Oleh: M Taufan Musonip
Sebuah kritik atas karya sastra di era informasi sekarang ini memautkan genre kritik sastra yang mandiri di antara genre-genre sastra lainnya. Muatan seni didalamnya akan lebih pekat ketimbang hanya membicarakan soal orisinalitas karya dan makna yang di bedah sebagai esensi bendawi sebuah teks sastra.
Ini memberi ekses genre kritik sastra akan lebih dilirik oleh para penikmat seni sastra. Atau seperti istilah yang dikemukakan Arif Bagus Prasetyo bukan lagi sebagai jembatan yang dibangun antara sebuah karya dengan pembacanya, namun jembatan mewah yang dibuat sang kritikus sebagai stimulus menikmati genre kritik.
Jika demikian, maka hal terpenting dari kritik sastra adalah memunculkan keberhadiran sang kritikus diantara para kritikus biasa yang muncul dalam kanal-kanal media informasi. Sebagai pembeda dirinya dengan para pengamat biasa itu. Bagaimana mencari hubungan antara soal keberhadiran yang muncul menanggapi lahirnya sebuah karya. Sebab jika ia ingin dikatakan lebih dari pada sekedar pengamat biasa maka ia harus mempersiapkan sebuah bahasan yang membuat dirinya menjadi lebih diapresiasi melalui karyanya yang sejajar dengan genre-genre sastra lainnya.
Menyoal keberhadiran seorang kritikus di era pascamodernis berbeda wacana tentunya dengan bahasan tentang para kritikus abad dunia cetak, saat itu teks begitu kuat memberi pengaruh hegemonik pada para pembaca, memberi ruang sempit penafsiran. Dahulu setiap kitab atau buku sangat mempengaruhi sikap dan kebudayaan sebuah masyarakat. Dan setiap buku yang terbit pada masa itu hampir bisa dikatakan mirip kitab suci tanpa tawar lagi, dijadikan pegangan di dalam kehidupan, bahkan sejatinya sebagian telah terlanjur menjadi mantra.
Kritik Al Gazali dalam buku Tahafut Al Falasifah terhadap buku-buku para pemikir Islam telah menciptakan peradaban baru gemilangnya keilmuan iluminatif dengan ditandai bergulirnya terbitnya kesadaran menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama, namun disertai juga runtuhnya kebudayaan tinggi ketika Al Ghazali memvonis kaum intelektual Islam di Andalusia menggauli ilmu-ilmu filsafat Yunani sebagai kafir.
Di jaman era informasi, genre kritik hanyut pula dalam percepatan yang disedikan teknologi digital, masing-masing mahzab mempengaruhi para pembaca begitu cepatnya, pembaca sendiri memiliki daya tawar dalam artian mendalam atau dangkal. Mendalam karena ia melakukan pengkayaan epistemologis atas karya-karya kritik yang dinikmatinya, dangkal disebabkan ia melibatkan diri dalam kritik atas karya sastra yang ada tanpa memperluas cakrawala keilmuannya.
Ini dibuktikan tidak munculnya kritikus-kritikus baru yang dapat mengimbangi lahirnya pengarang dalam genre lain secara ironis di jaman informasi yang bebas kritik ini. Para pengkritik bebas yang hadir di media informasi nyatanya kurang memiliki keinginan untuk mendalami ilmu-ilmu kritik guna membangun dirinya untuk benar-benar menjadi seorang kritikus yang hadir secara extra-ordinary.
Bagi saya sendiri kritik tak ubahnya reproduksi sub atomik atas neukleus dalam pengertian kritisisme. Oleh karenanya bukanlah semata persoalan isi, tapi adanya upaya pembentukan harmonisasi kesan-kesan yang membuat sebuah teks sastra menemukan kesempurnaan dalam kelindannya terhadap jejak manusia yang mengerti bahwa dirinya mengalami keterbatasan ketika gagasannya terbungkus dalam badan teks. Seperti ketika Goenawan Mohamad dalam esainya saat mengenang kepergian Umar Kayam, yang mengatakan bahwa bahasa bagaimanapun panjangnya tak dapat menampung makna besar yang muncul dalam gagasan.
Bahasa memiliki kerancuan dalam usaha membangun makna yang disampaikan. Isi teks bukanlah menjadi apa yang hendak disampaikannya. Ia adalah apa yang kita inginkan dalam pembacaan. Sejauhmana terawang kita melalui kacamata epistemologis, serta keasikan kita mengurai ketidakgramatikalan kata dalam diksi-diksi yang dibangun teks sastra. Faktor epistemologi dan craftmanship si pengarang saat memunculkan teks-teks yang penuh dengan kejutan, ambivalensi, hiperbolik yang begitu kompleks. Saat itu pula kita dapat menemukan bahwa diksi akan memunculkan retakan-retakan yang berisi kekosongan, memiliki peluang untuk sebuah kritik. Momentum reproduksi sub atomik muncul di sini dalam upaya penyusunan kata, dapat menghidupkan teks yang dikritik termasuk kalimat yang dibangunnya.
Teks sastra yang dikritik dapat hidup karena kritikus melakukan diskursus dalam harmonisasi kesan baik dan buruk yang dapat menerbitkan kritik atas kritik, atau dalam istilah lain memunculkan semacam dislokusi saat ditemukan hasil tafsiran sebuah teks mengandung makna yang tak dapat ditafsirkan dalam satu arah pendapat. Kritisisme pada dasarnya adalah keseimbangan dalam rekontruksi tubuh bahasa, hasil dari rangsangan yang muncul saat ia membedah sebuah teks dengan apa yang kita yakini dalam esensi teks. Artinya kritik yang baik adalah kritik yang menghasilkan kritik, atau wacana, sebagai mana karya sastra yang apik menghasilkan kritik.
Maka kritik sastra pada era informasi ini berfungsi bukan hanya pakem terhadap taklid atas karya-karya yang ada, termasuk pada dirinya sendiri yang menjadi inti dimulainya kritik atas kritik. Nah, guna membentuk hal itu maka dibutuhkan semacam keahlian pembangunan kalimat dalam khazanah estetikanya sendiri yang membangkitkan kritik, sehingga pembicaraan tentang sebuah karya akan ramai membentuk wacana.
Akan tetapi tidak harus berakhir di sana, kritik harus pula menjadi daya guna bagi manusia di era informasi ini menyadari betapa dirinya begitu memiliki kekuatan melakukan kritik terhadap apa yang dirasakannya dalam bentuk kekaryaan, menyadari pula bahwa setiap kata yang dibangun dalam sebuah karya memiliki tempat yang merangsang dirinya untuk membentuk bahasa kritik tanpa mengesampingkan tekad memenuhi subtansi dalam pengayaan wawasan.
Dengan begitu budaya kritik akan melahirkan manusia yang memiliki kekuatan atas pengaruh-pengaruh yang muncul secara cepat dalam gelombang digital, menghindari euforia, kooptasi kekuatan politik massa, veyourisme dan cinta buta terhadap golongannya sendiri.
Ironisnya pula ketika Indonesia dihadapkan kepada suasana demokrasi yang gemilang, kritisisme yang menjadi tonggak intelektualisme sebuah bangsa, masih saja memperalat kritik sebagai upaya membela kepentingan sendiri, termasuk dalam sastra Indonesia, kritisisme baru semacam bentuk pembelaan kelas-kelas dan kutub-kutub sastra. Padahal sejatinya, era informasi tengah menjanjikan kemajuan-kemajuan yang muncul pasca abad cetak bahwa penuhanan karya seperti yang terjadi masa-masa Tahafut Al Falasifah tidak terjadi kembali, menimbang begitu mudahnya kita mengakses ilmu-ilmu yang ada, yang saling mengisi berbagai kekurangannya.
***
Cikarang, 5 April 2011
Dimuat di Majalah Sabili 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar