Minggu, 24 Maret 2013

Esai


Sastra Islam sebagai Alternatif (?)
Oleh: M Taufan Musonip

http://balidropshiper.files.wordpress.com
Islam tentunya memiliki posisi tersendiri dalam perkembangan sastra Indonesia. Boleh kita tanya, pada saat meletusnya polemik kebudayaan antara kubu Faust dan Arjuna, Islam berada di posisi mana?

Faktanya pada awal penyebaran agama ini di Indonesia, Islam memanfaatkan naskah-naskah karya sastra lama, daripada secara terbuka menyampaikan nilai-nilai agama. Ada proses sinkretis dan akulturasi tentunya di sini, misalnya ketika Islam memanfaatkan naskah Hikayat Sri Rama dengan menghadirkan sosok Nabi Adam untuk menggantikan Batara Kala. Yang juga menjadi nenek moyang Sri Rama, Nabi Adam pula yang mengabulkan doa Rawana untuk menguasai dunia dalam kisah di naskah itu. Selain menyisipkan nama Adam, digantikan pula nama Dewa Mulia Raya dengan Allah Ta’alla (Ikram, 1997:150).


Kemudian muncul juga sastra dakwah yang populer di Nusantara salah satunya adalah Hikayat Amir Hamzah (Melayu) yang menyebar di Jawa dalam tulisan Jawi, kitab itu mengalami perubahan nama menjadi Serat Wong Agung Ambyah, beredar di luar kalangan Istana, dengan berbagai perkembangan kisah yang dipengaruhi oleh kitab-kitab sastra Jawa sebelumnya, tokoh Wong Agung Ambyah juga di kembangkan dalam Serat Rengganis ---terpengaruh Cerita Panji Jayakusuma, yang settingnya sangat berbeda dengan Hikayat Amir Hamzah dari Timur Tengah.

M Natsir (1908-1993)
Seni menjadi bagian penting penyebaran agama, di dalamnya ada sastra. Karena sastra merupakan sebuah produk budaya, maka Islam dalam sastra punya posisi cara pandangnya terhadap dunia. Namun tragisnya, seperti ditulis Ajip Rosidi, Sastra Islam tak menjadi alternatif bagi dua pandangan dalam Polemik Kebudayaan, memang tercatat nama-nama besar di dalamnya seperti Hamka, Amir Hamzah (nama ini konon di ambil orangtua penyair karena sangat mencintai Hikayat Amir Hamzah) dan Bahrum Rangkuti tapi itu pun belum dianggap penting, mengingat ketiga sastrawan itu hidup dalam kalangan kelompok yang berbeda-beda, Amir Hamzah pada Pujangga Baroe, Hamka di Balai Pustaka sedang Rangkuti berada di lingkungan Angkatan 45.

Achdiat K Miharja seorang sastrawan dari Lesbumi itu bahkan tak mencatut karya-karya dari sastrawan Islam dalam penyusunan Buku Polemik Kebudayaan (1948). Selain memang tak ada tokoh Islam terlibat dalam polemik itu, Achdiat kurang memerhatikan media massa-media massa cetak yang menyuarakan Islam. Padahal ada nama pengarang semacam M Natsir seorang Pemimpin sekolah Pendidikan Islam di Bandung yang pernah menuliskan pandangan kebudayaanya berjudul Ideologi Pendidikan Islam, dengan mengambil inspirasi dari ayat suci dalam Al Qur’an (salah satunya Al Baqarah-177) tentang posisi Barat dan Timur, kurang lebih intinya menulis statement seperti ini: “meski  Barat, kalau memang hak mesti di ambil, kalu bathil meski dari Timur mesti di buang. Begitu juga sebaliknya, karena Barat dan Timur hanya milik Allah.” Tulisan itu diikrarkan di majalah Pembela Islam pada kira-kira tahun 1934 menjelang meletusnya Polemik Kebudayaan (1935)--- Ajip Rosidi, 2009.

Statement Natsir tersebut sebenarnya harus dihikmahi sebagai roh kebudayaan baru, sekaligus otokritik terhadap penggabungan antara Faust dan Arjuna, atau salah satunya, apalagi menilik keduanya bukan benar-benar asli Indonesia, tetapi lebih kepada keputusan individu dalam berkesenian, yang merasuk ke dalam sisi seni tradisional maupun modern. Bagaimana Islam masuk ke dalam seni tari tradisional berarti menciptakan gesture baru, misalnya. Pun dalam seni modern, Islam menciptakan kemungkinan baru. Saya kira semangat ini merasuk ketika khazanah Islam memengaruhi karya-karya Sastra Kuno  yang disebutkan di atas.

Kuntowijoyo (1943-2005)
Yang paling mutakhir tentang pandangan Islam terhadap seni adalah tulisan Kuntowijoyo. Pertemuannya dengan AR Fachrudin seorang pelukis sekaligus tokoh Muhammadiyah ketika menggulirkan sebuah pertanyaan, “apakah seseorang akan bertambah keimanannya ketika menikmati lukisan kaligrafi?” membuat Kuntowijoyo merasa Islam punya cara lain memandang kesenian. Menurutnya, kalau seni tak memiliki manfaat untuk mengantarkan nilai-nilai keagamaan, maka menjadi mubahlah pembangunan menara-menara mesjid yang menjulang indah, akan tiada artinya lantunan seorang qoriah saat membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an. Kuntowijoyo memberikan simpulan bahwa sinergi agama dalam aktifitas seni memberikan gambaran syiar ketimbang dakwah, kemudian untuk menciptakan suasana keagamaan, seni Islam membangun tasbih sebagai wujud pengagungan kepada Yang Maha Pencipta, dan eksistensi diri di antara nilai-nilai agama yang melingkupinya (Kuntowijoyo, 2001).

Kini sesudah Kuntowijoyo belum ada lagi konvensi yang dibentuk untuk bangunan sastra Islam, media massa manakah kini yang benar-benar menyerap sastra Islam secara lebih terbuka? Memang masih ada beberapa media massa sebagai suara Islam, diantaranya hanya sedikit sekali memberi ruang keleluasaan terhadap pembicaraan sastra sesuai khazanahnya yang akan menumbuhkan konvensinya sendiri. Di luar media massa Islam pun kita masih kurang mendapatkan esai yang membahas soal perkembangan sastra Islam, padahal masih ada komunitas sastra berhaluan Islam seperti Forum Lingkar Pena dengan visi aktifitas kepenulisannya sebagai Dakwah bil Kalam, termasuk anak-anak sastra di wilayah Madura, yang lahir dari lingkungan pesantren.

Dengan demikian jangan sampai sastra Islam akan kehilangan kharismanya menempatkan seni dan kesusastraan sebagai salah satu aktifitas muamalah para penganutnya. kehadiran tradisi kritik maupun kekaryaan yang lebih dalam dan maju guna menggali nilai-nilai Islam dan khazanah estetikanya akan memposisikan sastra Islam sebagai alternatif.(*)

Cikarang, 28 Februari 2013
Dimuat di Republika 24 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar