Islam dalam Bahasa Indonesia dan Tradisi Buku sebagai Realitas Jaman
M. Taufan Musonip
![]() |
Para Santri di Pengajian Sabtuan Di Makbaroh Kyai Madroi |
"Buku dan modernitas menjadi bagian dinamika masyakat Islam di Indonesia, anak kandung kolonialisme sekaligus malinkundang kolonialisme itu sendiri tapi dimasa sekarang menjadi jarak bagi tradisi sanad tadi yang sebenarnya merupakan bentuk keilmuan yang sangat terukur dan bersifat menjaga keilmuan Islam.
Buku, bahasa Indonesia, dan pembelajaran sendiri adalah sebuah realitas keindonesiaan walau dilahirkan dari cara Belanda melahirkan masyarakat jajahan yang rasional, yang kelak akan membantu kolonialisme itu sendiri.
Dulu orangtua-orangtua kita terbiasa menulis dalam aksara arab, meski bahasanya Jawa, Sunda atau Melayu. Ini karena pendidikan saat itu adalah pendidikan Islam metode sanad, tidak memakai bangku sekolah seperti saat ini. Dalam metode sanad itu kita diajarkan memilih guru yang tsiqoh, keilmuan pun sangat terjaga, menulis kitab harus benar-benar terjaga dari kitab ulama terdahulu, metodenya seperti tafsir Qur'an, setiap ayat yang ditafsirkan diberi tanda kurung, penafsirannya di luar kurung.
Memilih guru tsiqoh dalam tradisi hadist ada tuntunannya, misal dalam tradisi jarah dan ta'dil, ada kitab yang menulis tarajim para perawi hadist, tiap nama perawi dituliskan biografinya, lalu dijarah dalam artian dicari kekurangannya, apakah semasa hidupnya sering fasik, berbohong dan ahlaknya terkenal tidak baik, apakah ia termasuk orang yang sering menulis hadist palsu, dll.
Pakem Sanad
Belum lagi pakem-pakem hadist, dalam berbagai lafaz yang seragam seperti Sami'na, Ambarona, Hadatsana, untuk hadist sohih. Dan ada juga lafaz mu'anan yang harus diteliti lebih lanjut karena lafaz 'an senada dengan kata dari, yang belum bisa dipastikan murid dan guru bertemu dan sejaman.
Pakem sanad dalam kitab kuning ini menandakan jaringan ulama yang kuat antara yang ada di pusat (mekkah) dan periferi (Nusantara, Maroko, Afrika, Eropa, Persia). Karenanya Kyai Said Aqil Siroj dan intelektual Islam seperti Azyumardi Azra dalam dua bukunya Jaringan Ulama dan Historigrafi Islam kontemporer mengatakan Islam berkembang dan aktual di wilayah pinggiran, bukan di pusatnya, banyak ulama lahir dari kaum Ajam.
Tradisi sanad ini memperkuat soliditas Islam, bukan saja pusat dan daerah, tapi antara guru dan murid, jika guru katakan A murid pun akan A meski tinggal di tempat berjauhan. Antara ibadah dan muamalah pun berpadu kuat, kaffah. Ini karena peran guru-guru tarekat, yang mengikat khazanah Islam, Iman, Ihsan. Mereka awalnya yang melakukan perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara, baik dari sisi keilmuan atau politik.
Jauh sebelum Belanda menciptakan Politik Balas Budi, Snouck Hurgronje meneliti masyarakat Nusantara di haramain, beliau masuk Islam, bertemu Haji Hasan Mustopa yang dijuluki Jawa Pinter, karena selain alim HHM jago berbahasa Asing. Ternyata HHM orang ningrat Sunda yang sempat mendapat didikan Belanda oleh F Holle dan saat sekolah dijemput ayahnya untuk dikirim ke Pesantren karena takut masuk Kristen.
HHM menjadi sahabat Snouck. Karena Snouck kenal dengan pejabat Belanda, HHM yang sudah jadi Hofpenghulu dikirim ke Aceh, negeri nusantara yang sulit dikalahkan Belanda dalam buku HHM jeung Karya-karyana karangan Ajip Rosidi, HHM tidak disukai Belanda di Aceh, karena cepat sekali dekat dengan penduduk dan ulama setempat. Saat mau dicopot, Snouck malah membela.
Surat-surat HHM ke Snouck menjadi bahan kajian Belanda untuk menciptakan strategi melemahkan perlawanan rakyat Nusantara. Awalnya beredar isu soal masyarakat buta hurup yang tidak bisa menulis dan membaca bahasa latin, yang mengakibatkan masyarakat jawa yang menulis bahasa Jawa Pegon pun disebut buta huruf, kampungan dan ketinggalan jaman.
Ini fase dimulainya tradisi buku mengalahkan tradisi kitab tadi. Masyarakat Nahdiyin setia menjaga, tapi modernitas lebih dulu merangsek tatanan kolonial dan masyarakat Nusantara, timbul kesadaran organisasi mulai dari Sarikat Dagang Islam hingga Muhammadiyah, mereka menulis perlawanan dalam bahasa latin. Hatta yang notabene lahir dari keluarga Naqsabandiyah sekolah di Belanda, Hamka menjadi Muhammadiyah padahal ia lahir dari keluarga tarekat.
KH. Hasyim Asyari
HHM pun punya anak jenius jago main biola dan besar dalam didikan Barat. HHM sendiri orang tarekat, ia pernah singgah di Suryalaya, dia sering memberi ajaran tasawuf kepada para pengikutnya. Tapi dalam buku HHM jeung Karya-karyana tidak disebutkan beliau dari tarekat mana, tapi seperti kegemaran ulama sufi beliau banyak menulis syair sufi dalam bentuk pupuh.
Buku dan modernitas menjadi bagian dinamika masyakat Islam di Indonesia, anak kandung kolonialisme sekaligus malinkundang kolonialisme itu sendiri tapi dimasa sekarang menjadi jarak bagi tradisi sanad tadi yang sebenarnya merupakan bentuk keilmuan yang sangat terukur dan bersifat menjaga keilmuan Islam.
Karenanya NU meski didirikan oleh orang-orang Islam tradisi sanad lahir belakangan, dibanding Muhammadiyah dan SDI karena bagi masyarakat Nahdiyin tradisi sanad sudah cukup bisa menjaga kemurnian nilai Islam. Tapi jaman berubah, NU perlu modernitas dengan membangun organisasi, mereka pun mulai mendidik santrinya ke arah dhohir, ini realistis, modernitas menuntut pembangunan lahiriah dan rasional. Karenanya resikonya meninggalkan tradisi tarekat yang dianggap terlalu membawa masyarakat Islam ke soal-soal karomah. Banyak santri sekarang selain enggan bertarekat juga menjadikan tarekat sebagai ranah yang tinggi ranah bagi orang berusia lima puluh tahun ke atas dan mulai melupakan ulama-ulama ahli fiqih nusantara jaman dahulu adalah murid tarekat. KH Hasyim Asyari sendiri merupakan murid Tarekat QN yang kemarin dipaparkan sejarahnya oleh KH Chalwani di Jatman dalam satu acara Musyawarah Besar baru-baru ini.
Tema-tema sufi mulai dilirik oleh sastrawan seperti seperti setidaknya Abdul Hadi WM dan Kuntowijoyo, keduanya dari Muhammadiyah dan juga jangan lupakan Buya Hamka yang menulis Buku Tasawuf Modern, tiga ponggawa sastra itu bisa menarik orang modern masuk tarekat dan kembali merintis jalan Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
Kitab kuning harus dijaga dan dilestarikan, dan diaktualkan dengan tradisi kitab putih dan Bahasa Indonesia, sekarang mulai banyak buku yang menulis tentang ulama-ulama masa lalu, dari murid tarekat yang rajin menulis adalah DR Ajid Thohir. Sudah ijin Allah Islam dan Indonesia bertemu dengan modernitas masyarakat dengan tradisi buku, untuk mengatakan kitab kuning pun merupakan Bab Hudus sebagaimana Al Quran dalam tradisi Ahl Sunnah Wal Jamaah yang Hudus sekaligus Qodim melahirkan tradisi Tafsir. Juga meneruskan realitas Islam yang berkembang karena orang Ajam seperti dikatakan KH Said Aqil Siroj tadi. Yang berarti Islam berkembang dan mengembangkan bahasa-bahasa asing pula.*
Allah Hu Alam Bisowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar