Laman

Sabtu, 19 Juli 2025

ESAI

TRADISI SAMA' DALAM HADIST, METODE PALING BAGUS DALAM MENGAJI ILMU

M. Taufan Musonip



Tahamul dalam kosakata arab, bisa diartikan sebagai tatacara mengambil ilmu dari seorang guru.

Tahamul yang tinggi derajatnya adalah dengan cara mendengar (sama'), baik murid mendengar saja atau murid mendengar lalu dituliskan. Metode ini menghasilkan hadits sohih, karena guru dan murid langsung bertemu. Lafaz yang biasa dipakai Hadatasana, Ambarona, Sami'na. Jadi jika menemukan lafaz ini dari hadist yang didengar, potensi sohihnya tinggi, dalam tulisan lafaz-lafaz tersebut kadang disingkat menjadi simbol huruf, tapi guru tetap membacakan riwayat hadist dengan lafadz yang lengkap. 

Metode yang lain yang derajatnya di bawah dari metode mendengar adalah murid membacakan riwayat, guru mengoreksi. Lafaznya adalah qoro'tu, qiroa'tu dan lafaz senada lainnya. Jika mendengar atau menemukan riwayat hadist dengan lafaz tsb masih berpotensi sohih.


UNSUR SUASANA

Derajat-derajat yang lebih menurun lagi adalah dengan cara ijazah kitab, wasiat dan penemuan kitab di rumah seorang guru yang telah wafat.

Tradisi hadist hanya ada dalam Islam, sangat ketat sekali dan panjang proses penentuan hukum dan nilainya, dulu para periwayat dan pengumpul hadist bekerja berbulan-bulan melalui rihlah menemui guru-guru tsiqoh, di pusat-pusat keilmuan masa keemasan Islam baik di Madinah atau Baghdad. Ulama-ulama hadits bukan saja mengoreksi, mengitibar, membandingkan dan menilai riwayat hadits tapi juga menulis biografi para perawi dalam penulisan jarah dan ta'dil.

Proses pencarian riwayat yang panjang ini menghasilkan metode keilmuan yang bisa dipakai sampai sekarang, mendatangi guru yang boleh dikatakan, NU paling terdepan menyediakan guru-guru non lembaga. Dan paling kuat di akar rumput. Kelemahannya, tidak langsung menjurus ke esensi ilmu, tapi melalui suasana kemasyarakatan Islam, jadi tetap pelan. Meski unsur suasana tetap menjadi tempat paling efektif membangun gairah belajar. 

INDIVIDUALITAS DAN SOSIAL ISLAM

Guru-guru agama NU itu sabar-sabar, ia menghadapi masyarakat abangan yang keberadaannya disandarkan ke NU, mereka menjalankan amaliah Yasinan dan Ratiban dari rumah ke rumah, lalu ustad NU menyarankan mengadakan Taklim, jika Allah Swt memberi jalan, maka Kyai akan hadir mengajar Safinatunajah.

NU melestarikan tradisi Sami'na dalam tradisi ilmu Hadist. Tradisi keilmuan yang punya derajat sangat tinggi, tak bisa dihadang kemajuan internet dan buku. Para santri tetap akan mencari Kyainya, murid mencari Mursyidnya. Tapi menurut Kuntowijoyo yang nota bene seorang Muhammadiyah mengatakan: jarak sudah semakin tak relevan justru sejak ada buku dan internet, murid tetap bisa belajar jarak jauh dan terjadwal -toh Nabi SAW akhirnya membolehkan sahabatnya menulis hadist setelah para sahabat mengetahui beda antara wahyu dan hadist. Dan disarankan bagi orang yang tak memiliki ingatan yang kuat, meski syaarat kesahihan sebuah hadist haruslah terjadi pertemuan antara guru dan Murid, santri dan Kyainya.

Tapi anak-anak NU terbiasa menghapal dari kecil, mulai dari menghapal sifat 20. Muhammadiyah memberi sumbangsih tradisi pembacaan sendiri, yang membuat masyarakat Islam punya semangat individualitas -ini penting bagi generasi Islam untuk memperhatikan keilmuan-keilmuan modern yang berkembang pesat dalam tradisi buku, memerlukan kekuatan-kekuatan individual untuk menciptakan berbagai terobosan, tanpa individualitas tak akan muncul kebaruan dan kemandirian, 

sedangkan NU bersifat sosial, tempat di mana keilmuan mendapatkan maslahatnya. Keduanya jika digabungkan akan menghasilkan masyarakat Islam Indonesia yang maju.

Bacalah buku, dan mengajilah! -jika ingin derajat sami'na nya lebih naik lagi lakukan secara terjadwal dan istiqomah.*


Tinjauan hadist dari Kitab Mustholah Hadits at Taisir Karya Dr Mahmud At Thohan dalam ampuan Buya Yunal Isra, Lc, MA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar