Sabtu, 31 Agustus 2024

ESAI

Menciptakan Adab dalam Menimba Ilmu

M. Taufan Musonip


"Semua orang yang ada di sekitar kita, duduk, berdirinya, berjalan dan diamnya sudah atas ijin Allah. Ini adalah prinsip utama kaum sufi. Semua orang yang lalu lalang di hidupnya, adalah kado terindah dari Allah.


Lukisan Karya Etiye Dimma Poulsen



Ia membeli dua buah coklat kesukaan anaknya, saat ia melihat si tukang parkir yang mangkal di pelataran Supermarket. Saat itu membeli coklat dan ingat kesukaan anaknya bukan timbul karena dorongan memenuhi rasa kasih sayang anaknya yang sangat menyukai coklat, tapi karena kesal harus selalu menyisihkan uang kembalian untuk membayar parkir. Karena tarif parkir ilegal sudah lazim, kekesalan itu sudah meresap ke alam bawah sadarnya. Ia harus menukar uang pecahan seratusan untuk uang dua ribuan si juru parkir.

Padahal ia bisa saja memberikan uang lebih besar dari dua ribuan untuk si juru parkir. Karena kesal akibat dampak kultural dari kerusakan sistemik yang membuat tukang parkir ilegal ada di mana-mana ia terkena virus bakhil, menukarkan uang menjadi pecahan, dan selintas ia merasa telah memboroskan uangnya. Ingat istrinya tidak lagi memberi terlalu banyak coklat pada anaknya, coklat memang makanan yang konon bisa meningkatkan kecerdasan, tetapi di sisi lain manisnya coklat membuat lidah anaknya tak mau lagi berpetualang mencari kenikmatan pada makanan yang lain. Anaknya jadi kurang menyukai makanan pokok.

Saat ia menghidupkan mobilnya untuk segera pergi dari supermarket itu, si tukang parkir malah tidak kelihatan batang hidungnya untuk melayaninya memarkirkan mobilnya. Apes benar katanya! Sudah memboroskan uang, ia tak dilayani. Letak masalahnya bukan pada "tidak dilayani" tapi pada "membeli coklat" agar uangnya menjelma recehan.

Dalam perjalanan ia menerka-nerka sambil ia mencoba lagi perdengarkan nasihat-nasihat bijak seorang filsuf dari tape radio mobilnya itu.

"Apa si tukang parkir itu mengawasi gerak-gerikku, menukarkan uang untuk uang dua ribuan yang akan diterimanya?" Begitu suara batinnya.

"Goblok benar kalau begitu! Apa gunanya aku rajin mendengar nasihat-nasihat bijak kaum filsuf setiap kali ada kesempatan, jika kali ini jiwa bajikku kalah dikuliti si tukang parkir secara rahasia." Ia memutarkan setir kendaraannya, dan kembali melintas di supermarket itu, si juru parkir terlihat sedang memarkirkan beberapa kendaraan. Kebetulan ada satu kendaraan keluar, dan malah tidak membayar tarif, hanya mengacungkan jari maaf. Si tukang parkir dengan ikhlas mempersilahkan mobil itu.

Ia menepi sebentar dan menarik nafas seperti habis terkena tinju dengan kekuatan super besar. Lalu ia mematikan audio mobilnya, ia ingin melupakan semua pekerjaan-pekerjaan yang tengah dijalaninya seharian itu.

Buahnya Ilmu

Semua orang yang ada di sekitar kita, duduk, berdirinya, berjalan dan diamnya sudah atas ijin Allah. Ini adalah prinsip utama kaum sufi. Semua orang yang lalu lalang di hidupnya, adalah kado terindah dari Allah.

Termasuk kado itu berbentuk bala', ia bisa menggugurkan dosa-dosa kita, atau paling tidak segala keburukan yang menimpa kita akan memperbaiki hidup kita. Di sini lah Syech Abu Yazid pernah berkata jika nanti ia harus memberi syafaat, maka yang akan ia beri syafaat adalah musuh-musuhnya.

Orang yang terkena bala' akan memikirkan apa alasan ia dirundung masalah dan bagaimana cara memperbaikinya. Orang yang dianugerahi kebaikan belum tentu terpikirkan apakah sistem hidup yang ia yakini itu akan menyelamatkannya hingga akhir hayat. Tentu setiap orang ingin mendapatkan kado dalam bentuk jamaliNya, diberi kemuliaan di dunia tapi ia senantiasa bisa mengaktifkan akal, kalbu dan gerak tubuhnya. Tapi keistimewaan itu bisa jadi hanya bisa diterima orang-orang spesial.

Saat tulisan ini dimuat saya tengah membaca buku Mencari Belerang Merah, buku biografi tentang Ibn Arabi, yang ditulis penulis Barat. Meski tidak puas karena ada nafas-nafas orientalismenya, buku itu menceritakan proses Ibn Arabi dalam berkarya, ia selalu menyempatkan mewawancarai kaum fakir di kalangan sufi. Ibn Arabi kadung dikenal sebagai filosof-sufi, karenanya banyak yang percaya, beliau hanya mendapatkan pengalaman spritualnya tanpa bimbingan, padahal beliau bermursyid -lain kali insyaallah akan saya sarikan dalam tulisan lain. Ciri orang mempelajari tasawuf dan mengamalkannya dengan bermursyid indikasinya adalah spirit buminya dalam bahasa Islam dikenal sebagai tawadhu. Ia senantiasa akan selalu berguru. Meski ia sudah memiliki guru ruh yang agung.

Prinsip tawadhu ini adalah buahnya ilmu, sebagaimana tertulis dalam kitab besar tasawuf Tanbihul Ghofilin tentang keutamaan ilmu. Tawadhu itu cara menaklukkan ilmu ke dalam adab. Karenanya Mama Sempur Purwakarta, ulama seribu guru itu yang dikenal para santri sebagai perintis jalan "toriqoh aing mah ngaji" kemungkinan besar bermursyid. Lain kali boleh kita meneliti lebih jauh ulama-ulama syariat itu memang mengikuti jalan suluk, untuk mendapatkan buah adabnya dalam menimba ilmu. 

Dari kamar seorang filsuf kita mendapati seseorang yang tengah membaca buku babon tentang psikologi relasi manusia. Ia sulit memahami bagaimana kesendirian itu tetap fatalistik meski dirinya dikelilingi buku-buku babon karyanya pula. Ia sadar kesendirian pun membutuhkan orang lain sebab benda-benda yang mendukungnya saat membaca kitab-kitab besar adalah hasil karya orang lain, sebagaimana izin yang ia dapatkan dari masyarakat saat ia menyendiri. Tapi ia tetap tak menemukan bagaimana bisa ia harus menundukkan egonya untuk bisa memahami semua gerak manusia yang mungkin akan selalu menghambat cita-citanya.

Relasi yang Awet

Ia sudah mendapatkan urat-urat kesadaran menuju adab. Dan mendapatkannya, tidak ada jalan selain mencari guru, terutama guru agama. Syukur-syukur mendapati seorang Guru Mursyid, di sana ia akan diajarkan bahwa semua pengalaman yang di dalamnya ada banyak sekali manusia adalah guru juga baginya. 

Seorang Bijak Berkata: "Bisa jadi gurumu itu tukang parkir, yang tahu sikapmu dalam memperlakukannya sebagai resiko yang kamu selalu bilang: rusaknya tatanan. Padahal tatanan itu terdiri dari dirimu sendiri. Peradaban memiliki kata dasar adab, kerap disandingkan dengan perwujudan kemajuan ilmu. Adab yang harus selalu didahulukan adalah adab kepada Allah, yang mengirimkankanmu kepada tatanan, tak ada yang menghambatmu, yang ada engkau sendiri yang menghambat pikiranmu." 

Relasi yang awet yang mungkin bisa kita bangun hingga akhir hayat adalah saat kita senantiasa menjadikan sahabat yang ahli dalam bidang tertentu dan itu penting bagimu adalah menjadikannya seorang guru. Dari proses itu kita akan lebih mengetahui arti dari adab yang merupakan kata dasar dari peradaban itu: menghargai siapapun yang sudah mau mengajari kita.*







Tidak ada komentar:

Posting Komentar