Krisis Bahasa, Krisis Sastra (?)
Oleh M Taufan Musonip
Bila ditelusuri apa pentingnya sastra bagi sendi kehidupan, maka akan didapati bahwa aktifitas kesastraan bukan sekedar bagaimana melahirkan penulis-penulis kreatif, tetapi merupakan inpirasi bagi berbagai aktifitas kehidupan. Bahasa adalah unsur utama membangun dunia, sedang sastra merupakan unsur kedua (Teeuw, 1996).
Segala
sesuatu dimulai dari bahasa, dia merupakan wadah gagasan sekaligus cara
pandang. Gagasan yang tak memiliki cara untuk menyusun cara pandang terhadap
dunia melalui bahasa, maka pada saat itu sebuah masyarakat manusia tengah
mengalami krisis kebudayaan. Kebudayaan bukan merupakan cermin keadaan, tetapi
merupakan kumpulan narasi yang mendesak perubahan. Ungkapan Xiaoping tentang kucing hitam, telah merubah Negara
China, menjadi negara terbuka, dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di
Eropa, ungkapan “Aku berpikir maka aku ada” menjadi “roh” peradaban membangun
bangsanya. Di Indonesia ungkapan-ungkapan progresif seperti itu pada masa kini
tengah mengalami defisit.