Sabtu, 19 Januari 2013

Esai

Imaji Ornamen Karya#1 karya Reno Megy Setiawan



Kelahiran Kritikus dalam Tradisi Cetak Karya pantun:
Proyeksi Rencana Penerbitan Buku Besar Pantun (B2P)
Oleh M Taufan Musonip

Rencana Iwan Soekri pendiri Grup Pantun di jejaring Sosial Facebook (http://www.facebook.com/groups/297755106918835/) ---yang sudah menjaring anggota lebih dari 3000 orang itu--- menerbitkan Buku Besar Pantun (B2P), cukup mencengangkan. Pasalnya, rencana tersebut bukan hanya memerlukan biaya cukup besar tapi sejauhmana peluang buku tersebut dapat membuka kesadaran masyarakat pentingnya berpantun, bagi saya pantun  adalah seni bertutur yang mampu menyampaikan  realitas makna sebagaimana adanya. Pantun memang masih tumbuh dalam keseharian kita, sebagian besar diproduksi oleh media virtual (dalam acara komedi di televisi, misalnya), namun di dalamnya kita belum banyak mendapatkan asupan yang baik, sebagaimana pantun nenek moyang yang melahirkan banyak jenis pantun itu, pada akhirnya mengerucut pada satu tujuan yaitu inti sari kehidupan.

Pantun apabila kembali dimunculkan dalam kehidupan sastra dunia, dapat menjadi otokritik yang tepat menghadapi permasalahan dekonstruksi, jaman di mana realitas makna tak pernah sejalan dengan usaha permainan bahasa, kecuali gaung kemerdekaan yang diserahkan kepada pembaca ketika mereka melahirkan banyaknya pandangan atas teks yang memproduksi beragam makna. Dalam pantun realitas makna bukan saja dibenturkan ke dalam usaha permainan bahasa (meminjam istilah Jacques Derrida) terlebih bunyi (rima), namun tetap mempertahankan realitas makna sebagai inti nafas bahasa.

ilmiah
Pantun merupakan totalitas, di mana resonansi bunyi di dalamnya justru mempermudah kenyataan maknawi sampai pada pendengarnya. Meskipun pada proses penciptaannya cukup sulit, pemantun terkadang hanya memilih rima daripada bangunan sampiran yang sepenuhnya mampu membangun pararelitas dengan bangunan isi. Itu disebabkan karena pantun lahir dari budaya lisan, yang memungkinkan seni bertutur tercipta berdasarkan spontanitas.

Maka pada apa sebenarnya tujuan Buku Besar pantun yang dicita-citakan masyarakat pantun, yang sekarang terstigma dalam Grup Pantun yang didirikan Sastrawan Iwan Soekri itu?

Jawaban atas pertanyaan tersebut, upaya merekam karya pantun tentu bukan yang paling utama.  Sebab pada kenyataannya, karya pantun yang lahir dalam budaya lisan toh masih abadi hingga sekarang tanpa kita ketahui pengarangnya.

Oleh karenanya dalam budaya cetak, masyarakat pantun seyogyanya memiliki harapan yang lebih maju ketimbang proses rekam jejak, yaitu bagaimana pantun menjadi lebih ilmiah. Itulah yang menyebabkan karya-karya pantun melahirkan polemik di masa lalu antara Pijnapple, Ophuisjen hingga Overback tentang pararelitas antara sampiran dan isi dalam struktur pantun, meskipun polemik mereka berdasarkan pada telaahan pantun lisan. Karya-karya pantun bukan saja melahirkan pembaca tetapi pada akhirnya menciptakan kritikus, maka meminjam istilah Foucault pada budaya cetak, karya pantun dapat memenuhi unsur arkeologinya, yaitu sebagaimana genre-genre sastra lainnya, sejauhmana ia patut dibicarakan.

Di sini karya pantun melahirkan penilaian yang lebih menanjak, seperti dikatakan di atas, seseorang yang menulis pantun bukan harus memperhatikan rima, seperti pemantun lisan pada umumnya, terlebih bagaimana melahirkan metafora dalam sampiran sebagai ruang perenungan yang dapat melahirkan isi. Penciptaan karya pantun dalam budaya cetak, akan lebih puitis dalam prosesnya daripada dalam budaya lisan.

Sutardji Calzoum Bahri pernah menulis esai tentang pantun yang dimuat oleh Kompas (14 & 21 Desember 1997) untuk memperkuat kredo Puisinya (1977) memaparkan bahwa dalam pantun tidak pernah terjadi pararelisme antara sampiran dan isi, meski begitu menurutnya pantun masih dapat dinikmati hingga sekarang. Bagi Sutardji sampiran hanya membuka penciptaan rima, oleh karenanya Ignas Kleden dalam sebuah esainya Puisi dan Dekonstruksi: prihal Sutardji Calzoum Bahri menyatakan adanya the order side of language dalam pantun, yang menghubungkan antara sesuatu yang tak bermakna (sampiran) dengan yang bermakna (isi). Hal itu mengukuhkan Sutardji, pada kenyataannya pantun adalah inspirasi dalam menulis puisi mantra. Esai Kleden dan pemahaman Sutardji mengenai pantun belumlah melihat pantun sebagai zeitgeistnya (tradisi cetak): ia masihlah dilihat sebagai karya kelahiran budaya lisan.

Formalitas
Pantun-pantun yang lolos kurasi untuk memuluskan proyek B2P tentunya diharapkan adalah karya-karya serius, sebagai stimulus lahirnya para kritikus. Terlebih banyak karya dalam Grup Pantun yang kemungkinan akan mengisi B2P kelak, masih diluar pakem pantun, meskipun beberapa di antaranya begitu puitis dan cukup estetis. Simak misalnya pantun dari akun Daun Pandan:

Bulan purnama kini menghilang
Pengawal raja menyepi diri
Sultan Mahmood mangkat dijulang
Nangka seulas ku makan sendiri

Daun Pandan melakukan keberanian dengan menuliskan sampiran hingga baris ketiga. Dalam tradisi pantun ini merupakan sempalan, dua baris terakhir yang seharusnya dihuni oleh isi justru tak memiliki hubungan sama sekali. Meski begitu saya cukup menikmati pantun ini, Daun Pandan berhasil menciptakan rima dengan metafor yang berselang, pada baris pertama Bulan purnama kini menghilang seolah dijelaskan pada baris ketiga, yaitu mangkatnya Sultan Mahmood. Perlambang antara bulan dan Sultan merupakan analogi seorang pemimpin yang mencerahkan, pada baris kedua metafor seolah dijelaskan pada baris ke empat, pengawal raja menyepi diri seperti perlambang kesepian seorang manusia ketika ia bersikap tamak (nangka seulas kumakan sendiri), antara pengawal raja dengan sang aku, seperti menceritakan keumuman kaum jelata yang tak tahu adat ketimbang seorang pemimpin (disimbolkan oleh raja) secara kaidah tentu saja pantun ini menyimpang, sebab jika memang penulis ingin memautkan isi (baris ke-1 dan ke-3) dan sampiran (baris ke-2 dan ke-4) secara berselang, kenapa isi sebagai penggambaran sosok aku hanya ada dibaris terakhir? Seharusnya penulis menuliskannya seperti ini:

Bulan purnama kini menghilang
Nangka seulas kumakan sendiri
Sultan Mahmood mangkat dijulang
kini aku seorang diri

Atau simak juga karya pantun jenaka oleh akun Gus Noy,
jaman katanya memang bahaya
banyak yang mencari pesugihan
jangan larang memegang pepaya
sebab saya sudah ketagihan

Pada baris isi, penulis masih menuliskan pepaya sebagai perlambang yang belum terang, ketagihan Gus Noy akan pepaya tak mungkin hanya soal memegangnya semata. Jika demikian pantun ini belum selesai, meski begitu secara metafora jangan larang memegang pepaya/sebab saya sudah ketagihan, cukup bisa dinikmati sebagai pantun jenaka. Pantun ini bisa saja membawa imajinasi pembaca pada hal yang seronok, tapi dengan piawai Gus Noy mamautkan perlambang yang memberi signifikansi estetik guyonannya.

Pada contoh karya pantun di atas dapat terlihat, tradisi cetak yang dipercepat publikasinya oleh media digital akan melahirkan karya-karya yang melahirkan kritik. Top of FormInilah resiko yang mesti diambil masyarakat pantun, kenyataannya budaya cetak akan selalu melahirkan formalitas. Padahal tradisi pantun lahir dari kesantaian, yang berseberangan dengan budaya puitik yang memunculkan formalisme (hubungan kritikus-karya-pembaca).

Pantun, dalam istilah YB Mangunwijaya, adalah citarasa samadya, memahami lokalitas Indonesia, dari sisi iklimitasnya, bahwa pencerahan dalam karya muncul dari penghikmahan alam semesta. Lebih lanjut dikatakan oleh Mangunwijaya, khas karya Indonesia diambil dari prinsip mampir ngombe, masyarakat Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat yang berkarya ketika ia menikmati alam semesta yang disuguhkan Tuhannya, kesementaraan di dunia, bukan semata-mata anti duniawi, tapi menghikmahinya sebagai rangsangan berkarya. Ini berbeda dengan tradisi puitik spiritual di Persia yang cenderung anti duniawi (sufisme) dan tradisi puitik di Barat, yang dilahirkan dari kegelisahan, bagaimana dapat menguasai alam semesta.

Meski saya harus menarik persoalan karya pantun dalam budaya lisan dikenal tanpa pengarangnya, jika dikaitkan dalam proses dekonstruksi yang semakin ngeri melakukan pembunuhan atas para pengarang, karya pantun dalam dunia cetak, menciptakan pergeseran mitos, dari alam semesta yang menjadi alat perekam karya kemudian kepada pembaca yang lebih dinamis. Ini membuktikan bahwa dekonstruksi mengalami stagnansi, upaya pembunuhan atas pengarang tidak menemui hasil, mengingat dekonstruksi lahir dari wacana ilmiah, kenangan kepada seorang pengarang terus ditumbuhkan dalam historiografi. Totalitas yang dibicarakan dalam martilisme belum sepenuhnya membuat pengarang hilang dalam ingatan pembaca, sementara dalam budaya lisan alam semesta telah menjadikan karya sebagai mitos itu sendiri, totalitas karya disuguhkan seberapa jauh karya tersebut begitu abadi, tanpa harus mementingkan siapa pengarangnya. Dalam budaya tulis mitos bergerak ke arah pengarang, sementara dalam budaya lisan mitos bergerak ke arah karya. Struktur pantun yang memautkan sampiran dan isi, meluruskan kembali jalan di mana unsur lange diperkuat ketimbang parole dalam konektifitas yang terjadi dalam struktur bahasa, oleh karenanya harus lebih mencerahkan di samping perhatian terhadap nilai-nilai estetikanya. Maka yang lebih penting adalah bagaimana sebuah proses puitik penciptaan pantun dalam tradisi cetak akan mengantarkan pengarang pada sebuah karya yang melahirkan realitas makna.

Dalam rencana penerbitan B2P ini, tentulah karya harus berujung pada tujuan merangsang penciptaan karya lainnya, termasuk esai kritik. Banyak hal sebenarnya perlu dikembangkan dalam niat baik pelestarian budaya bahasa nenek moyang ini, yaitu seberapa banyak perhatian kita terhadap pantun-pantun yang terus lestari dalam budaya lisan pada ritual-ritual komunal masyarakat adat. Artinya apakah karya pantun ditulis berdasarkan tantangan kekinian merujuk kepada individu dalam penulisan pantun yang lepas dari identitas lokalitas adat atau berdasar kepada warna-warna lokal adat yang dimiliki para penulis dari berbagai daerah di Indonesia?

Jika pantun melayu selalu berazaskan sampiran dan isi, pantun dalam budaya Topeng hanya terdiri dari sampiran saja, jika pantun pada dasarnya melahirkan kebijaksanaan seorang manusia, pantun dalam Topeng melahirkan jago ---karena budaya pantun di Bekasi berakhir dengan perkelahian--- yang kemudian melahirkan struktur politik masyarakatnya sendiri: di mana masyarakat Bekasi pada masa lalu di pimpin oleh para jago.
Apabila pantun pada B2P kelak adalah ciri budaya pantun modern, bisakah ia lepas dari pengaruh pantun melayu yang selama ini menjadi pakem?     
***
Cikarang, 3 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar