Jumat, 27 Juni 2025

DARI BUKU KE BUKU

Tasawuf yang Tertindas Pandangan Abdul Hadi terhadap Puisi Sufi

M. Taufan Musonip


Lukisan Stacy Lund Levy,
Pelukis Amerika
(L. 1965) Berjudul Summer Fling I,
cat air 22 x 29".


Takwil-takwil Abdul Hadi terhadap Puisi-puisi Hamzah Fansuri mirip takwil murid sufi kepada gurunya, sangat tenang dalam arti sabar di antara resonansi karya yang di ta'wilnya, pendapat pribadi dan kalam-kalam Qur'ani dan Al Hadist. Yang membuat pendapat pribadinya justru sangat dipengaruhi oleh kalam sumber utama

Membaca Buku Tasawuf yang Tertindas buah karya Abdul Hadi WM seperti perjalanan menuju lembah yang di tengah dalamnya ada perbukitan lagi.

Sublim. Abdul Hadi mengajak menuruni lembah dengan tenang. Menikmati jalan setapak teofani, yang kadang diperlihatkan jurang yang curam. Perjalanan teofani adalah jiwa kesabaran bagai anak tangga, yang tiap titiannya adalah keteraturan yang transenden. Seperti utamanya tema-tema sastra profetik.

Dengan titian-titian tangga itu pembaca bisa menikmati setiap rimbunan yang melapisi dada-dada lembah. Pelan melingkar seperti burung elang menguntit mangsanya. Abdul Hadi telah sampai lebih dahulu di puncak gunung, gunungan itu adalah intelek akan adanya sumber inspirasi dari Al Qur'an dan Al Hadist.

Setelah itu kalam-kalam ulama sufi. Lalu lembah-lembah paling bawah adalah konsep-konsep yang disaring untuk memetakan batu-batu pemikiran estetika sufi yang mengantarkan kepada puncak spritual bukitan Si Anak Dagang Hamzah Fansuri. 

Bagaimana bisa memahami sekaligus merasakan kebeneningan jiwa ulama sufi, hanya dengan titian ilmu? Merasakan itu tak cukup dengan keilmuan, tapi meniti jalan dengan sebenar-benarnya kaki, memandang dengan sebenar-benarnya mata. Badan yang aktif yang ditujukan langsung kepada Sang Maha Pemilik badan dalam bentuk ibadah yang akan menghasilkan pikiran terpusat dan jiwa yang dikuasai rasa cinta Yang Menggerakkan. Dalam kaidah ilmu tasawuf semua perangkat epistemologi harus bergerak, badan, pikiran dan kalbu harus bertindak menujuNya.

Tapi dalam kaidah sufi pula, kita mengenal istilah Malamatiyah. Ada kelompok tarekat yang menyembunyikan citra kesolehannya tapi amal solehnya, amal soleh kaum sufi.

Abdul Hadi bukan sekali-dua perhatian terhadap religi sufi ia bahkan menjadikan sufisme sebagai konsep estetika dalam buku-buku esainya misalnya Kembali ke Akar kembali ke Sumber atau Hermeneutika, Estetika Religuisitas atau Sastra Sufi: Sebuah antologi. Dan hampir semua puisi-puisinya syarat religi sufi.

Tarekat dan Kreativitas

Menulis buku merupakan amal soleh yang semua perangkat epistemologi bisa bergerak, seperti puisi itu sendiri, pemikiran dialirkan melalui gerak jemari dan kata. Jadi menjadi sufi itu bukan hanya dilihat dari sering ia menghadiri majelis dzikir tapi yang lebih penting bagaimana amal sosialnya terhadap dunia sebagai perladangannya.

Abdul Hadi tidak sering menyebut kata tarekat, yang kalau dipandang dari bukunya yang cukup tebal itu -bisa dikatakan masterpiecenya Abdul Hadi- ternyata merupakan wahana kreatifitas, saking pentingnya istilah kreatifitas demi menyublimkan ajaran Wahdatul Wujud Al Hallaj, Hadi mengartikan Ana Al Haq sebagai "aku adalah kebenaran kreatif", ini penting karena sebab tujuan dari penyucian jiwa hasil dari tempaan mujahadah dzikir adalah karya. 

Abdul Hadi menyebutkan komponen-komponen ilmu tasawuf dan estetika yang merupakan bentuk nyata sufisme yang transenden mulai dari ayat-ayat suci Al Qur'an:

Dialah   Yang    Awal    dan  Yang   Akhir,  Yang  Zahir dan    Yang    Batin;     dan     Dia    Maha      Mengetahui  segala sesuatu. (Al Hadid-3).

Kami      akan      memperlihatkan     kepada     mereka tanda- tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada   diri mereka  sendiri,  sehingga jelaslah bagi    mereka bahwa   Al Qur’an  itu adalah  benar. Dan    apakah    Tuhanmu    tidak    cukup    (bagimu)  bahwa  sesungguhnya  Dia  menyaksikan segala sesuatu? (Al Fusillat-3).

Juga dilengkapi hadist-hadist qudsi tentang Hakikat Muhammadiyah, Tentang Allah Swt sebagai Perbendaharaan Tersembunyi.

Dari Ayat Qur'an dan Hadits itu beliau dengan runut menjelaskan metode tafsir dan takwil dan makin sublim lagi mengetengahkan konsep-konsep takwil dari ulama-ulama sufi dari mulai Imam Ja'far shodiq, Ibn Arabi, hingga Al Ghazali. Takwil itu setara dengan hermeneutika dalam istilah barat. Suatu capaian tafsir untuk bahasa-bahasa sekunder menurut Istilah A. Teeuw, dalam tradisi Islam disebut Mustasyabihat, yang memiliki kandungan sastra lebih tinggi. 

Takwil dan Etika Murid

Dalam tradisi taklim lisan misalnya disampaikan oleh Syaikhuna Rohimuddin Al Bantani tentang Hakikat Cinta -Memahami Bahasa Takwil yang Sempurna, Takwil itu bukan sekadar pembedahan teks sekunder -Teeuw menyatakan demikian dikarenakan teks lapis kedua ini memerlukan dua kali tafsiran, kadang bernuansa individualitas, dan lebih intim- akan tetapi mengandung adab seorang murid ketika menerima kalam dari Mursyidnya, kalam-kalam sufi yang cenderung esoterik tak bisa ditafsirkan langsung tapi merupakan perlambang kearifan sang guru yang harus dipelihara. Jika akal murid belum mampu mentakwil kalam-kalam gurunya, etika murid adalah tidak langsung menyampaikannya kepada khalayak. Ia akan menunggu gurunya mentakwil kalamnya sendiri.

Takwil-takwil Abdul Hadi terhadap Puisi-puisi Hamzah Fansuri mirip takwil murid sufi kepada gurunya, sangat tenang dalam arti sabar di antara resonansi karya yang di ta'wilnya, pendapat pribadi dan kalam-kalam Qur'ani dan Al Hadist. Yang membuat pendapat pribadinya justru sangat dipengaruhi oleh kalam sumber utama. 

Abdul Hadi menganggap bahwa puisi sufi merupakan proyeksi dzikir, berbeda halnya dengan Kuntowijoyo dalam Muslim Tanpa Mesjid yang mengatakan puisi merupakan syiar Islam. Yang belakangan disebut cenderung eksoterik, dengan mengatakan bernada istifam: apakah karya seni akan membuat manusia menjadi taat? Belum tentu, seni hanya akan membangkitkan suasana penikmatnya dan membangkitkan perasaan menjadi manusia beragama. 

Abdul Hadi lebih esoterik dengan mengatakan puisi Islam sebagai proyeksi dzikir, untuk mengingat Allah. Kuntowijoyo berjalan keluar, sedangkan Abdul Hadi mencari tangga ke atas. Abdul Hadi menghadap pada Dzat dengan perjalanan wasil sedangkan Kuntowijoyo cenderung menganalisa sifat-sifat Allah melalui ciptaanNya. Keduanya bisa dilihat dari intensitasnya menulis fiksi. Yang satu puisi yang satu prosa. Yang satu lebih rajin menulis esai tentang karya sastra yang satu lagi suntuk dalam penulisan sosiologi.

Itu perlu dikemukakan sebagai perbedaan ideologi dari kedua tokoh Sastrawan Profetik meski boleh saja kita mengatakan Abdul Hadi sebagai pelanjutnya.

Abdul Hadi kerap mengutip Hadist Qudsi:

"Aku Perbendaharaan tersembunyi, maka aku mencipta supaya Aku dikenal."

Sebagai penyangganya diutarakan hadits lain:

"Karena engkau ya Muhammad Aku menciptakan dunia."

Takwil beliau bernuansa Hakikat Al Muhammadiyah, a'lam kosmologis memberikan isyarat-isyarat Sang Pencinta sebagai bentuk keteraturan syariat, Abdul Hadi itu dari kalangan Islam puritan, ia memang dari Muhammadiyah, memang harusnya demikian, tapi jika membandingkan dengan sastrawan lain misalnya Syed Naquib Al Attas atau Ali Audah, keduanya lebih rasional, katakanlah Naquib yang afirmatif kepada istilah otoktoni, suatu budaya masyarakat nusantara yang sudah lebih dulu memiliki azas-azas keagamaan yang sejalan dengan agama baru, bahkan mengandung kepercayaan monoteisme, memungkinkan mudah menerima agama luar seperti Hindu, Budha dan Islam sendiri, memahami sinkretisme sebagai sebuah proses penerimaan yang terkoneksi dengan jiwa seni. Sikap seni orang melayu menurutnya merupakan suatu tapisan dalam menerima agama-agama luar menjadi lebih irasional (tata upacara semata). 

Syed tidak menjelaskan secara tegas hubungan otoktoni (buku Esai Islam dan Sejarah dalam Kebudayaan Melayu) dengan jiwa penerimaan seni orang Melayu saat itu. Yang keduanya justru terasa kontradiksi. Tapi Misi Syed jelas Islam adalah penyumbang jiwa rasionalitas orang Melayu.

Bagi Syed Seni adalah cara yang diramu oleh pemikiran untuk menyampaikan Islam. Abdul Hadi menyebut Syed Naquib yang lebih longgar dalam mengumpulkan karya Hamzah Fansuri, tidak terlalu ketat dalam melihat karya dari sisi kematangan bahasa dan keilmuan tasawuf dalam sajak-sajak Fansuri yang memungkinkan meloloskan sajak-sajak orang sebagai sajak penyair dari Barus itu.

Tasawuf dan Istana

Abdul Hadi mencoba menyeimbangkan khazanah seni dan pemikiran dalam menilai sajak-sajak Fansuri.  Buku setebal hampir 500 halaman itu menuliskan terlebih dahulu sepak terjang Sang Syech Qodiriyah melawan kedangkalan aqidah sufi kaum istana, yang ditukangi ulama sufi dari India Ar-raniri yang nuansa sufinya bersinkretisme dengan budaya India, karenanya bercampur dengan tradisi-tradisi Hindu. Aliran wujudiyah dirayakan dengan dangkal, dengan membangun suasana-suasana berahi pada tempat-tempat istirah Dan upacara Istana.

Perlawanan Fansuri mendapatkan hukuman, kitab-kitabnya dibakar, riwayat hidupnya tercekal hingga sekarang, tidak jelas kelahiran dan masa hidup beliau. Abdul Hadi melukiskan Hamzah Fansuri merupakan tokoh sentral sublimitas Sufisme sebagai Syariat Islam, yang sebenarnya tidak mengandung kontroversi. Lakon politik Hamzah Fansuri berkebalikan dengan Syech Siti Jenar, yang kontroversial melawan ajaran Wali Songo sebagai ulama syariat. Kontroversi Fansuri adalah negasi takwil dari ulama Istana dalam memahaminya jika tidak bisa dikatakan ada kepentingan politik.

Abdul Hadi dengan sabar membantu Syech Fansuri dalam menakwil pemikiran-pemikirannya yang mu'tabar yaitu sesuai dengan tuntunan Qur'an dan hadist. Abdul hadi berlayar di lautan kata-kata Mursyid Qodiriyah ini, dengan khazanah kitabiyah ulama sufi tentang Bahrayn, kapal, ikan tongkol, ikan gajahmina, ka'bah badani, ka'bah langit, ka'bah dunia, unggas uryani. Yang jika kita telaah kita akan sangsi jika beliau tidak lah bertarekat atas kepandaiannya memetakan simbol lahir kepada yang batin. Ikan gajahmina yang tinggal di permukaan dan ikan tongkol di perairan dalam. Tentang ma'al hayah dalam khazanah pertemuan dua air laut saat Musa As dan pembantunya mencari Khidr, air kehidupan yang bermuara pada eksistensi tersembunyi Khidr sebagai penanda pengetahuan batin, yang tidak bisa diperoleh sendiri, harus menanggalkan semua perasaan bisa menguasai al-ilm secara pribadi atau sendiri. Pengetahuan kreatif adalah ombak yang kedalamannya bisa diraih dengan kesadaran bahwa ombak makrifat adalah gejolak lautan dalam. 

Siapa yang tak mampu menanggalkan diri ego yang tidak mau menyatakan diri yang fakir atas semua bentuk kepemilikan sebagai titipan Allah maka ia akan habis dimakan oleh ganasnya ombak makrifat, karenanya dalam pelayaran makrifat seorang murid membutuhkan sahabat yang membimbingnya. Mempelajari tasawuf tidak hanya dengan cukup memahami kitab-kitabnya, tapi juga dengan melalui perjalanan yang memahamkan diri yang bisa fana dengan kesadaran hudus.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar