Sastra Islam sebagai Alternatif (?)
Oleh: M Taufan Musonip
http://balidropshiper.files.wordpress.com |
Islam
tentunya memiliki posisi tersendiri dalam perkembangan sastra Indonesia. Boleh
kita tanya, pada saat meletusnya polemik kebudayaan antara kubu Faust dan Arjuna, Islam berada di posisi mana?
Faktanya
pada awal penyebaran agama ini di Indonesia, Islam memanfaatkan naskah-naskah
karya sastra lama, daripada secara terbuka menyampaikan nilai-nilai agama. Ada
proses sinkretis dan akulturasi tentunya di sini, misalnya ketika Islam
memanfaatkan naskah Hikayat Sri Rama
dengan menghadirkan sosok Nabi Adam untuk menggantikan Batara Kala. Yang juga menjadi nenek moyang Sri Rama, Nabi Adam pula yang mengabulkan doa Rawana untuk
menguasai dunia dalam kisah di naskah itu. Selain menyisipkan nama Adam, digantikan
pula nama Dewa Mulia Raya dengan
Allah Ta’alla (Ikram, 1997:150).
Kemudian muncul
juga sastra dakwah yang populer di Nusantara salah satunya adalah Hikayat Amir Hamzah (Melayu) yang menyebar
di Jawa dalam tulisan Jawi, kitab itu
mengalami perubahan nama menjadi Serat
Wong Agung Ambyah, beredar di luar kalangan Istana, dengan berbagai
perkembangan kisah yang dipengaruhi oleh kitab-kitab sastra Jawa sebelumnya, tokoh
Wong Agung Ambyah juga di kembangkan
dalam Serat Rengganis ---terpengaruh
Cerita Panji Jayakusuma, yang
settingnya sangat berbeda dengan Hikayat
Amir Hamzah dari Timur Tengah.
M Natsir (1908-1993)
Seni
menjadi bagian penting penyebaran agama, di dalamnya ada sastra. Karena sastra
merupakan sebuah produk budaya, maka Islam dalam sastra punya posisi cara
pandangnya terhadap dunia. Namun tragisnya, seperti ditulis Ajip Rosidi, Sastra
Islam tak menjadi alternatif bagi dua pandangan dalam Polemik Kebudayaan,
memang tercatat nama-nama besar di dalamnya seperti Hamka, Amir Hamzah (nama
ini konon di ambil orangtua penyair karena sangat mencintai Hikayat Amir
Hamzah) dan Bahrum Rangkuti tapi itu pun belum dianggap penting, mengingat ketiga
sastrawan itu hidup dalam kalangan kelompok yang berbeda-beda, Amir Hamzah pada
Pujangga Baroe, Hamka di Balai Pustaka sedang Rangkuti berada di
lingkungan Angkatan 45.
Achdiat K Miharja
seorang sastrawan dari Lesbumi itu bahkan tak mencatut karya-karya dari
sastrawan Islam dalam penyusunan Buku
Polemik Kebudayaan (1948). Selain memang tak ada tokoh Islam terlibat dalam
polemik itu, Achdiat kurang memerhatikan media massa-media massa cetak yang
menyuarakan Islam. Padahal ada nama pengarang semacam M Natsir seorang Pemimpin
sekolah Pendidikan Islam di Bandung yang pernah menuliskan pandangan kebudayaanya
berjudul Ideologi Pendidikan Islam,
dengan mengambil inspirasi dari ayat suci dalam Al Qur’an (salah satunya Al Baqarah-177) tentang posisi Barat dan
Timur, kurang lebih intinya menulis statement
seperti ini: “meski Barat, kalau memang hak mesti di ambil, kalu bathil meski dari Timur mesti di buang.
Begitu juga sebaliknya, karena Barat dan Timur hanya milik Allah.” Tulisan itu
diikrarkan di majalah Pembela Islam
pada kira-kira tahun 1934 menjelang meletusnya Polemik Kebudayaan (1935)---
Ajip Rosidi, 2009.
Statement Natsir tersebut sebenarnya harus
dihikmahi sebagai roh kebudayaan baru, sekaligus otokritik terhadap
penggabungan antara Faust dan Arjuna, atau salah satunya, apalagi
menilik keduanya bukan benar-benar asli Indonesia, tetapi lebih kepada
keputusan individu dalam berkesenian, yang merasuk ke dalam sisi seni
tradisional maupun modern. Bagaimana Islam masuk ke dalam seni tari tradisional
berarti menciptakan gesture baru, misalnya. Pun dalam seni modern, Islam
menciptakan kemungkinan baru. Saya kira semangat ini merasuk ketika khazanah
Islam memengaruhi karya-karya Sastra Kuno
yang disebutkan di atas.
Kuntowijoyo (1943-2005)
Yang paling
mutakhir tentang pandangan Islam terhadap seni adalah tulisan Kuntowijoyo. Pertemuannya
dengan AR Fachrudin seorang pelukis sekaligus tokoh Muhammadiyah ketika
menggulirkan sebuah pertanyaan, “apakah seseorang akan bertambah keimanannya
ketika menikmati lukisan kaligrafi?” membuat Kuntowijoyo merasa Islam punya
cara lain memandang kesenian. Menurutnya, kalau seni tak memiliki manfaat untuk
mengantarkan nilai-nilai keagamaan, maka menjadi mubahlah pembangunan
menara-menara mesjid yang menjulang indah, akan tiada artinya lantunan seorang qoriah saat membacakan ayat-ayat suci Al
Qur’an. Kuntowijoyo memberikan simpulan bahwa sinergi agama dalam aktifitas
seni memberikan gambaran syiar ketimbang dakwah, kemudian untuk menciptakan
suasana keagamaan, seni Islam membangun tasbih
sebagai wujud pengagungan kepada Yang Maha Pencipta, dan eksistensi diri di
antara nilai-nilai agama yang melingkupinya (Kuntowijoyo, 2001).
Kini
sesudah Kuntowijoyo belum ada lagi konvensi yang dibentuk untuk bangunan sastra
Islam, media massa manakah kini yang benar-benar menyerap sastra Islam secara lebih
terbuka? Memang masih ada beberapa media massa sebagai suara Islam, diantaranya
hanya sedikit sekali memberi ruang keleluasaan terhadap pembicaraan sastra
sesuai khazanahnya yang akan menumbuhkan konvensinya sendiri. Di luar media
massa Islam pun kita masih kurang mendapatkan esai yang membahas soal
perkembangan sastra Islam, padahal masih ada komunitas sastra berhaluan Islam
seperti Forum Lingkar Pena dengan
visi aktifitas kepenulisannya sebagai Dakwah
bil Kalam, termasuk anak-anak sastra di wilayah Madura, yang lahir dari
lingkungan pesantren.
Dengan
demikian jangan sampai sastra Islam akan kehilangan kharismanya menempatkan
seni dan kesusastraan sebagai salah satu aktifitas muamalah para penganutnya.
kehadiran tradisi kritik maupun kekaryaan yang lebih dalam dan maju guna
menggali nilai-nilai Islam dan khazanah estetikanya akan memposisikan sastra
Islam sebagai alternatif.(*)
Cikarang,
28 Februari 2013
Dimuat di Republika 24 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar