Arti Mitologi Bagi Kretivitas Kita
Oleh: M Taufan Musonip
1
GWF HEGEL |
Membaca Filsafat Sejarah Karya Hegel, membuat miris hati
saja! belum saja lengkap membaca sampai satu bukunya, terlintas dalam pikiran
dan benak saya untuk membenarkan apa yang pernah menjadi pemikiran Karl Marx: sebagai pondasi Das Kapitalnya.
Membuka kembali wacana pemikiran Hegel mungkin sudah
ketinggalan zaman, sebab kita tahu dizaman kontemporer ini filsafat seolah
sudah memihak kepada diskursus (yang melampaui Marxisme) relativisme moral dan
kekuatan Pribadi. Para filsuf sudah banyak
membicarakan tentang ketergantungan terhadap diri pribadi, dan sudah hampir
melepaskan cengkraman “Tuhan”.
Kini pewacanaan semakin tertarik pada pemikiran Nietzsche
ketimbang imanuel Kant, semakin penasaran kepada Muhammad Iqbal ketimbang Al Ghazali.
Ini membuktikan bahwa pengaruh memanasnya Globalisasi memaksa orang untuk
berpikir kekuatan pribadi ketimbang kekuatan kolektif.
Sebetulnya tak demikian dengan Hegel, dalam karyanya ia
seolah mengatakan apa yang diharapkan para modernis, bahwa Agama “ada” demi
kekuatan pribadi, berdasarkan Genealogis dan kondisi Alam.
Kebebasan-subjektif
yang menjadi cita-cita Hegel, adalah sebuah kesadaran Agama tanpa paksaan dan
tidak terejawantah dalam politik kekuasaan yang menindas suatu bangsa: demi
melanggengkan kekuasaannya Agama dibuat menjadi seolah merupakan kebenaran
universal yang memaksa.
Yang menjadi fenomenal dalam pemikiran Hegel adalah ketika
Agama bukan lagi disebutkan sebagai kebenaran universal, akan tetapi ia
menyebutnya sebagai kebenaran-pribadi. Konsep pemikiran tentang
kebenaran-pribadi terhadap identifikasi agama menurutnya baru dimiliki oleh
orang barat yang menyadari bahwa roh adalah sebuah kesadaran pemikiran yang
menyebabkan masyarakatnya menjadi maju dan terdepan ketimbang masyarakat dunia
lain. Disini Hegel terpengaruh oleh pemikiran Yunani tepatnya para idealis
(Plato, Sokrates dan Aristoteles), bahwa roh adalah ide, adalah pemikiran,
adalah rasional, dengan demikian bersifat individual.
Orang timur, menganggap Agama, baru sebagai kebenaran universal
merupakan akibat dari kondisi alamnya yang mendukung pengertian roh sebagai
penampakan spiritual mirip mimpi. Orang-orang timur notabene menduduki daerah
subur, lebih berpotensi menciptakan sistem pemerintahan despotik seperti yang terjadi dalam sejarah China massa
kepercayaan terhadap kitab Shu-King dan Konfusian, atau di India masa berkembangnyanya
kepercayaan Hindu. Daerah Subur menjadi penyebab terjadinya silang sengketa
tanah, mereka yang memenangkan pertarungan menjadi sosok penguasa, lalu menjadi
karakter individu yang diyakini sebagai ‘dipercayai Tuhan’, mengurus umatnya.
Namun, Hegel dalam hal ini tak dapat membantah bahwa awal
mula peradaban justru dimulai dari timur dan pusat berkembangnya berada di
barat, Agama dibarat semakin mengekspresikan kebebasan subjektif, dengan
gambarannya yang hidup tanpa paksaan, sebagaimana tercermin dalam politik
kekuasaan despotik.
2
“ Matahari fajar Terbit Ditimur dan
berakhir di barat dengan bentuk terbarunya” (Hegel,
Filsafat Sejarah)
Pondasi bagi kreatifitas orang barat, telah menjadikan Agama
dalam bentuk kekuatannya, meskipun kita melihat prilaku sekularis mereka
terhadap pengertian Agama. Kita tidak melihat Agama di Timur dalam bentuk
kesetiaannya, menjadikan penganutnya bangsa yang dinamis dalam menghadapi alam,
sehingga lebih cerdas.
Hegel ada benarnya, pemahaman rasionalisme terhadap Agama di
timur belum keluar menjadi kebebasan subjektif yang menjanjikan kreatifitas.
Alangkah terkungkungnya dalam pengertian subtansial-individu, Agama hadir
ditimur dalam bentuk Legenda dan mitos-mitos.
3
“ sejarah
adalah prosa dan Mite bukan termasuk didalamnya, karena pembahasan unsur
religius ditelusuri dengan kerja rasional kita, maka mite bukan bagian dari
sejarah” (Hegel, Filsafat
Sejarah).
Padahal mitos dan legenda adalah milik karya besar bangsa
kita. Kalau tidak dimanfaatkan dengan cita-cita kesadaran kreatifitas
masyarakat secara umum, maka legenda dan mitos tak lebih dari cerita karat tak
bermakna.
Kreatifitas sebagai titik balik pemahaman mitos dan legenda
di Indonesia
baru dimiliki oleh para kapitalis yang dengan dangkal memanfaatkannya sebagai
konsumsi masyarakat (terlebih remaja), untuk sekedar mengeruk kekayaan
sebanyak-banyaknya, hal ini dicitrakan dengan hadirnya film-sinetron berbau
legenda dan mitos, seakan tak lagi mampu melawan tesis Hegel diatas.
Adalah bukan hal yang tepat membabad perkara mitos dan
legenda sebagai mainstream budaya ketimuran demi tegaknya budaya rasional kaku.
Legenda dan mitos harus eksis sebagai alat pencapaian intelektual itu sendiri,
sekedar memberi pencerahan baru bahwa apa yang diujar Hegel tentang negasi
mitos dan legenda tidak sepenuhnya benar.
Kata kunci yang tepat, bagi kelayakan kedua unsur yang
dibicarakan diatas adalah dengan pembuktian bahwa ia merupakan bentuk estetika
religius yang mengcover moralitas bangsa.
Akan tetapi kalau ia hanya mencitrakan moralitas belaka
tanpa bentuk kekuatan sejatinya, itu belum layak melawan pemikiran barat.
Legenda dan Mitos harus hadir melegitimasi bentuk kekuatan manusia.
4
Legenda dan Mitos Hadir bukan tanpa penciptanya, di Timur,
mungkin legenda sebagian banyak tak menemukan siapa penciptanya. Pencipta
legenda dan mitos adalah simbol adanya sebuah kreatifitas, walau kini hanya
bisa disiasati sebagai bentuk pencerahan moral belaka. Akan tetapi kalau sudah
begini kita tak bisa memungkiri bahwa legenda adalah unsur estetik religius.
Nilai estetika legenda dan mitos, bisa disikapi lebih lanjut
dengan recoveri jalan cerita, dengan memberi ruang pendidikan kreatif baik bagi
mereka yang menciptakan bentuk cerita mitos baru tanpa merubah sketsa
tradisinya, ataupun penikmatnya.
Pengarang Sunda seperti
Godi Suwarna, Hadi AKS, dan pengarang lainnya dalam sejumlah cerpennya mencoba
melakukan pembaharuan jalan cerita dengan memasukan unsur pendidikan kreatif
dan intelektual menjadi bentuknya yang paling mewakili pemikiran kontemporer
saat ini.
Diceritakan misalnya dalam sebuah cerpen “kalangkang Budah”
(bayang-bayang Buih) Godi dengan kreatif membangun sebuah cerita mitologi
dengan menggabungkan mitologi sangkuriang dengan Oddipus (Yunani), al hasil ia
dengan cerdas membuka imaji baru dongeng sebagai sebuah satir orang-orang timur
yang pada akhirnya menyerah pada pemikiran Barat: Sangkuriang yang geram akan
keadilan ilahi yang tidak memihak dirinya1, akhirnya mengikuti
kepergian Oddipus yang lebih beruntung, meskipun Oddipus pernah melakukan dosa,
sama persis seperti Sangkuriang.
Kalau saja cerita-cerita seperti misalnya cerpen yang dibuat
Hadi AKS --- mengenai mitos Nyi Siti
Munigar yang dipercaya oleh orang-orang pesisir, menjadi penyebab telusuran
perkara penindasan seorang suami terhadap istrinya, atau dalam cerita yang lain
tentang konflik sengketa tanah --- banyak dinikmati kaum remaja dan bangsa
Indonesia, maka mitologi seperti pernah di usahakan Sophocles di yunani akan membantu
kasadaran intelektual dan pentingnya kreatifitas sebuah bangsa2.
****
C A T A TA N K A K I
1. Cerpen Godi Suwarna: “Murang-maring”.
2. Cerpen Hadi AKS: “Oknum”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar