bawahi di sini, keabadian dan kehendak berkuasa bukanlah kehendak konservatisme terhadap keadaan. Keabadian dan kehendak berkuasa akan menjadi bola panas yang menggelinding ke arah strukturalisme. Menjadi semacam tragedi, sesuatu yang paling diingat dalam rentang sejarah kehidupan manusia.

Strukturalisme akan selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mengagungkan keabadian dan kehendak berkuasa, di sana digelindingkannya bola panas untuk melibas segala keteraturan yang ada. Bagai momentum retakan: bisa jadi revolusi atau perubahan secara bertahap.

Untuk melalui jalan terjal itu diperlukan pengertian terhadap sesuatu yang berada diluar nalar menghantam segala lanskap formalisme.

Esai



Mengenang Miles Davis Karya Rebeca Bessette dan Victor Pross
Lukisan diambil dari http://riskyrock666.blogspot.com/2011/06/5-lukisan-terkenal-bertema-musik.html

Kecemasan dan Penderitaan yang Menciptakan Kebaruan
Oleh: M Taufan

Segala sesuatu tercerai berai;
Pusatnya tak mampu menahan;
Hanya anarki yang lepas ke dunia
(WB Yeats, “The Second Coming”)

Kecemasan menurut Heidegger adalah pertanda jiwa kreatif. Ia adalah sesuatu yang tak dapat di terka muasalnya. Angst (kecemasan) berimplikasi pada kehendak untuk berkuasa, yang bagi Nietzsche bermula dari ketakutan dan kegelisahan.

Bagi saya ketiganya bermotif ghaib. Heidegger sendiri dengan lantang menyebut Nietzsche sebagai orang metafisika. Angst, Ketakutan dan kegelisahan pertanda adanya the other atau kelianan yang disengaja. Schacht membedakannya dengan posisi kelianan Hegel, dalam istilah Hegel kelianan adalah menembusnya individu ke dalam subtansi sosial yang ada dalam kehidupannya.

Motif kelianan Hegel adalah konservatif terhadap keadaan yang menindas, oleh karenanya Banyak sekali mendapatkan kritik oleh para filsuf belakangan. Sementara Angst ---sebagaimana ketakutan dan kegelisahannya Nietzsche--- semacam bisikan untuk menciptakan kebaruan, sebuah penderitaan yang diamini.

Bagi Nietzsce kehidupan tak lain adalah perjalanan dalam seutas tali yang dibentangkan pada dua tebing jurang,  penuh bahaya, suatu keadaan yang tak mungkin bisa memilih diam atau melangkah mundur. Bedanya Nietzsche tak mengamini kebaruan, ia seolah berkutat dalam kepercayaan sirkular “pengulangan abadi” sehingga sama sekali tidak progresif.

Sunardi membedakan tiga cara mengada manusia, ia adalah sein (ada), seinde (adaan) dan zu sein (to be). Pengulangan Abadi seperti digulirkan Nietzsche berpusat pada to be atau zu sein. Segala sesuatu bukanlah lagi ada tetapi adalah, maka ia memerlukan definisi, untuk memadah eksistensi maknawi (adaan) guna mempertimbangkan fungsi. Sementara Heideger memusatkan jiwa kreatifnya pada sein yang merujuk pada arche: kepemimpinan dalam filsafat untuk mendorong orang memusatkan diri pada kualitas pengalaman.

Kembali mengutip Sunardi bahwa semua gejala moral, keagamaan termasuk pengetahuan adalah semacam adanya kehendak untuk berkuasa dalam pengertian Filsafat Nietzschean yang bermula pada adanya kegiatan menafsir dan menilai seperti yang dilakukan Nietzsche sendiri dalam penilaian kembali semua nilai, maka kehendak berkuasa tak pernah lepas dari unsur ghaibnya sendiri.

Heidegger berusaha mentransformasi unsur ghaib dalam kecemasan (angst) pengasingan kepada sebuah eksistensi yang merdeka.

Esai


Seni dalam Tiga Dimensi Epistemologi
Oleh: M Taufan Musonip

gis.com.qa
“Seni adalah sebuah tanda eksistensi manusia. Maka bila manusia tak dapat memahami seni, ia tak memiliki jiwa kemanusiaanya, cenderung mendekati jiwa kebinatangannya”.  Kutipan tersebut adalah sintesa yang terkandung dalam sebuah cerpen berjudul Zingiber (HU Pikiran Rakyat, 3 mei 2008) , sebuah cerpen yang menggambarkan seni sebagai simbol yang mengandung makna yang dapat ditelisik dan diciptakan oleh penikmat atau pelaku seni.
Jika sintesa tetang seni sedemikian mempengaruhi kejiwaan manusia, maka seni merupakan satu media yang tak bisa direndahkan di antara sub bidang keilmuan lainnya. Oleh karena seni adalah jiwa manusia, maka eksistensinya dapat memberi penerang eksistensi sub bidang keilmuan lainnya. Mungkin kita sering mendengar ungkapan-ungkapan yang menggandeng seni dengan aktifitas keilmuan lainnya seperti seni perpolitikan, seni desain dan teknologi, hingga seni beragama.
Jika seni sebagai objek yang menjelaskan eksistensi kemanusiaan, maka paradigma kita melihat seni perlu dikaji ulang. Ini merupakan satu tesis  yang menyatakan seni dapat bergeser tergantung siapa yang mengerjakan objek seni, artinya apakah eksistensi seni itu hanya berakhir pada kedirian si pelaku seni atau dapat menembus batas eksistensi dan kedirian pelaku seni. Jika seni hanya berakhir pada kedirian si pelaku, maaf, maka seni baru bersifat memaknai sifat kebinatangan si pelaku. Seni sering dibatasi oleh sifat-sifat egosentrik si pelaku, karena jika tidak, maka hilanglah sifat ke-adiluhungan suatu karya seni, seni sering hanya dapat dibaca oleh kalangan yang mengerti seni itu sendiri.
Identifikasi manusia yang tak dapat mengerti arti sebuah seni yang dibuat si pelaku, adalah dampak kungkungan egosentris terhadap karya seni yang dibuat. Dalam hal ini muncullah dikotomi seni rakyat dan seni adiluhung. Seni yang dapat dimengerti oleh banyak orang dan seni yang hanya dimengerti oleh beberapa orang.
Namun jangan dulu miris terhadap kata sifat kebinatangan yang tertuang dalam sebuah karya seni, karena pada dasarnya seni adalah sifat duniawi. Sebuah makna yang disebut Nietzsche sebagai semangat Apolonian, yaitu upaya penggambaran dunia yang absurd, immoral, Nafsu hingga dendam. Banyak karya seni yang memuat hal ini, seperti bangunan piramida di mesir, taman gantung di Mesopotamia dan banyak lagi yang gambarannya hanya dapat dimengerti oleh beberapa orang yang mengerti esensi seni sekaligus sebagai sebuah ciri eksistensi kebesaran satu komunitas manusia. Bukankah manusia itu memendam sifat kebinatangan?

Esai


Masyarakat Air
Oleh: M Taufan Musonip


I
“Tenang dasar lautku: siapa bisa menduga bahwa ia menyembunyikan moster-moster sportif”(Also Sprach Zarathustra, F. Nietzsche).

Seperti kita ketahui air sangat bermanfaat bagi kehidupan kita, ia menyuburkan tanah hingga tetanaman tumbuh sebagai pemuas kebutuhan mahluk hidup dan menjadi salah satu penyebab hidupnya rantai ekosistem.
Arnold Toynbee menyebut sumber air dan alirannya (sungai), adalah merupakan latar berlangsungnya drama sejarah, dimana berbagai peradaban mulai tercipta. Peradaban Mesir lahir di dekat sungai Nil, begitupula dengan peradaban Sumero-Akadia (Armenia?) besar karena aliran sungai Tigris dan Euphrat, sementara Cina oleh sungai Kuning…. Aliran Air (sungai) adalah media transportasi memadai bagi umat manusia, agar ekspansi kekuasaannya centang perenang dapat mengekploitasi alam lebih jauh.
Starry Night Karya Van Gogh
Kerajaan Fir’aun dapat mengusai lembah Nil yang dulu dikungkung oleh mitologi Dewa Isis, karena menguasai aliran sungai Nil, dan menambah cerita legenda tentang kemenangan dewa Osiris atas Isis. Dan kehancurannya, tak pelak adalah melibatkan “kekuasaan” air, orang-orang Libya menyerang melalui laut merah, sementara Fir’aun Luluh lantak tenggelam oleh kesaktian Musa AS, ketika melakukan urbanisasi besar-besaran bangsa Israel menuju Palestina.
Orang-orang Eleatik Yunani meyakini mitos bahwa Air adalah simbol kekuasaan bijak sang Ayah (langit) terhadap Ibu (Alam), karena diakui sebagai energi lahirnya mahluk hidup yang produktif. Di China kita mengenal Bodhisatwa (ayah) atas Kwan-Im (Ibu) dalam ajaran Mahayana yang terakulturasi, sementara orang Yunani menyembah Zeus dan Elea.
Dalam buku Filsafat Sejarah Karya GWF Hegel, air laut (pesisir pantai) digambarkan sebagai puncak peradaban termaju ketimbang daratan Tinggi dan daerah berlembah, ia mengatakan: “siapa yang menguasai laut, ia akan lebih dulu maju”

Esai


Arti Mitologi Bagi Kretivitas Kita
Oleh: M Taufan Musonip

1
GWF HEGEL
Membaca Filsafat Sejarah Karya Hegel, membuat miris hati saja! belum saja lengkap membaca sampai satu bukunya, terlintas dalam pikiran dan benak saya untuk membenarkan apa yang pernah menjadi pemikiran Karl Marx: sebagai pondasi Das Kapitalnya.
Membuka kembali wacana pemikiran Hegel mungkin sudah ketinggalan zaman, sebab kita tahu dizaman kontemporer ini filsafat seolah sudah memihak kepada diskursus (yang melampaui Marxisme) relativisme moral dan kekuatan Pribadi. Para filsuf sudah banyak membicarakan tentang ketergantungan terhadap diri pribadi, dan sudah hampir melepaskan cengkraman “Tuhan”.
Kini pewacanaan semakin tertarik pada pemikiran Nietzsche ketimbang imanuel Kant, semakin penasaran kepada Muhammad Iqbal ketimbang Al Ghazali. Ini membuktikan bahwa pengaruh memanasnya Globalisasi memaksa orang untuk berpikir kekuatan pribadi ketimbang kekuatan kolektif.
Sebetulnya tak demikian dengan Hegel, dalam karyanya ia seolah mengatakan apa yang diharapkan para modernis, bahwa Agama “ada” demi kekuatan pribadi, berdasarkan Genealogis dan kondisi Alam.
Kebebasan-subjektif yang menjadi cita-cita Hegel, adalah sebuah kesadaran Agama tanpa paksaan dan tidak terejawantah dalam politik kekuasaan yang menindas suatu bangsa: demi melanggengkan kekuasaannya Agama dibuat menjadi seolah merupakan kebenaran universal yang memaksa.
Yang menjadi fenomenal dalam pemikiran Hegel adalah ketika Agama bukan lagi disebutkan sebagai kebenaran universal, akan tetapi ia menyebutnya sebagai kebenaran-pribadi. Konsep pemikiran tentang kebenaran-pribadi terhadap identifikasi agama menurutnya baru dimiliki oleh orang barat yang menyadari bahwa roh adalah sebuah kesadaran pemikiran yang menyebabkan masyarakatnya menjadi maju dan terdepan ketimbang masyarakat dunia lain. Disini Hegel terpengaruh oleh pemikiran Yunani tepatnya para idealis (Plato, Sokrates dan Aristoteles), bahwa roh adalah ide, adalah pemikiran, adalah rasional, dengan demikian bersifat individual.

Selasa, 08 Januari 2013

Cerpen

www.motoyuk.com

Dua Surat Kyai Arkeman
Oleh: M Taufan Musonip



Di sebuah lembah  seseorang telah membangun kembali gubuknya. Diagungkannya kesunyian, diserahkan bahasanya pada semesta. Dua ekor harimau sumatera menghampirinya, mengelilingi gubuk yang baru selesai dibangun, seperti dua orang peziarah yang tengah memutari  nisan ka'bah.
Dia lelaki yang telah dikalahkan.
***

Sehabis ternak-­ternak penduduk banyak yang mati karena kawanan harimau menggelandang di desa mereka. Sesudah babi­-babi hutan menghantui pesawahan dan perkebunan penduduk. Dan Lembah Dingin mengigil karena dibakar ambisi, dua orang utusan datang secara bersamaan di hadapan Kyai Arkeman.

Kyai Arkeman, sedang tergolek sakit pada sebuah dipan di ruangan terbuka menghadap punggung sebuah gunung. Salah seorang dari mereka adalah utusan Lurah Matkadi. Sementara seorang lainnya adalah bawahan Hasnan seorang pengusaha sawit.

“Saya hendak mengabarkan bahwa Pak Matkadi, tengah mengidap penyakit aneh. Tubuh beliau sering menggigil, seperti sedang tersurup jin, dia sering mengigau dalam keadaan pinsan. Saya datang ke sini, karena beliau sering menyebut Kyai.”

Arkeman yang tengah menderita sakit, hanya mengalihkan tatapnya pada seorang yang lain. 

“Pak Hasnan juga demikian, Pak Kyai. Sering menyebut­nyebut anda dalam sakitnya.”

Kyai Arkeman memerintahkan pembantunya, membawakan tasbih kayu cendana. Berzikirlah dia dibalik butir­butir cendana itu. Dalam zikirnya sekali­kali disebut nama Partodi  penghuni Lembah Dingin.

“Kalian, memintalah maaf pada Allah, azab telah datang melalui si bisu, Partodi.”

Kedua utusan itu pergi dengan langkah sepi tanpa dapat mengerti apa yang telah disampaikan Kyai Arkeman. Kecuali merekamnya dalam kepala mereka, untuk segera disampaikan pada para pengutus.

Cerpen


Tiga Kesunyian Menuju Sebuah Toko Kue
Oleh: M Taufan Musonip


Gerimis adalah kumpulan tangisan kesunyian

Angle of Death, diambil dari klaudani.com
Di setiap lubang jendela rumah, drama itu diperlihatkan, dengan mata seorang anak yang selalu mengintip di ambangnya. Awan menghitam menghimpun kesunyian yang meratap. Angin memendarkannya menjadi titik-titik air hujan dari langit.

Ini kesepian yang berulang baginya. Ayahnya pergi ke sebuah kota beberapa tahun yang lalu untuk bekerja. Sementara itu ibunya bertugas sebagai petugas loket bus antar kota, sudah pergi sejak pukul enam pagi tadi. Gerimis telah membuat rumahnya begitu sepi, dia menatap langit di ambang jendela seperti anak-anak lainnya.

Tapi pagi itu ia harus pergi menyusuri jalananan yang basah dengan mengenakan jas hujannya. Dia merasa harus mengisi perutnya dengan sepotong roti, sebelum bis jemputan sekolah menjemputnya pada pukul sembilan di sebuah shelter tak jauh dari toko kue itu. Langkah kecil itu mulai menyusuri jalan, kecipak air membuat tubuhnya seperti melayang. Biasanya setiap pagi seorang pembantu mengantarkannya sampai ke shelter. Tapi sampai dia memutuskan untuk pergi ke toko kue sendiri, pembantunya belum juga datang.

Kendaraan yang melintas di jalanan cukup lengang. Dia melihat malaikat kecil bersayap bertengger di sebuah atap gedung, sesekali melayang berbegar di langit. Orang-orang dewasa berjalan di trotoar dengan langkah yang lambat. Ketika dia harus menyeberang, malaikat kecil itu hinggap disebuah tiang nama jalan dekat toko kue di mana ia harus membeli rotinya.

Minggu, 06 Januari 2013

Esai


Menciptakan Tradisi Keberaksaraan dalam Akar Budaya Kritik
Oleh M Taufan Musonip

Keberaksaraan merupakan ciri berwujudnya eksistensi manusia. A Teeuw membedakan kesadaran keberaksaraan dengan tradisi lisan dalam bukunya Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan yang pada awalnya menelisik sebuah pidato Presiden 1988, diperdengarkan dalam berbagai media massa elektronik. Meski sebenarnya pada saat itu Sang Presiden membacakan naskah tertulis, pembacaan secara verbal memungkinkan orang memiliki pandangan yang sama terhadap isi pidato tersebut. Hal ini bagi A Teeuw karena dalam bahasa verbal ditemukan istilah formulaik yang menjadikan adanya penekanan beberapa kalimat ­­­semacam ilmu retorika­­­  memunculkan pesona dan kharisma seorang pembaca pidato.

Formulaik, sebagaimana istilah Teeuw, juga merujuk pada naskah­naskah Yunani Kuno yang dipertunjukan dalam sandiwara kisah Illiad dan Odissey, dibawakan oleh Homerus si buta. Persoalan ada atau tidak adanya naskah dua lakon itu secara tertulis menjadi bukan kajian penting, yang terpenting adalah ketika Homerus, mempertontonkan lakon tersebut dengan berbagai gaya pertunjukan. Dalam bahasa verbal istilah formulaik merupakan upaya menarik minat para pendengar atau penonton, yang karenanya si pembicara mendapatkan pesona, mengalahkan kekuatan teks yang di sampaikannya.

Di Indonesia tingkat keberaksaraan tak dapat dipantau dari aktifitas penerbitan buku atau media massa. Meski kita telah meyakini adanya minat baca yang rendah pada kehidupan kita, toh buku­buku tetap banyak diterbitkan, buletin­buletin kajian agama masih banyak tersebar di masjid­masjid, penggalian berbagai kitab dalam komunitas agama tertentu masih berlangsung. Para sastrawan meskipun sulit menembus penerbit besar tetap saja menerbitkan bukunya secara indi. Jadi dari manakah kita dapat memantau rendahnya minat baca masyarakat Indonesia?

Esai

Membaca Buku A Teeuw dan Sedikit tentang Kenyataan yang Terjadi pada Perkembangan Kesusastraan di Indonesia
Oleh: M Taufan Musonip

Sejatinya buku­buku karya A Teeuw (w. 2012) perlu mendapatkan perhatian publik sastra terkini, mengingat karyanya begitu berjasa bagi eksistensi dan perkembangan Sastra Indonesia. Karangan besarnya memautkan judul­-judul seperti Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Modern (1952), Tergantung pada Kata (1980), Khazanah Sastra Indonesia (1982) dll. Semua judul­-judul tersebut hingga kini sulit di dapatkan, karena tak pernah di cetak ulang.

Seperti halnya buku Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994) yang secara tak sengaja saya dapatkan pada sebuah perpustakaan kecil di tempat saya bermukim ­­­sebuah kota industri dengan berbagai kesulitan menjangkau perpustakaan di mana jumlah buku kesusastraan di dalamnya masih cukup memprihatinkan. Kehadirannya hingga sekarang yang telah berusia lebih dari dua windu membuat halaman­-halaman kertasnya nampak kekuning-­kuningan, oleh karenanya mata saya kurang nyaman membacanya. Meski susah payah dengan ketidaknyamanan itu, perlahan­-lahan saya dapat menikmati isinya.

Buku itu membuka kembali kesadaran bangsa Indonesia pentingnya budaya baca. Namun selancar Teeuw terhadap budaya baca masyarakat Indonesia naik pada persoalan perkembangan sastra Indonesia, dengannya ia membicarakan karya­karya tertulis yang cukup mendapat perhatian pembaca Indonesia.


Esai

"Mick Jagger" Karya Andy Warhol

Super Reader dan Konvensi Sastra
Oleh M Taufan Musonip

Adakah ukuran yang membuat karya sastra berkualitas? Dan bagaimana karya sastra yang berkualitas itu? Sebenarnya kualitas sastra dipengaruhi oleh pembacaannya. Nilai yang dibentuk pembacaan membentuk semacam konvensi. Konvensi itu sifatnya harus beragam, oleh karenanya saling bertanding dan menyempurnakan. Pada konvensi apakah karya sastra Indonesia digantungkan kualitasnya? Mungkin bisa dibilang salah satu konvensi yang ajeg sampai saat ini adalah sastra koran, skema pemuatan karya ditentukan oleh seleksi yang dilakukan oleh redaksi yang diistilahkan Riffatere sebagai super reader, di dalamnya proses pembacaan dilatar belakangi oleh pemahaman keilmuan untuk menentukan sebuah karya layak dibaca.

Persoalannya, apakah konvensi yang dipegang oleh super reader itu bersifat sejenis atau memiliki perangkat lain, memungkinkan dapat mempertimbangkan konvensi lainnya. Dalam sejarahnya konvensi­konvensi kesusastraan mengalami perkembangan melalui pertentangan yang saling menyempurnakan. Sebuah karya muncul sebagai bentuk semiotika, yang berhadapan dengan semesta sebagai sumber gagasan seorang penulis, penulisnya sendiri, dan pembaca (Abrams, dalam Teeuw 1984). Tiga sudut pandang itu melahirkan mahzab­mahzab pembacaan, yang pertama adalah objektifisme, pembacaan berpusat pada karya, di sini kemudian berkembang kritik berhaluan formalis strukturalisme yang lahir di Rusia, salah satu perintisnya adalah Jakobson hingga New Critisism di AS.

Kedua, pembacaan yang berpusat pada pembaca sering disebut sebagai mahzab pragmatisme, perkembangan di dalamnya memautkan haluan­haluan seperti efek dan resepsionisme, sejarah sastra hingga dekonstruksi. Selanjutnya adalah mahzab pembacaan yang berpusat pada semesta, dipengaruhi oleh istilah mimetik Aristoteles, yang menganggap sebuah karya adalah cermin dari peristiwa dalam dunia nyata, ini banyak sekali dianut oleh kaum marxisme. Dan yang terakhir adalah ekspresif, pembacaan yang berpusat pada penulisnya.

Keempat mahzab itu saling bertentangan, bahkan terjadi dalam mahzab yang sama. Pertentangan itu kenyataannya menghasilkan berbagai macam cara pembacaan, hingga ke tingkat paling mutakhir.

Sabtu, 05 Januari 2013

Esai


Buku Cetak dan Kelisanan Kita
Oleh M Taufan Musonip

Gambar diambil dari
http://blogpendidikanbahasa.blogspot.com/search/label/Kesastraan
Esai Bandung Mawardi di Koran Tempo (Berumah di Buku, 8 Januari 2012) merupakan kekhawatirannya menyikapi surutnya tradisi cetak yang belakangan ini dipengaruhi oleh eforia teknologi informasi. Teknologi informasi menawarkan kemudahan pada pembaca dapat mengakses sebanyak-banyaknya informasi mengenai apa saja yang dibutuhkan. Meski begitu kegelisahan Bandung cukup ironis di tengah membanjirnya penerbitan buku cetak yang dilakukan secara indi oleh para penulis. Saya tidak sedang membicarakan hubungan antara kualitas penulisan dengan menjamurnya buku-buku indi menengarai bahwa tanpa bicara kualitas, siapapun bisa menerbitkan buku asalkan memiliki dana dan waktu cukup  memungkinkan sebuah buku dapat diterima luas oleh khalayak pembaca, toh beberapa penulis tetap mengeluhkan penjualan buku mereka yang berjalan secara koprol.

Yang perlu disikapi kenyataannya, terbitnya buku mau tidak mau berhadapan dengan pasar, tempat dimana sebuah karya dituntut memiliki nilai preferensi seperti belakangan dirintis kaum neuroekonomi  di kalangan ekonom Amerika, kemudian menjadi dasar sebuah karya layak dimiliki pembaca. Neuroekonomi dirintis oleh Paul Glimcher (Bukunya, Foundation of Economics Analisis), yang mengilustrasikan pararelitas otak manusia dengan teknologi komputer dalam kegiatan transaksi, menawarkan kecepatan aksesibilitas terhadap berbagai wacana sebelum pembaca memutuskan membeli sebuah buku. Aksesibilitas tersebut memungkinkan munculnya semacam arus probabilitas dalam otak manusia, sejauhmana sebuah buku dapat memperluas kesempatan seorang pembaca meraih kebahagiaannya.