Substansialistik NU dan Orang Malamatiyah
M. Taufan Musonip
"Silahkan kau ambil rumah sakit dan sekolah, tapi selain itu seluruh yang tak memiliki afiliasi langsung dengan Islam adalah punya kami."
Substansialisme dikenal oleh orang Indonesia saat Gus Dur lengser dan beliau terlihat memakai celana pendek di pelataran Istana Negara. Lalu ramai-ramai cendikiawan Islam menyebut substansialistik adalah ciri orang NU.
Substansialistik itu sebagai nilai yang tidak begitu enak didengar sebenarnya, kenapa? Sebab substansialistik itu tersembunyi. Tidak kelihatan. Tidak memerlukan kulit atau kemasan. Itu yang dipahami oleh orang Indonesia, setidaknya.
Karenanya orang NU sering dianggap tidak kontributif terhadap pembangunan Negara dan Bangsa dalam pengertian modern. Tidak membuat rumah sakit atau sekolah seperti Muhammadiyah. Tidak kelihatan jadi garda depan perkembangan sains dan teknologi. Bahkan anak-anak Gen Z ada yang berani mengatakan pesantren tidak bergandeng lurus dengan kemajuan.
Konsekwensi
Dulu banyak kelakar orang yang membandingkan NU dengan Muhammadiyah seperti anekdot: kalau terima menantu laki-laki kalangan NU pasti dari kalangan bawah dan sudah pasti polos. Gadis-gadis desa memilih kaum menengah kota dibanding ustad NU perkampungan. Sulit sekali mendapat perhatian anak-anak ulama pesantren besar. Adapun mendapat perhatian khawatir jadi istri muda Kyainya.
Ya itu konsekwensi NU karena substansialistiknya dari masyarakat kalangan bawah. Kalau dalam istilah Fenomenologi Edmund Husserl dalam pemikiran yang mungkin boleh dikembangkan orang NU semua realitas harus diterima dulu seluruhnya untuk menghasilkan suatu pendapat yang baharu. Tapi pemikiran Husserl pun salah satu pemikiran 'ada' yang mungkin tak disukai NU. NU subtansial sedangkan filsafat fenomenologi itu bermain di area kulit.
Orang NU akan berkata, untuk apa menjelaskan dengan kulit, yang subtansial tetap menghasilkan lebih banyak tentang semarak kebersamaan dan tidak pilih-pilih.
Prinsip kebersamaan dan tidak pilih-pilih itu lahir dari semangat malamatiyah dari orang tarekat yang dinaungi NU dalam organisasi Jatman. Ia adalah jiwa bersemangat beramal sosial tanpa harus terlebih dahulu memperlihatkan jiwa religiusnya. Orang malamatiyah akan ada di mana-mana dan samar identitas kultur keagamaannya, jiwa ini menghasilkan banyak sekali para wali mastur, ia bisa menjadi tukang sapu, pegiat partai, orang kaya, pejabat, pilot, atau ahli nuklir. Orang-orang intelek malamatiyah bisa jadi secara lahir disangkakan orang sebagai orang Muhammadiyah atau abangan.
Tukang Ngopi
Hadirnya jiwa malamatiyah dalam kultur NU ini bisa saja menjadikan klaim:
"Silahkan kau ambil rumah sakit dan sekolah, tapi selain itu seluruh yang tak memiliki afiliasi langsung dengan Islam adalah punya kami."
Senangnya keadaan itu, Islam seolah menghidupkan seluruh sendi kehidupan. Tidak senangnya, mereka yang bersembunyi itu sedang apa dalam keadaan Indonesia yang seperti sekarang ini?
Ciri orang malamati itu tukang ngopi. Ia seperti ahli hadits yang selalu mempertemukan berbagai bukti sosial dengan bukti sosial lain. Menganalisa dan mengeksekusi suatu aksi (bukan demontrasi, tapi lebih ke taktik dan strategi). Jika jumlah orang malamati elit belum banyak dari malamati kalangan bawah, iya bisa jadi keadaan mental suatu bangsa belum banyak berubah. Lagi pula belum ada bukti dan penelitian gerakan malamati itu benar-benar bisa membawa perubahan budaya. Tapi dari sisi mereka yang tersembunyi sepertinya gerakan ini efektif mengubah mental manusia modern.
Bahkan ada suatu majelis tarekat mengatakan dari rahim malamati inilah sang Ratu Adil Al Mahdi akan dilahirkan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar