Sabtu, 13 April 2013

ESAI


Kematian Jaman dalam Kalapati
­­­Telaah untuk Buku Kumpulan Carpon Hadi AKS*
Oleh: M Taufan Musonip
                                    
Jalan kematian yang direnda oleh Hadi AKS dalam kumpulan carpon (cerpen) berjudul Kalapati begitu cekam. Kala berarti waktu dalam bahasa Indonesia, wanci dalam bahasa Sunda, atau lebih makro lagi: zaman, sedangkan kata pati, dalam bahasa Indonesia bisa disebut mati, atau kematian. Secara mikro Kalapati mungkin mewakili kisah seorang anak yang orangtuanya mati karena diduga sebagai dukun teluh di sebuah desa yang sedang diburu oleh isu santet (Kalapati, hal. 45).

Secara keseluruhan dari dua belas kisah pendek itu saya membacanya sebagai zaman kematian, atau bisa dibalik menjadi semacam kematian zaman yang mewakili kehidupan hari ini. Hadi AKS, hidup di zaman di mana modernitas mendesak lokalitasnya sendiri sebagai urang sunda. Keterdesakan itu memaksa Hadi untuk mengisahkan hidup manusia Sunda kiwari dalam bencana demoralisasi.

Kalapati, bisa direfleksikan dalam nafas filsafat nihilisme, yang destruktif, tragik, penuh cekam. Dari sanalah sebenarnya eksistensi seorang manusia dipertanyakan. Tapi bagi Hadi, tragedi merupakan bagian dari estetika itu sendiri, selain keteraturan. Maka dalam hal ini pengarang mengeksploitasinya, meski mungkin keadaan itu bukan suatu hal yang dikehendaki.


Karenanya kemudian oleh pengarang pembaca dibawa kepada kenyataan­kenyataan pahit, tentang incest, keinginan bunuh diri, kebencian terhadap orang tua, kesendirian, kegelisahan, kecemasan, dan kerusakan lingkungan yang menelusuri jalan pada kematian. Bagai martil yang memorak-porandakan kehidupan manusia lokal masa lalu sebagaimana diungkapkan dalam Lemah Cai Kulup (Hal.7):

“Bangsa urang mah, barudak, komo urang Sunda, katelah luhung budi. Béar daréhdéh, someah hadé ka semah. Titih rintih salawasna, dina ucap jeung paripolah,”

Tangan Tak Terlihat
Orang lokal yang pada kenyataannya memiliki budi baik pada tiap pendatang, yang menghayati benar kebersamaan, tergerus oleh sesuatu yang baru, datang dari berbagai perangkat modernitas,  memecah belah kebersamaan, menuju cacah­cacah individu yang tak pernah tahu keakuannya. Bagi Hadi modernitas semacam ketak­sempatan manusia untuk sejenak berpikir, menentukan pilihan hidupnya, menyadari dirinya sebagaimana manusia yang dapat menghayati kemanusiaannya.

Itu tergambar dalam kecekaman tokoh-tokoh yang diciptakan pengarang, Acéng yang melakukan pengejaran terhadap jaringan sindikat penjualan anak, untuk mencari adiknya, yang dijual ibunya sendiri dalam Basa Lambak Cahayaan (hal. 27). Seorang wanita muda dalam bayang­bayang ketakutan oleh berbagai hal yang melingkupi dirinya, kehamilan sebagai buah dari hubungan terlarang incest dengan kakak kandungnya sendiri dan kengerian buasnya alam semesta dalam bencana meluapnya sungai Citarum di mana wanita itu tinggal bersama abangnya(Sarah, hal. 18). Atau perceraian yang terjadi pada pasangan muda, sebagai korban dampak kebijakan politik transmigrasi, dalam Kalakay (hal.58).

Bayang-bayang mitos kala dalam Kala (hal.38) yang terseret arus modernitas yang serba rasional, namun tak bisa menjawab kesialan pada orang-orang yang tak beruntung, bagai sengaja dipertahankan, untuk mengukuhkan kemenangan sekelompok orang, sambil terus menertawakan mitos, sebagai cara mengekpresikan kekalahan, kala adalah  ilmu perbintangan kuno urang sunda, yang menjadi petunjuk bagi perjalanan manusia. Lain hal dengan kisah Kampung Samada (hal. 102), tiga bersaudara yang dicacah oleh wasiat seorang ayah. Wasiat itu disampaikan secara berbeda pada masing-masing anak, tentang di mana jenazah harus dikuburkan. Karena mempertimbangkan tokoh utama (aku) sebagai anak cikal yang menerima wasiat penguburan di dalam hutan, maka tiga bersaudara bersepakat menguburkan jenazah di dalam hutan. Mayat itu kemudian mengalami pelapukan, menjadikan hutan semakin sejuk dan subur, yang pada puluhan tahun setelah itu menjadi tempat hidup seluruh warga keturunan Ki Samada (nama tokoh ayah), sebagai awal malapetaka banjir dan longsor yang memakan banyak korban  penduduknya karena terjadi penggundulan hutan.

Hadi menggambarkan tokoh-tokoh tersebut secara partikular (dengan penggambaran penceritaan dengan cara si aku) sebagai lawan dan korban kuasa manusia yang kolektif sekaligus membentuk perlambang dekadensi sebagai ketakmampuan partikular dalam kehendak berkuasa sebagai kekuatan afirmatif kepada substansi sosial berwujud negara, perlembagaan, organisasi, perkumpulan dan kerumunan yang menciptakan superioritas kelompok manusia.  

Kisah-kisah itu memautkan nihilisme dalam perburuannya terhadap nalar, sebagaimana dilukiskan oleh Nietzsche, dalam aforisme perjalanan manusia di atas seutas tali,  yang begitu ngeri di intai bayang-bayang kejatuhan, perhentian yang lebih mematikan, dan jalan kembali yang lebih berbahaya. Sehingga hidup tak lagi mempertanyakan apa yang harus dilakukan, seperti seseorang yang tengah terkapar tertembus anak panah dari pemanah yang tak tahu muasalnya, untuk melupakan pencarian kepada si pembunuh, kecuali mencabut anak panah itu sendiri. Keadaan yang serba salah ini membuahkan tragedi, pesimisme, dekadensi, dari intaian kuasa tangan tak terlihat  ­­­otoritas agama, modal, kekuasaan, mitos­­­ yang kemudian menciptakan ketakmampuan berkomunikasi dengan kuasa itu sendiri, kecuali menjalani hidup tanpa memberi kesempatan pada nalar untuk menghujah keadaan sebagaimana harapannya.

Mobil Sejarah   
Bagi Hadi lokalitas tak lain merupakan bagian masa lalu dalam mobil sejarah yang sesekali melihat spion masa silam urang Sunda, menuju pergerakan jaman. Tinggal apakah masa lalu sunda itu merupakan sekadar panineungan atawa bayang­bayang yang senantiasa mengikuti modernitas?

Buku itu menjawab pertanyaan di atas dengan menghadapkan pembaca pada sebuah jaman modern yang berbicara tentang kelupaan pada arah jalan pulang menuju lemah cai, yang ketika sampai ke padanya, justru batas antara desa dan kota sudah semakin nirzona oleh serangan modernitas yang menafikan kemanusiaan, kenyataannya pada gugus desa pun tengah berlangsung keruntuhan nilai itu, seperti halnya tragedi kemanusiaan dukun santet di sebuah desa dalam Kalapati (hal 45) dan berbagai konflik sosial (Kalakay, Kampung Samada, dan lemah Cai Kulup).

Namun semangat Hadi dalam melukiskan dekadensi moral itu adalah semacam eksperimentasi bahwa pada dasarnya kebenaran yang digadang-gadang mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup mendapatkan maknanya dari sesuatu yang mendistorsi dirinya sendiri: Kriminalitas dan segala prilaku abnormalitas manusia dan hal itu semakin terasa dalam kisah-kisah lain (Kembang Pati, Kalangkang Bulan dan Anaking Jeung Bulan) yang tak bisa semua disampaikan di sini karena terbatasnya ruang.
***
Cikarang, 26 Agustus 2012
*Kalapati, Kumpulan Carpon Hadi AKS, Nomor: 411/KBU­G/2012. Kiblat Buku Utama Citakan ka­1, Rabiul Awal 1433 H./ Februari 2012