Menaklukkan Kegelisahan dalam Perenungan atas Modernitas
Oleh: M Taufan Musonip
1/
Usaha perburuan gagasan telah membuat
kegelisahan begitu dirayakan. Kehidupan modernitas sudah begitu mengerikan. Di
setiap sudut jiwa selalu bergaung lolong serigala, yang membuat kelelawar
selalu beredar menghinggapi tiap-tiap ruang kosong yang telah lama berlumut dan
lembab. Itulah yang telah menjadikan kehendak penciptaan terus menerus
mengkremus kabut hitam dalam setiap langkah.
Manusia modern sebenarnya bisa
jadi tengah terjebak dalam hegemoni perayaan
kegelisahan itu. Ia didesak oleh semacam kebaruan-kebaruan yang hendak
diciptakannya. Ketidakmampuan mengatasinya, membuat mereka terjebak dalam
jurang-jurang hedonisme, tapi sesungguhnya dia hidup diantara geliat ciptaan-ciptaan,
menjadi semacam konsumsi.
![]() |
Popo Iskandar, Kucing Cat minyak di atas kanvas / Oli on canvas, 120 x 145 cm, Inv. 150/SG/A (1975), |
Sampai di sana kegelisahan bukan
menjadi takluk. Kehancuran gagasan bukan pertanda munculnya kekuatan akan
tetapi sebaliknya: sebuah pemandangan tentang peradaban yang runtuh, atau
rapuhnya kebudayaan sebuah bangsa.
Maka ada dunia kepenyairan dalam hal
ini, dunia yang digadang-gadang mampu membangkitkan keberdayaan manusia melalui
khazanah penciptaan, runtuhnya gagasan menjadi semacam pemandangan yang begitu
syahdu karena penciptaan di dalamnya hampir-hampir tak bisa dikaitkan dengan
konsumsi.
Dunia dalam kepenyairan seolah
berlari pada awal mula dunia diciptakan,
memburu muasal bebunyian dalam resonansi alam semesta. Oleh karenanya ia
merupakan pakem ---jika tak bisa dikatakan sebagai kritik--- atas modernitas.
Berbicara syair saya mengenang
pembicaraan sahabat saya seorang suluk. Syair menurutnya adalah sebuah daya
cipta yang melampaui kadar intelektual manusia. Ia menceritakan tentang hikayat
seorang syeikh yang ditinggalkan oleh murid-muridnya karena terpesona oleh
kecerdasan intelektual Ibnu Siwaleh salah seorang muridnya pula.
Kesunyian membawanya bermunajat di
sebuah pesisir, tentang keinginannya memiliki ilmu yang tak bisa dengan mudah
dimiliki oleh manusia biasa. Sang Syeikh mendapati ilmu menggubah syair sebagai
ilmu paling tinggi diantara ilmu-ilmu yang ada. Maka terminologi bahar yang mengandung arti kata laut
menjadi metodologi menggubah syair yang dalam artian luas adalah semacam penggabungan
ketukan para tukang pandai besi pembuat pedang masyarakat pesisir dengan debur
ombak yang ia hayati ---Saya tak sempat mendapatkan informasi kitab apa yang
memuat cerita itu, terlebih penulisnya. Hanya ia mengatakan saja dengan enteng
bahwa hikayat itu termuat dalam Kitab Kuning yang banyak di pelajari para
santri.
2/
Dia sendiri menyejajarkan kata pengarang
sebagai musonip yang lebih lanjut
dapat diartikan menjadi seorang penggubah kisah atau syair yang memautkan
aksara dengan alam semesta.
Aksara menurutnya adalah buah dari
petikan suara-suara semesta yang mendengung dalam kepekaan indera manusia. Maka
dalam usaha estetik, aksara bukan semata-semata usaha pikiran membentuk kalimat
dalam resonansi itu. Usaha estetik adalah ketika aksara berbicara sebagaimana
adanya. Tentulah hal ini bertentangan dengan prinsip peak experiment dan epiphany
yang banyak diyakini para penyair modern, di mana menggubah puisi hanya sekedar
memahami alam semesta demi kebutuhan tubuh dan pikirannya.
Dari sanalah sebenarnya secara
psikologis perburuan gagasan menghasilkan kegelisahan terus menerus, karena
pikiran dan tubuh memautkan nafsu penciptaan yang terus menerus pula. Ada
semacam ambivalensi ketika puisi dikatakan sebagai antidot dari pasar,
alih-alih ia menjadi konsumsi penyairnya sendiri.
Tentu kita akan menelaah sejauhmana
aksara sebagai rembesan suara semesta berbicara sebagaimana adanya itu. Para
penganut dekonstruksi yang menggeser unsur lange
menjadi tidak begitu penting ketimbang parole
dalam struktur bahasa, sesungguhnya tengah meramaikan hadirnya perayaan
kegelisahan. Namun di sinilah sebenarnya penggalian kedalaman atas teks-teks
yang ada mengalami kebuntuan. Dekontruksi jelas sekali menanamkan jiwa
eksistensial yang mengatakan manusia sebagai pusat kehidupan. Baginya teks tak
memiliki arti keberhadiran, keberhadiran justru muncul dalam diri pembaca.
Maka pertanyaan sebenarnya menjadi,
kapan tepatnya dekontruksi berbicara kedalaman saat ia berhadapan dengan sebuah
teks, di kala dia sendiri berada dalam tubuh dan pikirannya yang terbatas.
Dekonstruksi pada akhirnya semacam hedonisme, tatkala kedalaman tak mampu ia
gapai, sadar betapa dirinya hidup dalam keterbatasan, merayakan kegelisahan
saat-saat upaya penciptaan itu begitu tersumbat.
Sebenarnya kawan suluk saya ingin
mengatakan bahwa upaya menggali kedalaman pada akhirnya adalah bentuk
tingkatan-tingkatan keilmuan. Untuk menggali teks kitab suci Al Qur’an misalnya
perlu beberapa instrumentasi yang dimiliki ---diantaranya pemahaman tata
bahasa, hikmah, ilmu falak, tasawuf dsb--- itupun dia masih meyakini bahwa
setiap bunyi teks akan menghasilkan multitafsir, meyakini bahwa sejauh-jauhnya
manusia menggali kedalaman diantara selubung tubuh dan pikiran, apa yang
tersembunyi belum tentu sepenuhnya di dapat.
Namun dia meyakini adanya seseorang
di masa depan dapat menafsirkan teks kitab suci dengan keyakinan sebuah
inkarnasi Ketuhanan dalam dirinya, ia adalah pengembara kesunyian yang memiliki
ilmu hikmah atas gerak alam semesta. Dan dia adalah seseorang yang melakukan
perlawanan atas kegelisahan dirinya sendiri. Meyakini Allah ada dalam urat
lehernya sebagai pelindung yang menentramkan, membimbingnya mencipta sesuatu
dalam kadar kesenian yang tinggi menguasai semesta menurut dengung suara alam
sebenarnya.
3/
Terlalu berat sebenarnya pemahaman
kawan suluk itu. Tetapi sebenarnya ia bisa jadi semacam penyadaran bahwa
penghancuran-penghancuran dzat keberhadiran dalam teks ---yang telah membuat
manusia begitu adikuasa terhadap alam semesta, mengeksploitasinya tanpa
reserve--- akan menemui ajalnya ketika sang uzlah turun dari bukit kesunyiannya
untuk meluruskan yang telah bengkok.
Namun revolusi bukan ditunggu, ia
diciptakan. Saya melihat bahwa sang uzlah adalah para penyair yang membangun
“tatanan baru”, menyepi bukan dalam artian sempit seperti dikatakan kawan suluk
itu, ia adalah siapa kita yang berkhalwat dalam keramaian, yang selalu suka
cita bahwa menulis syair bukanlah tujuan akhir, karena kehidupan bukanlah upaya
penciptaan terus menerus akan tetapi sebuah jeda di mana ciptaannya adalah kesadaran
yang selalu bekerja membangun tahapan-tahapan kebenaran demi kemaslahatan
masyarakat dan lingkungannya.
Bagaimanapun kesusastraan haruslah
berimbas pada kebudayaan, maka puisi adalah kesadaran diri di mana kejujuran
dan rasa welas asih di dalamnya menjadi terejawantah di dalam kehidupan.
***
Cikarang, 5 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar