Minggu, 17 Agustus 2025

ESAI

Tabi',Tabik, dan Ittiba'
M. Taufan Musonip


"Dalam Tajul 'Arus Nabi bersabda, siapa berittiba kepadaku, maka ia adalah ahlul baitku. Dengan menyitir ayat suci Al Qur'an di mana Nuh ingin menyelamatkan anaknya di lautan, tapi Allah Swt berfirman: tidak, dia anakmu bukan ahlimu!

 

The Light Movement
Dmitry Kustanovic (born 1970).


Tabi' biasa kita dengar dalam istilah Nahwu, artinya suatu kata (kalimah) yang mengikuti mutabi'nya. Biasanya pada jenis-jenis jumlah (kalimat) berbentuk 'atof (frasa dengan huruf penghubung seperti: وَ- فَ – ثُم – حَتَّى – أَوْ – أَمْ – بَلْ – لاَ – لَكِنْ), atof bayan (frasa saling hubung tanpa huruf penghubung) badal (penjelas), taukid (penguat, atau perulangan) dan naat (kata sifat).

Ada juga istilah tabik, ini dari bahasa sansakerta, tapi artinya bisa semakna dengan tabi' dalam bahasa arab tadi. Artinya mengormati, tapi pengormatan dalam kata ini bersifat hierarkis, artinya ucapan permisi kepada yang lebih tua. Bahasa itu asalnya satu, kemudian jadi berkembang karena pengaruh alam, lidah orang tiap bangsa berbeda-beda, jadi mengalami transformasi bunyi dan pergeseran makna tapi memiliki akar makna yang serupa.

Antara tabi' dan tabik mengandung adab hierarkis. Menciptakan sikap hormat dan mengikuti. Meski istilah tabi' hanya merupakan secuil dari ragam istilah Nahwu.

Keilmuan

Istilah tabik sering dipakai dalam acara-acara resmi dalam budaya masyarakat Lampung dan Bali, tapi saya sering mendapatinya di dalam suatu tulisan opini atau esai. Jadi tabik itu sering berhubungan dengan unsur keilmuan. Sedangkan tabi' bisa berkembang kedalam kata taba'a fiil madhi tanpa huruf ziyadah yang pada akhirnya membentuk kalimat attaba'a dan melahirkan istilah ittiba' yang artinya juga mengikuti.

Dalam tradisi ittiba' itu ada rasa hormat dan tawadhu, ini biasa diamalkan kaum sufi dengan ittiba ini mereka melahirkan peradaban ilmu. Mereka menentukan guru yang benar-benar bisa diikuti, dicontoh dan bisa diambil ilmunya. Karenanya guru bagai dewa, dan mereka percaya guru adalah para kekasihnya Allah. Guru ini tidak hanya ahli dalam bidang ilmu, tapi dalam mengamalkan dan juga memiliki ahlak agung, kaum ilmuwan yang sudah merasakan ilmunya tak bisa membuka jalan pada kedamaian, baik secara ruh dan badani berguru pada Sang Maestro Ahlak, di sana mereka berkhidmat mengajar ilmunya pada murid-murid dari kalangan bukan ilmuwan maupun yang sudah berilmu tapi ingin melengkapi keilmuannya. 

Guru Ahlak itu melahirkan tradisi ilmu ladunni, yaitu tradisi belajar-mengajar secara non formal. Lautan ilmunya adalah ilmu makrifat yang membuat semua pejalannya haus akan ilmu. 

Tapi tradisi ittiba' itu dilahirkan dari tabi' mulai dari keluarga, karenanya Haji Hasan Mustopa menulis transformasi manusia dari tabi' kepada orang tua sampai tabi' kepada kalamullah dengan membelah dua narasi. Narasi kiri dan kanan, kiri adalah suara syaitan yang mempertanyakan tabi' kepada orangtua dalam soal ibadah syariat (islam) dan kanan suara malaikat. Pembelahan ini terjadi sampai tingkat ihsan dan syahadah. Dimana seorang manusia tidak butuh lagi pengawasan orang lain selain dirinya dan Tuhannya, setelah sebelumnya mengalami pergolakan rasional, kenapa dirinya harus tabi' kepada orang tuanya? Pergolakan rasional ini harus dalam bimbingan Al Qur'an dan Sunnah seperti dalam Risalatul Muawwanah, tapi ia akhirnya membutuhkan teladan.

Jika ia memilih Tuhan sebagai pengawasnya kelas spiritual akan meningkat ke maqom sidikiyah (maqom refleksi perjalanan ruh) yang sudah tak mengalami pembelahan perspektif lagi (Gelaran Sasaka di Kaislaman, Buku Haji Hasan Mustopa jeung Karya-karyana, Ajip Rosidi).

Khofi
Beda hal lagi istilah tabi' dalam Tajul Arus, ia dimulai dari taubat. Kitab yang ditulis oleh Ibn Atthoillah Sakandari dan disarah dalam Taklim Sidi Syech Rohimuddin ini dikatakan siapa ingin taubat ia harus dawam bersuci dan tabik kepada Rasullullah Saw dengan ittiba' secara jaliy yaitu mengikuti syariat Islam secara utuh (Syahadat, Solat, Zakat, Puasa dan Haji) dan ittiba secara khofi yaitu ittiba batin dengan mengikuti seluruh ahlak Rosulullah SAW. Ittiba batin ini tidak hanya melaksanakan seluruh rukun Islam dengan iman, tapi menyambungkan ruhani dalam ibadah langsung kepada Allah Swt. Landasannya adalah taubat, sedangkan di masa sekarang orang yang bisa menggiring orang bertaubat lahir dan batin adalah Guru Mursyid, ia yang alim dan yang ruhaninya selalu terhubung kepada Allah dengan bukti dohirnya adalah ahlaknya. Taubat dalam pengertian tabi' ini, bersifat terus menerus. 

Dalam Tajul 'Arus Nabi bersabda, siapa berittiba kepadaku, maka ia adalah ahlul baitku. Dengan menyitir ayat suci Al Qur'an di mana  Nabi Nuh As. ingin menyelamatkan anaknya di lautan, tapi Allah Swt berfirman: tidak, dia anakmu bukan ahlimu!

Tabi'-tabik-ittiba adalah kelindan yang melahirkan obor taubat yang mengiringi perjalanan suluk dengan Sang Guru Ahlak yang kemesraannya bagai ayah dan anaknya.*










Tidak ada komentar:

Posting Komentar