Bangsa Yaman Cikal Bakal Kaum Anshor dan Yang Paling Dulu Menikmati Air Kautsar
M. Taufan Musonip
![]() |
Wimsichal Moment Patrice Donnelly |
"Kaum Anshor betul-betul merasakan Nabi selalu bersamanya, walau telah wafat, ikrar Nabi: "Aku bersama kalian!" Pada perang Hunain dahulu selalu menggema dalam pendengaran mereka. Mereka ingin menjadi umat Islam yang diridoi Nabinya, karenanya mereka Ridho.
Kelak umat Islam akan berkumpul di Telaga Kautsar, saat mereka mengantri dalam panggilan hisab dari Allah Swt. Ternyata yang paling awal diberikan air telaga itu langsung melalui tangan Nabi Saww adalah bangsa Yaman (Al Hadist Bukhori dan Muslim). Dalam hadist lain Nabi Saw langsung mengisyaratkan nama Yaman dengan memerkirakan luasnya telaga Kautsar yaitu dari Ailah (Palestina) hingga Aden (Yaman).
Bangsa Yaman adalah yang menurunkan darah kaum Anshor di Madinah. Kaum yang dengan rela memberi ruang yang seluas-luasnya bagi Kaum Muhajirin. Hati mereka sangat terbuka kepada kebenaran Islam, awalnya beberapa orang masuk Islam saat berada di Makkah, lalu puluhan dan ratusan orang, hingga mereka rela memberikan sebagian tanahnya, yang dimilikinya bahkan yang dicintainya kepada bangsa Quraisy. Sifat terbukanya orang Anshor sebelumnya juga telah menerima kedatangan orang Yahudi yang menanti Nabi Terakhirnya di Madinah, tapi yang datang adalah Nabi dari kalangan Arab, Yahudi ingkar. Karena keingkarannya penduduk yang awalnya bernama Yathrib itu terpecah dalam dua kubu (Auz dan Khojroz) menjadi bersatu. Baginda Saw di Yathrib berhasil membangun peradaban kota, yang menjadi qiyas pada diri beliau sebagai kota ilmu. Dari Madinah lah dua imperium besar berangsur-angsur menjadi bagian dari Kekhalifahan Islam.
Dalam perang Hunain orang Anshor mendapat bagian ghonimah yang paling sedikit, Rosulillah lebih mendahulukan para Mualaf dan para sahabat lain. Awalnya kelompok Anshor kecewa, protes. Tapi setelah Nabi Saw katakan beliau bersama Anshor, mereka berbahagia. Terbukti setelah Fathu Mekkah, Rosulillah hidup sampai akhir hayat di Madinah.
Tidak Mendapat Giliran
Setelah Rasul wafat, para sahabat berkumpul untuk mengangkat khalifah, kalau tidak salah sahabat yang utama hanya ada Abu Bakar Ra. lalu menyusul Umar Bin Khottob yang sedang ikut prosesi pemakaman Nabiyuna Muhammad SAW, waktu itu pemilihan kepemimpinan berjalan alot, sehingga Abu Bakar Ra. didaulat sebagai Khalifah, kaum Anshor mengajukan pendapat agar kekhalifahan bisa bergantian antara Muhajirin dan Anshor awalnya mengajukan bergantian, tapi Muhajirin bahkan tidak memberinya untuk selang kekhalifahan tiap dua kali (sumber Buku Umar Bin Khattab karya Abdul Syukur Al Azizi). Kaum Anhsor sangat mengetahui keistimewaan suku Quraisy di mana baginda Nabi dilahirkan dan mereka menyerahkan seluruh kepentingan pemerintahan kepada Kaum Quraisy.
Dalam zaman fitnah di masa kekhalifahan Utsman bin Affan, tidak disebutkan sama sekali peran kaum Anshor. Utsman Ra. di kudeta oleh para pemberontak dari penduduk yang jauh yaitu, Kuffah, Basrah dan Mesir dan terdengar kaum Badawi ada di dalamnya. Saat itu populer nama Abdullah Bin Saba' orang keturunan Yahudi, sebagai provokator pemberontakan.
Utsman dikenal khalifah paling pemaaf dan lembut hatinya sehingga penduduk yang baru memeluk Islam suka berbuat keonaran, dan masa itu adalah masa paling gemilang kekuatan ekspansi militer Islam di negara-negara gugusan kerajaan Romawi dan Persia. Banyak ghanimah didapatkan membuat penduduk Islam pun berubah orientasi dari awalnya cenderung ruhiyah menjadi muamalah yang pada akhirnya membangun jiwa cinta dunia (Buku Ustman Bin Affan, Abdul Syukur Al Azizi).
Selain Khalifah Utsman berhasil memadamkan berbagai pemberontakan, pada masa itu berhasil pula dibangun angkatan laut pertama militer Islam yang langsung merangsek armada laut Romawi. Wilayah Islam semakin meluas. Akan tetapi saat itu tidak terdengar keluhan dari kelompok Anshor. Seharusnya mereka yang lebih pantas termakan rasa iri kepada kelompok Quraisy yang tak memberikan ruang politik secara leluasa setelah mereka memberikan tanah airnya pada masa sulit dulu. Tapi tidak, mereka betul-betul merasakan Nabi selalu bersamanya, walau telah wafat, ikrar Nabi: "Aku bersama kalian!" selalu menggema dalam pendengaran mereka. Mereka ingin menjadi umat Islam yang diridoi Nabinya, karenanya mereka Ridho. Tak ada kebahagiaan bagi mereka selain bersama Nabi baik di dunia maupun akhirat.
Mokha dan Ba'alawi
Yaman juga dikenal sebagai daerah budidaya kopi paling mula, pelabuhannya yang bernama Mokha menjadi nama kopinya sendiri yang melegenda. Minuman yang setia menemani umat Islam untuk melekan kiyamul lail, khotmil qur'an, semaan, khalwat dan kita mengenal nama Ulama Sufi Assadzily yang menyebarkan paham kesufian tarekat Qodiriyah yang banyak diminati penduduk Islam di Indonesia.
Kini nama Negara Yaman memang sedang terganggu oleh perang saudara, tertulis dalam buku novel biografi The Monk of Mokha karya David Edgers dimana pejuang tanaman kopi harus berhadapan dengan tradisi penduduk Yaman yang suka membawa senjata. Tapi penulis novel ini yang merupakan keterunan Yaman Amerika menitik beratkan pada tema kopi, bukan mengenai politik dan tradisi membawa senjata. Di mana di Tarim ulama Ba'alawi membawa pena. Jadi novel ini tidak bisa langsung menjadi rujukan siapa orang Yaman sekarang.
Di Indonesia isu Ba'alawi bukan keturunan Rosulullah Saw juga menggema mengurangi citra baik Yaman sebagai leluhur Anshor. Padahal penelitian ini belum begitu mendalam, belum banyak ulama tertarik melakukan riset, dan sebagai orang awam seperti kita janganlah terpancing ikut dalam perdebatan.
Keilmuan Islam tidak hanya meliputi yang tertulis, bahkan tradisi wahyu Qur'an sendiri tidak selalu harus menuliskan hal yang tidak perlu bagi hambaNya. Juga dalam tradisi hadist, tidak semua hadist sohih diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai ulama hadist yang karyanya disebut sebagai kitab paling sohih setelah Al Qur'an itu. Ulama hadist lain memperkaya jalur Sanad dan redaksi yang melahirkan banyak sekali istilah hadist. Islam mengamini fenomena di luar teks. Kalau suatu kejadian itu bernilai ilmu pasti akan banyak ulama menulis tentang itu. Lagi pula teks itu selalu bersifat terbatas karena bersifat transenden. Kadang suatu bukti sejarah pada masa tertentu bisa dipercaya walau kandungan sejarahnya tidak benar. Lalu bukti sejarah itu menghilang, karena dibakar atau terkena bencana alam, hal seperti ini sudah biasa dialami masyarakat Islam.
Kalau kita pernah mendengar Kitab Tafsir Qur'an Jaelani pernah disandarkan kepada pengarang lain, keturunan Abdul Qodir Jilani penuh perjuangan mengembalikan nama pengarang kepada kitabnya. Dan banyak sekali kitab-kitab dibakar di Baghdad, termasuk kitab Al Jilani sendiri, yang karena kehilangan banyak kitabnya di masa sekarang beliau kerap disebut ulama yang tak memiliki keilmuan di bidang lain selain tasawuf. Sama halnya juga di Nusantara berapa banyak kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar Kesultanan Pasai, setengah mati penulis Indonesia seperti Abdul Hadi WM menyeleksi karya-karya Fansuri yang benar karyanya. Juga yang dilakukan Ajip Rosidi terhadap karya-karya Haji Hasan Mustopa. Jika penulis jaman sekarang berhasil mengumpulkan teks dan mengubah citra seorang ulama atau sebuah bangsa, karyanya tetap saja tidak bisa meredupkan citra yang hidup di masyarakat selama berabad-abad.
Kalaupun benar Ba'alawi bukan turunan Nabi, tidak layak kita merendahkan bangsa Yaman, disebut sebagai penjajah Indonesia, yang selain irrasional, kita juga malu sebagai orang Islam yang tak tahu sejarah Islam.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar