Imaji Ornamen Karya#1 karya Reno Megy Setiawan |
Kelahiran Kritikus dalam Tradisi Cetak Karya pantun:
Proyeksi Rencana Penerbitan Buku Besar Pantun (B2P)
Oleh M Taufan Musonip
Rencana Iwan Soekri pendiri Grup
Pantun di jejaring Sosial Facebook (http://www.facebook.com/groups/297755106918835/) ---yang sudah menjaring anggota
lebih dari 3000 orang itu--- menerbitkan Buku Besar Pantun (B2P), cukup mencengangkan. Pasalnya,
rencana tersebut bukan hanya memerlukan biaya cukup besar tapi sejauhmana
peluang buku tersebut dapat membuka kesadaran masyarakat pentingnya berpantun,
bagi saya pantun adalah seni bertutur
yang mampu menyampaikan realitas makna
sebagaimana adanya. Pantun memang masih tumbuh dalam keseharian kita, sebagian
besar diproduksi oleh media virtual (dalam acara komedi di televisi, misalnya),
namun di dalamnya kita belum banyak mendapatkan asupan yang baik, sebagaimana
pantun nenek moyang yang melahirkan banyak jenis pantun itu, pada akhirnya
mengerucut pada satu tujuan yaitu inti sari kehidupan.
Pantun apabila kembali dimunculkan dalam
kehidupan sastra dunia, dapat menjadi otokritik yang tepat menghadapi
permasalahan dekonstruksi, jaman di mana realitas makna tak pernah sejalan
dengan usaha permainan bahasa, kecuali gaung kemerdekaan yang diserahkan kepada
pembaca ketika mereka melahirkan banyaknya pandangan atas teks yang memproduksi
beragam makna. Dalam pantun realitas makna bukan saja dibenturkan ke dalam
usaha permainan bahasa (meminjam istilah Jacques Derrida) terlebih bunyi
(rima), namun tetap mempertahankan realitas makna sebagai inti nafas bahasa.
ilmiah
Pantun merupakan totalitas, di mana
resonansi bunyi di dalamnya justru mempermudah kenyataan maknawi sampai pada
pendengarnya. Meskipun pada proses penciptaannya cukup sulit, pemantun
terkadang hanya memilih rima daripada bangunan sampiran yang sepenuhnya mampu
membangun pararelitas dengan bangunan isi. Itu disebabkan karena pantun lahir dari
budaya lisan, yang memungkinkan seni bertutur tercipta berdasarkan spontanitas.
Maka pada apa sebenarnya tujuan Buku
Besar pantun yang dicita-citakan masyarakat pantun, yang sekarang terstigma
dalam Grup Pantun yang didirikan Sastrawan Iwan Soekri itu?
Jawaban atas pertanyaan tersebut,
upaya merekam karya pantun tentu bukan yang paling utama. Sebab pada kenyataannya, karya pantun yang
lahir dalam budaya lisan toh masih abadi hingga sekarang tanpa kita ketahui
pengarangnya.
Oleh karenanya dalam budaya cetak,
masyarakat pantun seyogyanya memiliki harapan yang lebih maju ketimbang proses
rekam jejak, yaitu bagaimana pantun menjadi lebih ilmiah. Itulah yang
menyebabkan karya-karya pantun melahirkan polemik di masa lalu antara
Pijnapple, Ophuisjen hingga Overback tentang pararelitas antara sampiran dan
isi dalam struktur pantun, meskipun polemik mereka berdasarkan pada telaahan
pantun lisan. Karya-karya pantun bukan saja melahirkan pembaca tetapi pada
akhirnya menciptakan kritikus, maka meminjam istilah Foucault pada budaya cetak,
karya pantun dapat memenuhi unsur arkeologinya, yaitu sebagaimana genre-genre
sastra lainnya, sejauhmana ia patut dibicarakan.
Di sini karya pantun melahirkan
penilaian yang lebih menanjak, seperti dikatakan di atas, seseorang yang menulis
pantun bukan harus memperhatikan rima, seperti pemantun lisan pada umumnya,
terlebih bagaimana melahirkan metafora dalam sampiran sebagai ruang perenungan
yang dapat melahirkan isi. Penciptaan
karya pantun dalam budaya cetak, akan lebih puitis dalam prosesnya daripada
dalam budaya lisan.
Sutardji Calzoum Bahri pernah menulis
esai tentang pantun yang dimuat oleh Kompas (14 & 21 Desember 1997) untuk
memperkuat kredo Puisinya (1977) memaparkan bahwa dalam pantun tidak pernah
terjadi pararelisme antara sampiran dan isi, meski begitu menurutnya pantun masih
dapat dinikmati hingga sekarang. Bagi Sutardji sampiran hanya membuka
penciptaan rima, oleh karenanya Ignas Kleden dalam sebuah esainya Puisi dan
Dekonstruksi: prihal Sutardji Calzoum Bahri menyatakan adanya the order side of language dalam pantun,
yang menghubungkan antara sesuatu yang tak bermakna (sampiran) dengan yang
bermakna (isi). Hal itu mengukuhkan Sutardji, pada kenyataannya pantun adalah
inspirasi dalam menulis puisi mantra. Esai Kleden dan pemahaman Sutardji
mengenai pantun belumlah melihat pantun sebagai zeitgeistnya (tradisi cetak):
ia masihlah dilihat sebagai karya kelahiran budaya lisan.
Formalitas
Pantun-pantun yang lolos kurasi untuk
memuluskan proyek B2P tentunya
diharapkan adalah karya-karya serius, sebagai stimulus lahirnya para kritikus.
Terlebih banyak karya dalam Grup Pantun yang kemungkinan akan mengisi B2P kelak, masih diluar pakem pantun,
meskipun beberapa di antaranya begitu puitis dan cukup estetis. Simak misalnya
pantun dari akun Daun Pandan:
Bulan
purnama kini menghilang
Pengawal raja menyepi diri
Sultan Mahmood mangkat dijulang
Nangka seulas ku makan sendiri
Pengawal raja menyepi diri
Sultan Mahmood mangkat dijulang
Nangka seulas ku makan sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar