Hudud Ulama Sufi adalah Nasihat yang Mengandung Ibarat yaitu Sastra "Dekat"
M. Taufan Musonip
![]() |
Ralston Crawford (American, 1906–1978) "Whitestone Bridge", 1940. Oil on Canvas Painting. Memorial Art Gallery of Rochester, NY. |
"Perbedaan antara orang yang berdzikir dan yang tidak, adalah bagai orang hidup dan orang mati yang berjalan di dunia ini." Ibarat dalam Tajul 'Arus.
Sifat Guru-guru sufi yang penyayang tak lain merupakan tajalli dari sifat Allah Ar-Rahman. Hal itu hasil tempaan tazkiah kalbu, yang karenanya Allah membagi sifat pengasih kepada hambaNya, dalam wirid-wiridnya pun ulama sufi banyak sekali memuji Allah dari sifat Jamaliyahnya, seperti Dzikir Ya Latif, atau Ya Lutfi Ad-dzrikni atau Allah ya Arhamarohihimin. Karenanya Ulama sufi seringkali disebut Ulama Amar dari pada Ulama Nahyi. Padahal mereka tahu hetul istilah hudud yang dipaparkan oleh Ibn Atthoilah Sakandary, dalam Tajul 'Arus. Sifat kasihnya itu dalam hudud mereka sampaikan dalam nasihat-nasihat berbentuk ibarat, selain bermaksud agar kalam-kalam menjadi mudah dipahami, hudud ulama sufi berbentuk nasihat. Tidak seperti hudud dalam istilah ulama syariat, yaitu penerapan hukum pidana, atau biasa diistilahkan dengan had.
Ibarat, dalam terminologi sastra terdiri dari dua bentuk yaitu simile dan metafora, ulama sufi kitabiyah kerap memilih jenis simile atau perumpamaan, yang pakemnya biasanya memiliki kata penghubung seperti: bagai, bak, laksana dll. Sedangkan metafora banyak dipakai oleh sufi penyair.
Istilah hudud ini oleh Ibn Athoillah diperhadapkan dengan istilah syuhud. izzah-izzah yang dihasilkan dari syahadah ulama sufi yang berupa ahlak, ilmu dan amal ternyata memiliki batasannya, yaitu rasa tak berkenan pada maksiat orang lain.
Ulama Nahyi
Ulama sufi memiliki peran pula sebagai Ulama Nahyi, tapi mereka memiliki metode hudud yang berbeda. Dalam raut wajah yang menolak maksiat yang terjadi di lingkungannya, mereka menulis nasihat-nasihat dengan ibarat, diambil dari kejadian atau tradisi yang dekat dengan masyarakat awam. Tujuannya adalah menyentuh kalbu orang yang bermaksiat, yang akan diterimanya sebagai pelajaran menggugah hatinya, agar menjauhi perbuatan tercela.
eksistensi ulama sufi tanpa nasihat seperti seorang dokter yang praktek tanpa meresepkan obat.
Tradisi sastra "dekat" ini agak berlawanan dengan asar Sufyan Atsauri yang ditulis dalam Tanbihul Ghofilin, yang mengatakan bahwa ulama yang berhasil itu -ada Kyai yang mengatakan sebagai khawasul khawas- adalah ulama yang dibenci masyarakatnya, saking pentingnya sayap dakwah Nahyi Mungkar sebagaimana sayap Amar Ma'ruf, padahal Tanbihul Ghofilin sendiri kitab Tasawuf, mendengar asar itu bagi peminat ilmu tasawuf memang cukup mengejutkan, ditambah lagi adanya sarah dari Kyai Qori (Pembaca Kitab Kuning) yang mengatakan kebanyakan ulama di Indonesia itu ulama Amar, dan itu tidak aneh, Indonesia memang negeri ulama sufi. Saking banyaknya Ulama Amar, pejabat mendatangi ulama bukan ingin meminta nasihat, tapi sekadar minta restu politik, yang nantinya pengikut ulama tsb akan memilihnya sebagai kontestan politik.
Bagaimana menjama' asar Sufyan - Sufyan Atsauri adalah salah satu ulama besar di bidang hadist, ia salah satu perawi tsiqoh yang kerap disandingkan dengan Sufyan Ibn Uyainah yang juga ulama hadist terkemuka, sering kita dengar: "jika ada hadist yang diriwayatkan dari Duo Sufyan maka kemungkinan besar itu hadist sohih"- dengan jiwa "santai"nya ulama sufi dari sisi syahadah, yang ekstremnya justru lebih menyukai kaum yang suka bermaksiat, dari pada orang berilmu yang sombong itu?
Kernyit dahi yang harus diekspresikan ulama sufi terhadap maksiat, ia ganti dengan menulis tulisan sastra, yang lebih sulit dari pada menegakan had kepada penjahat. Sebab tujuannya kalbu, dan tujuannya memang pencegahan. Menulis nasihat lebih sulit dari pada menuliskan UU pidana, karena pidana itu tujuannya jera. Sedangkan nasihat menghidupkan hati, agar orang lebih waspada menjaga dirinya dari hawa nafsu bahkan dimulai dari sejak ia menghadapi waktu luang.
Ulama sufi tidak mau hidup dalam kenyamanan syahadah yang menghasilkan buat dirinya izzah-izzah ahlak yang menjadi pakaian kemuliaannya, ia harus keluar dari pakaian itu menuju orang yang bermaksiat dengan nasihat-nasihatnya, membuat ibarat yang sangat dekat dengan kaum awam.
Sangat Sublim
Sastra sufi dalam prosa, bisa dipahami orang awam sekalipun, meskipun teksnya sangat mendalam. Hatta karya-karya Ibn Arabi sekalipun, menjadi sulit karena kita membaca karyanya melalui buku sendirian, alangkah baiknya bertalaqqi kepada ulama sufi.
Budaya baca sendiri tidak dianut sepenuhnya oleh tradisi sufi maupun Islam secara keseluruhan. Karena metode ilmiah yang dipakai adalah metode sanad (dimana murid dan guru harus benar-benar bertemu): metode peradaban Islam di mana murid mengetahui bahwa air hujan tidak akan tertahan di perbukitan, maka kalbu orang Islam dalam menerima ilmu harus berada di kerendahan, dan Guru Sufi menjadikan ibarat sebagai jembatan antara dunia batin dengan yang lahir, juga merupakan bentuk tawadhu, dan berlepas diri dari ego, untuk menuang kenyataan tinggi menjadi air kesadaran yang ia timba dari sumur hikmah yang bisa langsung diterima oleh cedukan tangan sang murid untuk bersuci.
Berikut adalah contoh-contoh Ibarat dalam Tajul 'Arus:
1. Orang lalai (cinta dunia) yang beramal seperti orang yang mengumpulkan beras di gudang yang di dalamnya ada kalajengking dan ular.
2. Perbedaan orang yang berdzikir dan tidak seperti orang hidup dan orang mati yang berjalan di dunia ini.
3. Pohon kalbu adalah pohon yang disirami dengan dzikir, hingga matanya berbuah pandangan yang menghibur dan hati mengambil hikmahnya, sedangkan telinganya berbuah pendengaran akan Al Qur'an, sedangkan kaki dan tangannya berbuah gerak amal.
4. Hawa Nafsu seperti hutang yang tak segera dibayar.
5. Dosa kecil ibarat percikan api jika dibiarkan akan bertambah percikannya, dan karenanya bisa membakar.
6. Dosa yang dibiarkan tanpa taubat, akan berkarat seperti pesong di bokong wajan, akan hilang jika terus dibersihkan.
Apakah peminat kalam-kalam sufi tidak berminat mengalami apa yang dilalui ulama sufi yang menjalani mujahadah, kalbunya ditempa tadzkiah (dzikir metodik) hingga mereka futuh, karenanya kalam-kalamnya penuh kesahajaan bagai air dangau yang bening lagi dalam itu?
Catatan: terimakasih dan takzim kepada Sidi Syech Rohimuddin Mutikwari dalam sarah taklim Kitab Tajul 'Arus karena tulisan ini terinspirasi dari taklim beliau tsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar