Senin, 02 Juni 2025

ESAI SASTRA

Licentia Poetica dan Penggunaan Bahasa Pergaulan

M. Taufan Musonip



Tempered Elan (1994)
Karya Kandinsky



"Belakangan memang ada kesan penyair modern hanya berkutat dalam kesenian dan mengesampingkan pemikiran. Bahkan ada satu penyair yang sudah cukup lama melintang di dunia sastra pernah mengatakan filsafat sudah tak diperlukan lagi. 

Jika kita memaknai riuhnya hari lahir maestro penyair Indonesia yang menyebabkan Indonesia memiliki kesadaran akan kepenyairan dan kesusastraan, apa sebenarnya yang telah kita dapatkan dari karya-karya Chairil Anwar untuk kita hari ini di Indonesia?

Chairil Anwar menulis puisi dengan bahasa sehari-hari, menambatkan Bahasa Indonesia bukan saja sebagai Identitas Bangsa tapi sebagai identitas kemajuan. Apa yang menyebabkan Chairil berhasil menjunjung bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mengangkat martabat bangsa Indonesia? 

Bahasa Indonesia di tangan Chairil bukan saja dibebaskan dari anasir-anasir lama bahasa melayu, yang tidak menemukan aktualitasnya bersama pemakai terkininya, tapi juga dari tradisi menulis puisi yang kaku, yang membatasi daya juang pemikiran di dalamnya. Batas-batas itu diterabas dengan licentia poetica yang menggambarkan individualitas kepenyairan Chairil. Lisensi pemikiran itu juga sering kita dapatkan dalam puisi-puisi Subagyo Sastrowardoyo yang tak mau pakem efektifitas baris puisi agar pesan pemikirannya 'selesai' dalam puisi-puisinya.

Licentia Poetica

Ternyata licentia poetica ini lebih cenderung bersandar kepada pemikiran bukan seni -misalnya sekadar membentuk typografi bait puisi atau bentuk rima. Bahasa sebagai unsur lahir yang dibangun oleh rasa-estetika bukan tempelan-tempelan kata asing, ia adalah kulit yang dibentuk oleh pikiran. Sebagai medium sastra bahasa yang membentuk puisi sudah diuji terlebih dahulu dalam masyarakat. Bukan kata yang diambil untuk menggantikan kata klise dari Tesaurus.

Dalam hal ini sebelum Chairil, Hamzah Fansuri juga diakui melakukan pembaruan pula dalam perkembangan bahasa melayu, sampai-sampai Abdul Hadi WM dengan nada sangsi dalam Buku Tasawuf yang Tertindas mengatakan, pada masa Hamzah Fansuri hidup (sekira abad ke-6) Bahasa Aceh kemungkinan belum ada. Atau bisa jadi kemungkinan bahasa Melayu eksis menutupi keberadaan bahasa Aceh karena dianggap mewakili intelektualitas dan kemajuan.

Ternyata menurut Hadi kemajuan sebuah bahasa itu bagai lautan yang sungai-sungainya diisi oleh bahasa pergaulan. Di tangan Hamzah Fansuri Bahasa Melayu menyerap bahasa Arab dan Jawa sebagai daerah sumber peradaban, bahasa-bahasa pergaulan itu diuji-cobakan pada masyarakat lokal, dengan diajak mempelajari keilmuan-keilmuan Islam terutama Ilmu Tasawuf karena menghasilkan tradisi kesusastraan.

Membiasakan bahasa keilmuan dibicarakan dalam masyarakat maka bangun puisi pun dibangun dengan bahasa sederhana tapi memiliki kandungan pemikiran yang agung. Kandungan pemikiran itu juga mengubah pakem-pakem bentuk penulisan sastra dari luar, Hamzah Fansuri mengubah pakem-pakem cara penulisan puisi Parsi yang disesuaikan dengan selera lokal. Dalam bahasa Sunda yang pernah menerima pengaruh besar budaya Mataram karena pernah menganeksasi wilayah tersebut, pujangga besar Haji Hasan Mustopa pun mengubah pakem-pakem geguritan Mataram, agar pemikiran keagamaannya bisa sampai (Ajip Rosidi Haji Hasan Mustopa Jeung Karya-karyana).

Syed Muhammad Naquib Al Attas dalam esai panjangnya Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, mengatakan, pemikiranlah yang membangun pembaruan, bukan seni, seni itu rancang bangun metodik. Menurut beliau Islam telah turut andil membangun kesadaran pemikiran masyarakat Melayu. Berbeda dengan Abdul Hadi, Al Attas meragukan sumber peradaban itu Jawa. Jawa itu masyarakatnya bernuansakan seni, sebab menurut beliau agama Hindu dan Budha di Jawa hilang unsur falsafahnya dan itu tergambar dalam banyak sekali naskah sastra kunanya, Cerita-Cerita Panji banyak mengandung unsur takhayul yang lebih tersebar di masyarakat dibandingkan Naskah Negarakertagama yang tidak memiliki salinan dan hanya ada di almari Istana Raja, naskah ini merupakan salah satu bukti adanya peradaban pemikiran. Lagi pula memang benar kalau kita menilik Kitab Bagawad-gita setidaknya yang diterjemahkan oleh Amir-Hamzah, Agama hindu tercitra sebagai agama yang tinggi nilai teofaninya (pemikiran intuisi), tentang perang baratayudha, mirip ilmu tasawuf dalam Islam. Tidak mengandung kidung-kidung pengaggungan dewa-dewa, kental unsur agama moneteismenya.

Karenanya ia mempertanyakan kenapa tidak Melayu sebagai pusat Peradaban? Hamzah Fansuri dan banyak sekali ulama-ulama besar dari negeri Melayu yang menulis dalam bahasa melayu berperan menaikkan pamor Bahasa Melayu. Selain juga mencoba meluruskan gairah-gairah pemikiran masyarakat melayu yang terjebak oleh tradisi sinkretisme dan pendangkalan aqidah. 

Barang Seni

Belakangan memang ada kesan penyair modern hanya berkutat dalam kesenian dan mengesampingkan pemikiran. Bahkan ada satu penyair yang sudah cukup lama melintang di dunia sastra pernah mengatakan filsafat sudah tak diperlukan lagi. 

Dengannya puisi hanya sekadar barang seni yang isinya adalah pengalaman biasa tanpa ruang refleksi dan menjadi tempat tempelan bahasa asing untuk menghapus bahasa pergaulan yang harusnya direkayasa oleh pemikiran menjadi karya yang bisa diminati secara cukup luas, dan akan terus menaikkan pamor Bahasa Indonesia yang dekat dengan realitas bangsanya. Pemilihan kata agar Puisi tampak asing dengan bahasa tesaurus yang belum teruji, hanya ingin terlihat punya kekayaan bahasa.

Ciri karya seni yang eksis tanpa pemikiran maksimal adalah gambar-gambar rumit, puisi-puisi melankolis, yang tak mampu menyampaikan hal baru, hanya suara pribadi yang ingin dikenal sebagai penyair. Lalu menyatakan diri menulis puisi itu mudah, padahal dari berbagai macam tantangan menulis jenis tulisan sastra tentu menulis puisi paling sulit, setiap penyair menggenggam licentia poetica, suatu gairah individualitas yang bukan saja harus dikenal tapi juga layak dikenang.*




Tidak ada komentar:

Posting Komentar