Buku Cetak dan Kelisanan Kita
Oleh M Taufan Musonip
![]() |
Gambar diambil dari http://blogpendidikanbahasa.blogspot.com/search/label/Kesastraan |
Esai Bandung Mawardi di Koran Tempo
(Berumah di Buku, 8 Januari 2012) merupakan kekhawatirannya menyikapi surutnya
tradisi cetak yang belakangan ini dipengaruhi oleh eforia teknologi informasi. Teknologi
informasi menawarkan kemudahan pada pembaca dapat mengakses sebanyak-banyaknya
informasi mengenai apa saja yang dibutuhkan. Meski begitu kegelisahan Bandung
cukup ironis di tengah membanjirnya penerbitan buku cetak yang dilakukan secara
indi oleh para penulis. Saya tidak sedang membicarakan hubungan antara kualitas
penulisan dengan menjamurnya buku-buku indi menengarai bahwa tanpa bicara
kualitas, siapapun bisa menerbitkan buku asalkan memiliki dana dan waktu
cukup memungkinkan sebuah buku dapat diterima
luas oleh khalayak pembaca, toh beberapa penulis tetap mengeluhkan penjualan
buku mereka yang berjalan secara koprol.
Yang perlu disikapi kenyataannya,
terbitnya buku mau tidak mau berhadapan dengan pasar, tempat dimana sebuah
karya dituntut memiliki nilai preferensi seperti belakangan dirintis kaum
neuroekonomi di kalangan ekonom Amerika,
kemudian menjadi dasar sebuah karya layak dimiliki pembaca. Neuroekonomi
dirintis oleh Paul Glimcher (Bukunya, Foundation of Economics Analisis), yang
mengilustrasikan pararelitas otak manusia dengan teknologi komputer dalam
kegiatan transaksi, menawarkan kecepatan aksesibilitas terhadap berbagai wacana
sebelum pembaca memutuskan membeli sebuah buku. Aksesibilitas tersebut
memungkinkan munculnya semacam arus probabilitas dalam otak manusia, sejauhmana
sebuah buku dapat memperluas kesempatan seorang pembaca meraih kebahagiaannya.
Jika memang kegelisahan Mawardi
menyikapi massifnya pembaca memilih aksesibilitas dalam dunia teknologi
informasi guna menciptakan preferensi sebuah karya daripada buku-buku cetak,
yang kemudian dikhawatirkan dapat menenggelamkan budaya cetak (seperti saat
Mawardi melukiskan Marx dengan buku-buku cetaknya) sudah seyogyanya para penulis
membuktikan keunggulan budaya cetak itu sendiri.
Neuroekonomi bisa jadi merupakan
kelanjutan individualisme di barat, sejak Jean Paul Sartre berujar bahwa
manusia diluar dirinya adalah neraka. Dilanjutkan dengan eksistensialisme ala
dekontruksi sebagai penyebab hancurnya daya nalar strukturalisme. Ini kemudian
menjadi tragedi yang digaungkan Nietzsche bahwa struktur kosmos yang bertingkat
tidak memiliki relevansi. Maka lahirlah manusia-manusia pencinta kesunyian itu.
Seolah-olah sunyi adalah segala-galanya, jalan akhir yang dibangun menuju kemerdekaan. Karena berpikir
dekonstruktif, segala jawab atas peristiwa dunia berpusat pada diri manusia.
Manusialah pusat dari pada dunia itu.
Neuroekonomi mempendek jarak manusia
dengan berbagai teks melalui sistem teknologi informasi, namun memperpanjang
jarak antar manusia secara nyata, yang memungkinkan kemandirian berpikir,
menentukan pendapat dan menenggelamkan diri dalam pergulatan berbagai teks.
Hasilnya adalah rasa gamang terhadap kelisanan. Kelisanan seiring dengan
semakin tergerusnya budaya cetak akan jatuh bukan sebagai alternatif bagi
pemaknaan sebuah narasi. Karena narasi akan selalu puas dijelaskan oleh narasi
dalam rayuan kecepatan aksesibilitas sistem teknologi informasi.
Maka saya pikir kegelisahan Mawardi
harus mewujudkan preferensi, bahwa tradisi cetak pada dasarnya memiliki peluang
besar dalam melestarikan budaya lisan, berupa tatap muka, kemudian percaya
bahwa pertemuan antara guru dan murid, misalnya, yang dijembatani oleh sebuah
buku dapat menyelesaikan persoalan dunia yang belum dapat dipecahkan dalam
sebuah narasi tekstual.
Akhirnya percayalah kita pada Peter
Drucker, sebagai guru manajemen internasional, yang meskipun dia lahir jauh
sebelum Bill Gates, telah berani mengatakan: “The internet greatly extends the old economy”. Internet bukan
jalan satu-satunya dalam membangun nilai sebuah produk. Pada kenyataannya
komunitas, partnership dan aliansilah yang dapat membangun jalan pemasarannya.
Begitupun dengan buku cetak, kepercayaan terhadapnya bukan hanya membangun
wacana secara tekstual, tetapi membangun kebersamaan sebagai pelestari tradisi
lisan di mana diantara kita saling bertemu membicarakan sebuah karya dalam
berbagai peran: moderator, pembicara (kreator atau kritikus) dan pembaca atau
yang lebih hangat lagi: guru dan murid, rakyat dan pemimpinnya.
Bagaimanapun kelisanan sebagai ciri
budaya orang Indonesia, semestinya dapat mengisi lubang-lubang narasi yang tak
dapat dijelaskan sepenuhnya oleh lain narasi.
Allah hu
alam bisawab.
***
Cikarang, 4 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar