Selasa, 10 September 2024

ESAI

Pancang Kebijaksanaan dan Peradaban dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan

M. Taufan Musonip




"Adab menjadikan ilmu berkembang, mempertahankan kelestarian kitab klasik dan seharusnya menjadi landasan kitab-kitab kontemporer yang menjadi medan pelestarian kitab-kitab terdahulu.

Iseng-iseng di hari Minggu saya mendapati buku Manusia dan Lingkungannya karya Penulis Belanda. Buku seri filsafat Universitas Atmajaya. Di dalam buku itu ada tulisan tentang "hasrat ingin tahu" sebagai daya pantik seorang manusia bisa menjadikannya seorang filsuf dengan dimulai dari sebuah pertanyaan:

"Apakah seorang filsuf itu dia yang pandai bicara dan sulit dikalahkan (dalam setiap diskusi)?"

Kemudian penulis menyitir kembali arti dari philosopher dari salah satu kamus Bahasa Inggris: Philos artinya yang mencintai dan Sophen yang berarti Kebijaksanaan. Makna filsafat nyatanya tentang kebijaksanaan. Yaitu cara menggunakan dan memperlakukan ilmu.

Jadi dalam alam kehidupan masyarakat Islam, ahlak filsuf itu seharusnya lebih dekat ke sufistik. Kata sophen pun lebih terdengar dekat ke bunyi kata sufi. Kefilsufan itu mungkin awal dari jiwa sufi.

Menuntut ilmu itu memerlukan hasrat. Agar semua penghalang yang menutupi jalannya pencarian ilmu bisa disingsingkan. Hasrat mengetahui ini adalah hasrat alam malakut, hasrat intelektual, tempatnya para malaikat menyampaikan segala ilham. Seharusnya juga dilalui seorang sufi. Karenanya hasrat itu bagai istilah An-Nafs dalam kalam-kalam sufi. 

Hasrat Pengetahuan

Musti dibersihkan dahulu dari nafsu rendahan untuk mencapai hasrat pengetahuan. Hasrat yang bisa merintangi jalan pencarian ilmu adalah egoisme, karena perjalanan ilmu adalah medan yang menempatkan si penuntut ilmu sebagai bumi yang selalu siap menerima limpahan cahaya dari matahari. Pada awalnya Ia tak menginginkan apapun menutupi dirinya dalam menerima pengajaran. Karenanya ia menyiapkan penampang-penampang yang bisa lebih luas lagi mendapatkan limpahan pengetahuan. Karenanya seorang penuntut ilmu harus melampaui kefilsufan. Ia ingin penampang kalbunya terlibat dalam menyerap sumber-sumber ilmu. Selain itu kalbunya menginginkan ilmu-ilmu yang didapatnya sebagai pondasi kebijaksanaan. Sebagaimana makna filsuf tadi.

Karenanya seorang filsuf tidaklah harus sering-sering bicara dan menanggapi semua permasalahan kehidupan. Letak kehebatannya adalah memperlakukan ilmu dalam cara menyampaikan atau menggunakannya. 

Seorang filsuf harus memiliki jiwa seorang sufi. Juga sebaliknya seorang sufi. Dua-duanya adalah pasak bumi kehidupan dunia. Saat umat manusia membutuhkan kebijaksanaan sekaligus keadaban.

Ahlak sufi yang lebih mengutamakan tradisi keadaban, mengembangkan hampir semua cabang-cabang ilmu, sedangkan ahlak kebijaksanaan, mempertahankan ilmu dalam akidah. Kebijaksanaan dalam khazanah Islam menjaga ilmu. Sebab terkadang aktifitas falsafi, dipantik kehendak bebas. Karenanya maknanya kebijaksanaan agar kehendak bebas digantungkan berbagai jenis nilai-nilai hukum. Sebagaimana Muhammad Iqbal, "dengan terpenjaranya jiwa bebas oleh ikatan-ikatan hukum, seorang manusia akan mendapatkan kekuatan kehendak bebas untuk mengelola alam semesta!"

Ada buku tipis rujukan Kyai saya -semoga beliau selalu diliputi keberkahan dari Allah Swt- Rumus dan Istilah Fuqoha terbitan Lirboyo, isinya tentang istilah-istilah yang ada dalam kitab-kitab fiqih, mungkin ini bisa memberikan contoh bahwa adab sebagai tradisi sufi memiliki kemampuan mengembangkan keilmuan. Sejenis ensiklopedia kitab fiqih, mungkin karena bukunya tipis atau ingin lebih dikenal kalangan santri judulnya sangat teknis.

Di dalam buku tsb ada susunan kelompok ulama sebagai berikut:

1. Mujtahid Mustaqil: ulama yang mampu menggali hukum langsung dari Al Qur'an dan Assunnah dengan menggunakan teori-teori ushul yang mereka ciptakan sendiri, ini dikuasai oleh imam 4 mahzab.

2. Mujtahid Ghoiru Mustaqil Muntasib: Ulama yang sudah memenuhi kriteria mujtahid namun belum mampu menciptakan teori ushul sendiri, mereka masih berpegang pada kaidah-kaidah imam 4 mahzab.

3. Al Mujtahid Al Muqoyad Mujtahid Al Tahriji Ashabulwujuh: Para ulama yang mampu mencetuskan hukum-hukum yang belum pernah dijelaskan imam 4 mahzab dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah imam 4 mahzab.

4. Mujtahid Tarjih: Ulama yang mempunyai kemampuan mentarjih.

5. Mujtahidu fil Qotwa: ulama yang punya kemampuan kepedulian terhadap kelestarian kelangsungan mahzab.

6. Nudrutarjih: ulama yang mampu mengedepankan tentang perbedaan Tarjih yang terjadi di kalangan Mujtahid.

Tanbihul Ghofilin

Susunan ulama itu lahir karena adab, maka lahir lah peradaban ilmu, barang siapa di masa kini langsung mengambil peran di urutan teratas, seolah sudah menggapai kemajuan, tapi mundur dalam hal adab. Juga mundur dalam hal pelestarian keilmuan. Ilmu-ilmu yang lahir lebih dulu tetap lebih dekat kepada sumber ilmu.

Di halaman lain juga dikatakan jika ada perselisihan kalam ulama dalam suatu kitab maka yang lebih utama yang dapat diambil adalah ulama yang sudah teruji penerimaan oleh ulama mayoritas seperti fatwa imam Nawawi lebih utama dari pada fatwa imam rofi'i. Ada juga susunan kitab mana yang bisa didahulukan menjadi pegangan. Jadi kalau ada perselisihan yang dipegang tetap fatwa ulama dan kitab yang paling diutamakan oleh mayoritas ulama. Bukan oleh keputusan pribadi.

Adab menjadikan ilmu berkembang, mempertahankan kelestarian kitab klasik dan seharusnya menjadi landasan kitab-kitab kontemporer yang menjadi medan pelestarian kitab-kitab terdahulu.

Permasalahannya dalam runutan kitab-kitab fiqih tersebut dimanakah posisi kaum sufi atau ilmu tasawuf dalam menjaga tradisi adab? Memang itu harus dilakukan penelitian. Apakah setiap faqih tidaklah tergabung dalam kelompok sufi dan selalu bermusuhan dengannya?

Ada kalam Imam Syafii dan Hambali yang memojokkan kaum sufi, tapi di sisi lain keduanya memuji. Kelompok sufi memang tidak lepas dari pujian dan kritikan, karena pujian dan kritikan adalah bab hakikat. Ada pula ulama yang awal berjarak bahkan anti kaum sufi tapi akhirnya menjadi sufi. Seperti saat Ibnu Taimiyah bertemu dengan Imam Qusyairi diceritakan sangat apik dalam dialog oleh Fudholi Zaini dalam Sepintas Sastra Sufi, banyak ulama sekarang mengatakan akhir hidup Ibnu Taimiyah justru dibaiat menjadi seorang sufi.

Atau bisa jadi waktu dulu kesufian meresap dalam jiwa-jiwa ulama fiqih, karena guru-guru sufi rantai tarekatnya belum sepanjang sekarang. Sehingga adab ada di berbagai tindak keilmuan. 

Tapi yang paling nyata jelas adalah kitab tasawuf Tanbihul Ghofilin karya Imam Sya'rani, yang menulis kitab keutaamaan Ilmu, di mana dikatakan ulama fiqih itu sepanjang aktifitasnya adalah solat karena mengetahui hukum halal dan haram suatu pekerjaan. Sebesar itu apresiasi tasawuf terhadap keilmuan, dan apresiasi adalah bagian dari adab.

Filsuf dan sufi melanggengkan tradisi keilmuan, keduanya membangun hasrat mengembangkan keilmuan terus menerus. Yang satu pancang kebijaksanaan, kehendak bebas yang dikaitkan kepada berbagai aturan hukum. Yang satu lagi menjadi pancang lestarinya keilmuan dengan tradisi peradaban. Keduanya tahu cara menyerap dan menggunakan ilmu. Dua sisi yang sebenarnya tidak bisa dipisahkan dalam diri manusia Islam sebagai Ulul Albaab.*



 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar