Sabtu, 12 Januari 2013

Esai


Arti Mitologi Bagi Kretivitas Kita
Oleh: M Taufan Musonip

1
GWF HEGEL
Membaca Filsafat Sejarah Karya Hegel, membuat miris hati saja! belum saja lengkap membaca sampai satu bukunya, terlintas dalam pikiran dan benak saya untuk membenarkan apa yang pernah menjadi pemikiran Karl Marx: sebagai pondasi Das Kapitalnya.
Membuka kembali wacana pemikiran Hegel mungkin sudah ketinggalan zaman, sebab kita tahu dizaman kontemporer ini filsafat seolah sudah memihak kepada diskursus (yang melampaui Marxisme) relativisme moral dan kekuatan Pribadi. Para filsuf sudah banyak membicarakan tentang ketergantungan terhadap diri pribadi, dan sudah hampir melepaskan cengkraman “Tuhan”.
Kini pewacanaan semakin tertarik pada pemikiran Nietzsche ketimbang imanuel Kant, semakin penasaran kepada Muhammad Iqbal ketimbang Al Ghazali. Ini membuktikan bahwa pengaruh memanasnya Globalisasi memaksa orang untuk berpikir kekuatan pribadi ketimbang kekuatan kolektif.
Sebetulnya tak demikian dengan Hegel, dalam karyanya ia seolah mengatakan apa yang diharapkan para modernis, bahwa Agama “ada” demi kekuatan pribadi, berdasarkan Genealogis dan kondisi Alam.
Kebebasan-subjektif yang menjadi cita-cita Hegel, adalah sebuah kesadaran Agama tanpa paksaan dan tidak terejawantah dalam politik kekuasaan yang menindas suatu bangsa: demi melanggengkan kekuasaannya Agama dibuat menjadi seolah merupakan kebenaran universal yang memaksa.
Yang menjadi fenomenal dalam pemikiran Hegel adalah ketika Agama bukan lagi disebutkan sebagai kebenaran universal, akan tetapi ia menyebutnya sebagai kebenaran-pribadi. Konsep pemikiran tentang kebenaran-pribadi terhadap identifikasi agama menurutnya baru dimiliki oleh orang barat yang menyadari bahwa roh adalah sebuah kesadaran pemikiran yang menyebabkan masyarakatnya menjadi maju dan terdepan ketimbang masyarakat dunia lain. Disini Hegel terpengaruh oleh pemikiran Yunani tepatnya para idealis (Plato, Sokrates dan Aristoteles), bahwa roh adalah ide, adalah pemikiran, adalah rasional, dengan demikian bersifat individual.

Orang timur, menganggap Agama, baru sebagai kebenaran universal merupakan akibat dari kondisi alamnya yang mendukung pengertian roh sebagai penampakan spiritual mirip mimpi. Orang-orang timur notabene menduduki daerah subur, lebih berpotensi menciptakan sistem pemerintahan  despotik seperti yang terjadi dalam sejarah China massa kepercayaan terhadap kitab Shu-King dan Konfusian, atau di India masa berkembangnyanya kepercayaan Hindu. Daerah Subur menjadi penyebab terjadinya silang sengketa tanah, mereka yang memenangkan pertarungan menjadi sosok penguasa, lalu menjadi karakter individu yang diyakini sebagai ‘dipercayai Tuhan’, mengurus umatnya.
Namun, Hegel dalam hal ini tak dapat membantah bahwa awal mula peradaban justru dimulai dari timur dan pusat berkembangnya berada di barat, Agama dibarat semakin mengekspresikan kebebasan subjektif, dengan gambarannya yang hidup tanpa paksaan, sebagaimana tercermin dalam politik kekuasaan despotik.


2
“ Matahari fajar Terbit Ditimur dan berakhir di barat dengan bentuk terbarunya” (Hegel, Filsafat Sejarah)
Pondasi bagi kreatifitas orang barat, telah menjadikan Agama dalam bentuk kekuatannya, meskipun kita melihat prilaku sekularis mereka terhadap pengertian Agama. Kita tidak melihat Agama di Timur dalam bentuk kesetiaannya, menjadikan penganutnya  bangsa yang dinamis dalam menghadapi alam, sehingga lebih cerdas.
Hegel ada benarnya, pemahaman rasionalisme terhadap Agama di timur belum keluar menjadi kebebasan subjektif yang menjanjikan kreatifitas. Alangkah terkungkungnya dalam pengertian subtansial-individu, Agama hadir ditimur dalam bentuk Legenda dan mitos-mitos.

3
sejarah adalah prosa dan Mite bukan termasuk didalamnya, karena pembahasan unsur religius ditelusuri dengan kerja rasional kita, maka mite bukan bagian dari sejarah”  (Hegel, Filsafat Sejarah).

Padahal mitos dan legenda adalah milik karya besar bangsa kita. Kalau tidak dimanfaatkan dengan cita-cita kesadaran kreatifitas masyarakat secara umum, maka legenda dan mitos tak lebih dari cerita karat tak bermakna.
Kreatifitas sebagai titik balik pemahaman mitos dan legenda di Indonesia baru dimiliki oleh para kapitalis yang dengan dangkal memanfaatkannya sebagai konsumsi masyarakat (terlebih remaja), untuk sekedar mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, hal ini dicitrakan dengan hadirnya film-sinetron berbau legenda dan mitos, seakan tak lagi mampu melawan tesis Hegel diatas.
Adalah bukan hal yang tepat membabad perkara mitos dan legenda sebagai mainstream budaya ketimuran demi tegaknya budaya rasional kaku. Legenda dan mitos harus eksis sebagai alat pencapaian intelektual itu sendiri, sekedar memberi pencerahan baru bahwa apa yang diujar Hegel tentang negasi mitos dan legenda tidak sepenuhnya benar.
Kata kunci yang tepat, bagi kelayakan kedua unsur yang dibicarakan diatas adalah dengan pembuktian bahwa ia merupakan bentuk estetika religius yang mengcover moralitas bangsa.
Akan tetapi kalau ia hanya mencitrakan moralitas belaka tanpa bentuk kekuatan sejatinya, itu belum layak melawan pemikiran barat. Legenda dan Mitos harus hadir melegitimasi bentuk kekuatan manusia.

4
Legenda dan Mitos Hadir bukan tanpa penciptanya, di Timur, mungkin legenda sebagian banyak tak menemukan siapa penciptanya. Pencipta legenda dan mitos adalah simbol adanya sebuah kreatifitas, walau kini hanya bisa disiasati sebagai bentuk pencerahan moral belaka. Akan tetapi kalau sudah begini kita tak bisa memungkiri bahwa legenda adalah unsur estetik religius.
Nilai estetika legenda dan mitos, bisa disikapi lebih lanjut dengan recoveri jalan cerita, dengan memberi ruang pendidikan kreatif baik bagi mereka yang menciptakan bentuk cerita mitos baru tanpa merubah sketsa tradisinya, ataupun penikmatnya.
 Pengarang Sunda seperti Godi Suwarna, Hadi AKS, dan pengarang lainnya dalam sejumlah cerpennya mencoba melakukan pembaharuan jalan cerita dengan memasukan unsur pendidikan kreatif dan intelektual menjadi bentuknya yang paling mewakili pemikiran kontemporer saat ini.
Diceritakan misalnya dalam sebuah cerpen “kalangkang Budah” (bayang-bayang Buih) Godi dengan kreatif membangun sebuah cerita mitologi dengan menggabungkan mitologi sangkuriang dengan Oddipus (Yunani), al hasil ia dengan cerdas membuka imaji baru dongeng sebagai sebuah satir orang-orang timur yang pada akhirnya menyerah pada pemikiran Barat: Sangkuriang yang geram akan keadilan ilahi yang tidak memihak dirinya1, akhirnya mengikuti kepergian Oddipus yang lebih beruntung, meskipun Oddipus pernah melakukan dosa, sama persis seperti Sangkuriang.
Kalau saja cerita-cerita seperti misalnya cerpen yang dibuat Hadi AKS   --- mengenai mitos Nyi Siti Munigar yang dipercaya oleh orang-orang pesisir, menjadi penyebab telusuran perkara penindasan seorang suami terhadap istrinya, atau dalam cerita yang lain tentang konflik sengketa tanah --- banyak dinikmati kaum remaja dan bangsa Indonesia, maka mitologi seperti pernah di usahakan Sophocles di yunani akan membantu kasadaran intelektual dan pentingnya kreatifitas sebuah bangsa2.

****
C A T A TA N  K A K I
1. Cerpen Godi Suwarna: “Murang-maring”.
2. Cerpen Hadi AKS: “Oknum”.

Bandung, 26 Mei 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar