Minggu, 12 Mei 2024

ESAI

 Rasa Pahit Kosmos sebagai Medan Baqo'

M. Taufan Musonip


Cat (1990)
Karya Kayama Matazo
Dari Web Jaded in Japan



"Jamali itu khazanah keindahan Allah yang membuat hambanya merasa akrab, sedangkan jalali itu khazanah keagungan Allah yang membuat hambanya merasa takzim. Yang satu mencetak para wali yang terakhir mencetak para ulama. Yang satu mencetak para Penyair yang satunya politisi. Yang satu sufi yang satu fuqaha.


Di Manakib yang diadakan di H. Agus Kp Kongsi, Ajengan Ubang Asy'ari berkata dalam pengajian Kitab Tauhid Sanusiyah. Bahwa keyakinan itu harus sampai pada tahap rasa. Proses mencapai tahap keyakinan itu ada waham, syak, dzon, dan yakin.

Dalam Tasawuf Modern -Buya Hamka keyakinan juga memiliki tiga tahapan: Ainul yakin, ilmul yakin dan haqqul Yakin. Sedangkan dalam Kajian Qotrul Goits yang diampu Kyai Muzzaki Aziz ditambah lagi dua tahapan yaitu tahapan fana' dan Baqo'.

Baqo' itu menurut Kyai Muda lulusan Al Falah Ploso ini adalah tahapan humanisme: ia yang telah fana yaitu proses peleburan ke dalam sumber pengetahuan dan cinta, hasil gapaiannya akan diaplikasilkan dalam tataran kosmos.

Sachiko Murata (bukunya: The Tao of Islam) dengan apik melukiskan istilah fana dan baqo' dalam konsep Yin dan Yang sebagai adat ketimuran yang lebih dekat kepada Islam. 


Al Isro:57

Fana itu karib, sedangkan baqo itu takzim. Sachiko Murata mengambil nukilan ayat suci Al Qur'an -yang sampai saat esai ini ditulis saya tidak bisa lagi mendapatkannya dalam buku tersebut, meski sudah sering membolak-baliknya hingga lama sekali ide menulis esai ini terhambat, dan saya juga tidak mendapatkannya dalam Al Qur'an digital- tapi rasanya senada QS. Al Isro:57 ini:

Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.

Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut turun berdasarkan asbabun nuzun orang musyrik Arab yang menyembah jin, sedangkan jin yang dijadikan sesembahannya telah masuk Islam. Lebih jauh lagi dalam berbagai riwayat hadits yang disampaikan di dalam kitab tafsir tentang surat ini, yang dimaksud berhalaan di sini merupakan sosok Isa, Malaikat dan Uzair ada juga yang menyebut Isa, Ibunya dan Uzair. Akan tetapi titik pembahasan yang ingin disampaikan di sini adalah kata dekat untuk rahmat dan kata takut untuk takzim. Murata sangat concern dengan pembagian dua realitas ini yang mulanya bersumber pada jamali dan jalalinya Allah.

Jamali itu khazanah keindahan Allah yang membuat hambanya merasa akrab, sedangkan jalali itu khazanah keagungan Allah yang membuat hambanya merasa takzim. Yang satu mencetak para wali yang terakhir mencetak para ulama. Yang satu mencetak para Penyair yang satunya politisi. Yang satu sufi yang satu fuqaha.

"Manusia bagai dua sisi mata uang," ujar Murata. "Khalifah sekaligus seorang hamba." Di mata Allah ia harus sebenar-benarnya hamba di mata kosmik ia khodim yang mengemban amanah menyampaikan hukum-hukum Allah. Dunia Islam memang dihiasi dengan dua kutub manusia Islam yang cenderung memilih kehambaan dan kekhodiman. Kadang mereka berseteru seperti kasus hukuman mati Al Hallaj dan Suhrawardi, kadang berdamai seperti Imam Qusyairi bertemu Ibnu Taimiyah, atau Sultan Harun Al Rasyid yang kerap bertemu dan meminta masukan kaum sufi jalanan. 

Nabi Muhammad Saw. pun menunjuk Uwais Al Qorni, orang Islam yang tak pernah beliau temui secara dhohir tapi dianggap sebagai rujukan maqom hamba Allah yang sebenarnya hamba, yang karenanya saat Umar Ibn Khottob Ra. Menjadi khalifah ditakdirkan bertemu Uwais Al Qorni beliau turun dari kudanya dan menyalaminya.

Dalam buku Kebijaksaan Orang-orang Gila (Uqala Al Majanin -Abul Qosim Naishaburi), kekhodiman Uwais ditunjukkan saat beliau membantu perang siffin masa Khalifah Abu Bakar Ra. 

Khodim itu baqo', hamba itu fana. Sachiko terkadang membalikannya Khodim itu fana dan hamba itu baqo'. Kekhodiman menjadi cenderung esoteris, setidaknya ini menarik, sebab dengannya Manusia Islam bisa hadir di hadapan kosmos seiring rasa kehambaannya kepada Allah semakin tinggi. Ia semakin peduli lingkungan dan masyarakat dalam proses menjadikan dirinya sebagai insan mukmin yang akrab dengan Penciptanya. Muroqobah seorang sufi mencari jalan takzim di tataran kosmos. Seperti istilah nyumput buni di nu caang-nya TQN suryalaya, menyepi dalam keramaian!

Butir Keempat

Kosmos sebagai tempat hadirnya masyarakat dan lingkungan adalah tempat bertambatnya yakin dalam tahap rasa seperti disampaikan Ajengan Ubang di atas tadi. Tanpa kosmos, suatu kebenaran baru sekadar waham. Belum sampai pada merasakan mikaasih kanu mikangewa dalam butir keempat Tanbih Abah Sepuh Ra. Kosmos itu pahit tapi ia amanat. Dan medan takzim kepada Allah. 

Kosmos merupakan medan penerapan (amaliyah) hukum dan ilmu pengetahuan. Cara mencintainya pun dengan hukum dan ilmu pengetahuan. Ini akan menguraikan rasa sulit dalam bermasyarakat. Hukum dan ilmu pengetahuan yang hadir karena proses Tadzkiyatun Nafs, tetap bersumber pada syariat. Tapi pelaksanaannya penuh dengan khidmat kebijaksanaan seperti Khalifah Ali Ibn Abu Thalib dalam Nahj Al Balaghoh yang saya kutip dari Ensiklopedia Tasawuf ini:

Meski kupukul hidung orang mukmin karena marahku ia akan tetap sahabatku. Dan meski aku berbuat baik kepada orang munafik karena dakwahku ia akan tetap menjadi musuhku.

Cinta tidak harus selalu berbentuk kelembutan-kelembutan yang melenakan. Cinta mengandung teguran dan pelajaran. Seperti saat Abah Anom Ra. memarahi Kyai Sandisi muda yang tak mau tinggal di Suryalaya. Marah Abah Anom Ra. Marah karena Allah.*








Tidak ada komentar:

Posting Komentar