http://daxbennington.blogspot.com/2010/04/atheistic-existentialism.html |
Pembacaan Teks Sastra, kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan
Eksistensialisme
Oleh: M Taufan Musonip
Kumpulan Esai Kesusastraan dan kekuasaan (Yayasan Arus, 1984) karya Wiratmo Soekito, yang pada tulisan pembukanya menelusuri secara singkat kiprah George Lukacs, dalam gerakan sosialisme yang meneruka jalan kesustraan pada pembacaan atas dua novel Franz Kafka, Der Prozess dan Der Schllos, merupakan imajinasi tentang pergerakan kepahlawanan melawan kekuasaan diktator yang pada satu dasawarsa berikutnya setelah dua novel itu terbit (1930an) muncul di beberapa negara pemerintahan diktatoriat.
Wiratmo berpendapat bahwa pada
kenyataannya teks menciptakan universalitas, dalam cahaya pencerahan, sebagaimana
teks Sumpah Pemuda membentuk perkumpulan awal membebaskan bangsa Indonesia dari
penjajahan seperti halnya pula karyakarya sastra lainnya yang telah memberi
inspirasi pergerakan: Karyakarya Muhammad Iqbal yang menginspirasi kemerdekaan
Negara Pakistan, atau Novel Uncle Tom Cabin yang memicu perang Saudara.
Berbeda dengan Wiratmo, A Teeuw dalam
bukunya Indonesia antara Kelisanan dan
Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994)
menyatakan dengan adanya jarak (distance) antara sang kreator dengan pembaca pada budaya teks ketimbang
antara pembicara dan hadirin, justru akan membangun pembacaan multitafsir khalayak
pembaca. Apa sebenarnya letak perbedaan dari wacana yang disampaikan Wiratmo
dengan Teeuw itu? Jika kita memahami bahwa keduanya sebenarnya sedang
membicarakan tradisi tulis dengan pertimbanganpertimbangan kesusastraan.