Minggu, 06 April 2025

ESAI

Kalau Tak Ada yang Buruk, Tak akan Ada yang Baik

M. Taufan Musonip


Lukisan Francis Bacon
Dari Web Francis Bacon (Artis)


"NU ini benteng terakhir umat Islam, jangkar besar kapal Islam bertuliskan rahmatan lil 'alamin, ia ingin kebaikan terus tersiar sampai kapan pun meskipun resikonya ia harus duduk bersebelahan dengan kebatilan. Kalau NU tidak sabar, pergi atau dihilangkan seperti dulu Masyumi, siapa yang akan menyiarkan Islam? Penguasa akan lebih bengis tanpa NU ada disampingnya.


Ada seorang anak mengeluh, ayahnya malah makin galak saat dirinya mulai mau mengaji. Setiap adzan berkumandang, anak-anaknya dipaksa ke masjid. Bahkan saat Adzan Subuh ada satu anaknya yang kena siram air karena sulit dibangunkan.

Ayahnya makin sering larang ini larang itu kepada ibunya. Pernah berantem, karena ibu pergi ke pasar tidak izin. Padahal ibunya memang ke pasar dan setelah itu tak kemana-mana.

Suatu kali, ini yang membuat anak ini merasa mengalami hal yang paling menegangkan dalam keluarganya, ayahnya ingin keluar dari bekerja. Ia ingin beralih usaha dan hanya fokus saja beribadah. Saat ditanya ibu ingin usaha apa, ayahnya bilang teman-teman mengajinya banyak yang usaha dagang keliling. Anak itu tahu ibunya tidak setuju, sebab ayahnya bekerja sekarang sudah cukup mapan membiayai tiga anaknya, apalagi anak yang mengeluh ini ingin kuliah. 

Kalau dalam puisi Layang-layang karya Zawawi Imron dalam kumpulan sajak Bulan Tertusuk Lalang keluarga ini bagai anak-anak yang berkerumun siap berebut layang-layang yang sudah terbang tinggi mencapai ketinggian gunung lalu terputus dan yang diburu adalah layang-layang koyak.

Bengkelnya Kalbu

Yang terputus itu selalu harus diteliti, walau apa yang kita terima adalah hal yang baik jika potensinya memotong, libatkan kalbu. Karenanya di Pesantren-pesantren NU kajian ilmu yang bersifat empirik (fiqih) dan rasionalitas (Teologi/tauhid) selalu diimbangi dengan ilmu tasawuf. NU itu kitab tasawufnya banyak sekali, meski rata-rata kitab klasik, ini tanda pengajian NU itu adalah bengkelnya kalbu.

Muhammadiyah juga sama punya buku Tasawuf Modern, karya Hamka. Apakah buku Tasawuf Modern itu dikaji tidak oleh jamaah Muhammadiyah? Kalau melihat tradisi Muhammadiyah 'ala Kuntowijoyo dalam Muslim tanpa Mesjid, Muhammadiyah itu salah satu organisasi besar yang membolehkan pengajaran jarak jauh, artinya membaca buku itu juga adalah bentuk pembimbingan. Organisasi ini mengadaptasi semangat jaman, karenanya jamaahnya harus semangat membaca buku, selain taklim tatap muka. NU tidak, ia masih melestarikan tradisi sanad, dalam istilah ilmu hadist di mana murid dan guru harus benar-benar bertemu. Tapi ada kekurangannya juga, hanya terbatas mempelajari kitab-kitab klasik -tapi belakangan ada Kyai Muda yang mengkaji kitab Hadist oleh ulama modern, ia adalah Buya Yunal Isra, salah satu pengasuh di Ribat Nouraniyah, ribat jamaah tarekat.

Lebih bagus jika kita punya dua kesadaran literasi, mengikuti taklim 'ala orang NU dan juga membiasakan membaca buku 'ala orang Muhammadiyah.

Jadi taklim orang NU itu adalah bengkel kalbu. Jamaahnya mayoritas orang kecil, dari pekerja kasar hingga pekerja menengah, adapun kelas menengahnya biasanya orang kaya kampung, yang berdagang beras atau kelontongan dan biasanya sudah haji, kelas menengah NU ini kalau tidak turunannya memang dari kalangan kaya, memang dari muda mereka sudah suka berdagang.

Orang NU menganggap pekerjaan itu ladang ibadah, bisa menjadi bekal dakwah, paling tidak bisa buat ongkos pergi mengaji. Mereka tidak suka perubahan cepat, dengan mengorbankan perasaan banyak orang. Mereka menginginkan perubahan dengan langkah-langkah kecil saja, mengandalkan hidayah Allah. Orang benar hanya bertugas menyampaikan nasihat.

Qona'ah dan Zuhud

Orang NU itu sangat setia pada prinsip qona'ah dan zuhud, qona'ah itu menerima dengan ikhlas apa yang diberikan oleh Allah, terkadang saking qona'ahnya orang NU, ia tak mau merubah keadaan sampai tua, ya hanya begitu-begitu saja yang penting semua tercukupi. Saking zuhudnya orang NU, dia jadi tak suka keterukuran, kadang keuntungan dagangnya dia berikan semua untuk infaq, yang penting keluarga bisa makan.

Karenanya ketika kubu Islam muda yang masih dalam naungan Masyumi pada masa Orde Lama lebih baik keluar dari Pemerintahan dan mengkritik keras pemerintahan -sebagiannya ada yang tergabung dalam PRRI/Permesta-, NU masih duduk saja di pemerintahan berhadapan dengan kelompok komunis meski di lapisan masyarakat paling bawah banyak Kyai NU yang jadi korban kebrutalan PKI. Nanti saat PKI melemah NU juga yang paling depan berhadapan dengan komunis.

NU ini benteng terakhir umat Islam, jangkar besar kapal Islam bertuliskan rahmatan lil 'alamin, ia ingin kebaikan terus tersiar sampai kapan pun meskipun resikonya ia harus duduk bersebelahan dengan kebatilan. Kalau NU tidak sabar, pergi atau dihilangkan seperti dulu Masyumi, siapa yang akan menyiarkan Islam? Penguasa akan lebih bengis tanpa NU ada disampingnya.

Harus Lebih Tangguh

Karenanya Zawawi menulis dalam puisi Layang-layang

Sederhana sekali naiknya layang-layang itu, membawa harapan membawa nama-nama

Tapi layang-layang harus bersabar bertengger di langit, karena ia bisa saja terputus, menjadi suatu yang mursal, dan diterima di tanah dalam keadaan koyak. Padahal di langit Zawawi menulis nilai ketinggian dengan diberi tanda kurung:

(Angin mengukir gunung/dengan nilai-nilai/dipusat lembah yang teduh/ada tempayan purba dibasuh)

Orang NU bukan saja harus sabar berdekatan dengan kebatilan, tapi harus menjaga diri dari kebatilan. Tugas yang paling berat sebagai umat Islam! akhirnya terkadang ia berkata: coreng-moreng sedikit di wajah tak apalah! Yang penting tidak bubar! 

Ini oleh-oleh anekdot dari Suryalaya: Ajengan Zezen pernah mengeluh kepada Gurunya Abah Anom mengenai komplek pesantrennya dikepung oleh lokalisasi pelacuran. Guru Murysid itu hanya berpesan: "kalau tak ada yang buruk tak akan ada yang baik," ajengan Zezen menjadi lebih sabar dengan nasihat itu dan berhasil menjadikan pesantrennya salah satu terbesar di Jawa Barat. Orang batil itu harus terus ada dan berubah dengan kesadarannya, bukan dibuat menjadi menghilang.

Anak yang mengeluh ayahnya menjadi galak tadi, lantas berpikir ayahnya salah tempat mengaji, mudah-mudahan tidak. Barangkali ini satu proses saja ia menjadi lebih baik.

Tapi menurut kesaksiannya, bapaknya itu tak suka mendengarkan lagi musik-musik kesukaannya. Salah satu ciri pengajian yang merusak persatuan adalah dihilangkannya selera seni. 

Padahal seni membuat jiwa seseorang bisa peka mengasah perasaannya. Ini tantangan anak remaja itu untuk menyadarkan ayahnya, agar paling tidak, tidak harus berhenti bekerja! Bagaimanapun kepastian ekonomi adalah lem paling merekatkan. Dengan mengaji ayahnya harus lebih tangguh lagi.*





Tidak ada komentar:

Posting Komentar