![]() |
Lukisan karya Paul Klee Moon Play 1923 |
Mengikis Budaya Tekstualis dengan Pemikiran Falsafi dan Pengkhidmatan
M. Taufan Musonip
"Si calon filsuf harus mematikan api hasratnya. Lingkungan menginginkannya ia berhenti menjelajah alam pikirnya. Sebenarnya bukan saja karena realitas pengetahuan superior ia kalah. Tapi karena realitas bahwa pengetahuan itu sudah menjelma kultural yang membuat ia lebih baik mendatangi pusat-pusat pengetahuan yang menjadikan arah pengetahuannya berjalan ke dalam dirinya.
Ada video lucu yang berkeliaran di media sosial. Orang berwajah polos sedang mencoba memasukkan kata sandi pada komputernya. Yang dimasukkan sesuai kata yang diperintah layar komputernya. Dia mengetik kata "sandi" keluarlah perintah "kata sandi anda salah", kembali ia memasukan kata "Salah" lalu keluar perintah "silahkan coba lagi nanti' ia memasukan kata "nanti" hingga akhirnya ia tidak bisa menggunakan komputernya.
Ini humor yang lumayan berisi, jika kita punya selera humor tinggi. Meski banyak netizen menganggapnya video iseng biasa.
Orang Indonesia memang berjiwa humoris. Jiwa humoris ini menjadi daya tahan persatuan Indonesia. Meski beberapa waktu belakangan masyarakat Indonesia mengalami keterbelahan. Indonesia masih merupakan negara yang mewadahi masyarakat yang santai. Santai saja, tidak ada yang mengancam kesatuan Indonesia hingga hari ini.
Wolak-walike Jaman
Apalagi politik Indonesia sekarang tengah terjadi "wolak-walike jaman" orang banyak yang tidak menyangka kutub ekstrem yang bersebrangan justru malah bersatu. Sedang yang terlihat membersamai malah menjadi oposisi.
Orang sekarang kecewa kepada yang awalnya terlihat setia membersamai. Saat dalam kebersamaan kita merasa, teman tak akan mungkin khianat. Tak kelihatan ada belangnya. Sekalinya belok, kita merasa kecewa bak ditusuk dalam selimut.
Dulu seorang Penyair berkata kepada saya: Filsafat sudah tak ada gunanya lagi. Kalau begitu tanyaku, puisi-puisi dilahirkan sekarang jauh dari hasil permenungan penyairnya? Lalu apa itu puisi jika tidak dibangun dengan pemikiran? Apa orang-orang melupakan Muhammad Iqbal, yang menulis puisi karena pemikiran filsafat, puisi-puisinya menghidupkan spirit kekuatan pribadi -sumber-sumber ide kekuatan masyarakat dunia ketiga, meski ia mengambil sumber-sumber estetika dari puisi-puisi sufi. Jika filsafat tidak lagi berfungsi tinimbang teknologi dan politik dalam membangun masyarakat, bukan kah yang hadir hanya kepentingan golongan belaka? Dimana disimpan ide-ide autentik, yang menjadi kekuatan daya ungkit derajat suatu bangsa, melalui semua wacana keilmuan yang dekat dengan batin falsafi. Budaya filsafat mengajarkan orang agar tak mudah tertipu.
Anti falsafi akan melahirkan tekstualisme seperti sindiran dari fragmen orang polos dengan komputernya di atas. Puisi pun bisa menjadi medan tekstualisme jika menjauhkan diri dari permenungan: siapa saja bisa membuatnya, yang penting realitas yang melahirkan bunga kata-kata. Bunga kata-kata ini tidak harus dibuat orang yang sama sekali tidak tahu puisi. Justru sejatinya ia mengetahui seluk beluk puisi, tapi yang ditampilkan di dalamnya hanya sekadar realitas dalam syahwat estetika.
Pra Ilmiah
Semuanya menjadi pra ilmiah dalam Pandangan seorang filsuf Belanda yang menulis buku Manusia dan Lingkungannya -Buku seri Filsafat Atma Jaya. Lalu ia menuliskan nama Karl Popper, tentang aku eksistensial dalam beberapa paragraf. Tanpa nama filsuf Barat itu pun sebenarnya idenya tentang "hasrat pengetahuan" manusia sudah genial filsafat. Ia mencoba menundukkan kerumitan pikiran filsafat seperti buku-buku besar filsafat.
Menurutnya karena buku ini terbit sekira tahun 93an di mana internet belum sepopuler sekarang, berita-berita di tv, radio dan koran, dan semua kabar yang sampai kepada seorang manusia baru sekadar pengetahuan pra ilmiah, lembar penghalang menuju tingkat pengetahuan selanjutnya. Jenjang pengetahuan itu harus di peroleh dengan kesadaran keakuan manusia terlebih dahulu. Jika tidak, ia sendiri akan menyerahkan diri kepada pengetahuan-pengetahuan yang tidak memerdekakan. Pengetahuan harus mencapai tingkat paling subjektif. Tingkat paling tinggi tentu tingkat falsafi.
Keakuan itu dalam filsafat dalam buku berjilid warna kuning, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang runut dan baik itu, dikatakan: dalam filsafat semua orang yang ingin memaksimalkan pikiran dalam permenungan filsafat tidak lah bersifat benar-benar kosong, awalnya paling tidak seseorang memiliki hasrat ingin tahu, karenanya apapun yang menghalangi pengetahuan akan ia singsingkan. Hanya karena lingkungan lah seseorang akan mencoba meredupkan lampu permenungan filsafatnya dengan mencoba berdamai terhadap yang superior yang tak mungkin kita coba lebih jauh menelisiknya. Sang filsuf mengutip bahasa budaya Indonesia dengan: harus tahu saatnya tidak tahu!
Pusat-pusat Pengetahuan
Si calon filsuf harus mematikan api hasratnya. Lingkungan menginginkannya ia berhenti menjelajah alam pikirnya. Sebenarnya bukan saja karena realitas pengetahuan superior ia kalah. Tapi karena realitas bahwa pengetahuan itu sudah menjelma kultural yang membuat ia lebih baik mendatangi pusat-pusat pengetahuan yang menjadikan arah pengetahuannya berjalan ke dalam dirinya.
Orang-orang bahkan rela menjadi pengkhidmat para ulama yang terkadang dianggap berlebihan. Mereka memiliki dalil adab seperti halnya malaikat yang bersujud kepada Adam As, sebagai tanda dari eksistennya ilmu Allah. Dalam tradisi seperti ini, keilmuan dianggap mengalami kemunduran. Mungusung jargon "harus tahu saatnya tidak tahu" tadi.
Mengejutkan misalnya jika dalam pengajian Tarekat yang dianggap telah telak meninju filsafat itu kini mulai membangun pengertian bahwa pengajaran dalam tradisi amaliyah itu mulai didekati kalam teologi Islam (tauhid) yang mengatakan fardhu 'ainnya dalil ijmali yang bernuansa filsafat dan mulai mengarahkan wacana tentang Al Hudus (Transenden) dan Al Qodimnya (Imanen) Semesta dan Penciptanya di antara pendengar yang kebanyakan adalah kelas akar rumput agar dalam memutuskan menjadi khodimnya Guru Spritual ia tidak tergelincir dari aqidah Islam. Ada juga gerakan tarekat yang banyak didatangi oleh kelas menengah dalam Ribath Nouraniyyah Hasmiyah yang Mursyidnya masih muda-muda itu pun tersedia buku Teologi Sufi Nusantara yang pendekatannya Falsafi sambil mengatakan bahwa pendekatan aqidah untuk melihat gerakan ketarekatan, menjauhkan pembacaan dari pecahnya keilmuan tasawuf, yang cenderung menyesatkan: ada kelompok yang berjalan di jalan spiritual sendirian, ada yang dibawah bimbingan ruhani, ada juga yang melalui wacana isyari. Dengan keadaan itu, orang banyak yang menggampangkan ilmu tasawuf dengan membaca buku sufi saja, orang sudah menjadi sufi, dan bisa menulis puisi sufi.
Karenanya kelompok tarekat mulai bicara, melalui elemen epistemologi yang sering tak sadar dihindari yaitu elemen rasa-intuisi dengan tetap melewati proses falsafi, untuk menciptakan suatu aksiologi utuh masyarakat Islam. Ini sebuah kemajuan, terutama tarekat yang masih diminati masyarakat kelas bawah (tanda keberhasilan sebuah tarekat umumnya diminati kelas akar rumput), bisa belajar tentang pengetahuan lanjutan, melampaui era sains dan falsafi sendiri. Untuk menyikat kerak-kerak tradisi tekstualis, yang anti kesusastraan dan hanya suka bermain di area-area kulit.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar