Sabtu, 05 Januari 2013

Esai


Buku Cetak dan Kelisanan Kita
Oleh M Taufan Musonip

Gambar diambil dari
http://blogpendidikanbahasa.blogspot.com/search/label/Kesastraan
Esai Bandung Mawardi di Koran Tempo (Berumah di Buku, 8 Januari 2012) merupakan kekhawatirannya menyikapi surutnya tradisi cetak yang belakangan ini dipengaruhi oleh eforia teknologi informasi. Teknologi informasi menawarkan kemudahan pada pembaca dapat mengakses sebanyak-banyaknya informasi mengenai apa saja yang dibutuhkan. Meski begitu kegelisahan Bandung cukup ironis di tengah membanjirnya penerbitan buku cetak yang dilakukan secara indi oleh para penulis. Saya tidak sedang membicarakan hubungan antara kualitas penulisan dengan menjamurnya buku-buku indi menengarai bahwa tanpa bicara kualitas, siapapun bisa menerbitkan buku asalkan memiliki dana dan waktu cukup  memungkinkan sebuah buku dapat diterima luas oleh khalayak pembaca, toh beberapa penulis tetap mengeluhkan penjualan buku mereka yang berjalan secara koprol.

Yang perlu disikapi kenyataannya, terbitnya buku mau tidak mau berhadapan dengan pasar, tempat dimana sebuah karya dituntut memiliki nilai preferensi seperti belakangan dirintis kaum neuroekonomi  di kalangan ekonom Amerika, kemudian menjadi dasar sebuah karya layak dimiliki pembaca. Neuroekonomi dirintis oleh Paul Glimcher (Bukunya, Foundation of Economics Analisis), yang mengilustrasikan pararelitas otak manusia dengan teknologi komputer dalam kegiatan transaksi, menawarkan kecepatan aksesibilitas terhadap berbagai wacana sebelum pembaca memutuskan membeli sebuah buku. Aksesibilitas tersebut memungkinkan munculnya semacam arus probabilitas dalam otak manusia, sejauhmana sebuah buku dapat memperluas kesempatan seorang pembaca meraih kebahagiaannya.


Jika memang kegelisahan Mawardi menyikapi massifnya pembaca memilih aksesibilitas dalam dunia teknologi informasi guna menciptakan preferensi sebuah karya daripada buku-buku cetak, yang kemudian dikhawatirkan dapat menenggelamkan budaya cetak (seperti saat Mawardi melukiskan Marx dengan buku-buku cetaknya) sudah seyogyanya para penulis membuktikan keunggulan budaya cetak itu sendiri.

Neuroekonomi bisa jadi merupakan kelanjutan individualisme di barat, sejak Jean Paul Sartre berujar bahwa manusia diluar dirinya adalah neraka. Dilanjutkan dengan eksistensialisme ala dekontruksi sebagai penyebab hancurnya daya nalar strukturalisme. Ini kemudian menjadi tragedi yang digaungkan Nietzsche bahwa struktur kosmos yang bertingkat tidak memiliki relevansi. Maka lahirlah manusia-manusia pencinta kesunyian itu. Seolah-olah sunyi adalah segala-galanya, jalan akhir yang  dibangun menuju kemerdekaan. Karena berpikir dekonstruktif, segala jawab atas peristiwa dunia berpusat pada diri manusia. Manusialah pusat dari pada dunia itu.

Neuroekonomi mempendek jarak manusia dengan berbagai teks melalui sistem teknologi informasi, namun memperpanjang jarak antar manusia secara nyata, yang memungkinkan kemandirian berpikir, menentukan pendapat dan menenggelamkan diri dalam pergulatan berbagai teks. Hasilnya adalah rasa gamang terhadap kelisanan. Kelisanan seiring dengan semakin tergerusnya budaya cetak akan jatuh bukan sebagai alternatif bagi pemaknaan sebuah narasi. Karena narasi akan selalu puas dijelaskan oleh narasi dalam rayuan kecepatan aksesibilitas sistem teknologi informasi.

Maka saya pikir kegelisahan Mawardi harus mewujudkan preferensi, bahwa tradisi cetak pada dasarnya memiliki peluang besar dalam melestarikan budaya lisan, berupa tatap muka, kemudian percaya bahwa pertemuan antara guru dan murid, misalnya, yang dijembatani oleh sebuah buku dapat menyelesaikan persoalan dunia yang belum dapat dipecahkan dalam sebuah narasi tekstual.

Akhirnya percayalah kita pada Peter Drucker, sebagai guru manajemen internasional, yang meskipun dia lahir jauh sebelum Bill Gates, telah berani mengatakan: “The internet greatly extends the old economy”. Internet bukan jalan satu-satunya dalam membangun nilai sebuah produk. Pada kenyataannya komunitas, partnership dan aliansilah yang dapat membangun jalan pemasarannya. Begitupun dengan buku cetak, kepercayaan terhadapnya bukan hanya membangun wacana secara tekstual, tetapi membangun kebersamaan sebagai pelestari tradisi lisan di mana diantara kita saling bertemu membicarakan sebuah karya dalam berbagai peran: moderator, pembicara (kreator atau kritikus) dan pembaca atau yang lebih hangat lagi: guru dan murid, rakyat dan pemimpinnya.

Bagaimanapun kelisanan sebagai ciri budaya orang Indonesia, semestinya dapat mengisi lubang-lubang narasi yang tak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh lain narasi.
 Allah hu alam bisawab.
***
Cikarang, 4 Maret 2012


     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar