Minggu, 09 Maret 2025

ESAI SASTRA

Burung Dara Opsir Pasar dan Suhrawardi

M. Taufan Musonip



Lukisan dari Web Amazing Art
Eleanor Johnson


"Burung tak lagi dijadikan objek simbolitas pergerakan spiritual. Tapi hanya sebagai "simbol yang menandakan", Pak Opsir Pasar yang mencintai burung dara yang nakal itu mengusir para pedagang keluar pagar dan menciptakan pasar dan Bank Pasar swasta. Sufisme di tangan Kuntowijoyo dibenturkan dengan kapitalisme.

 

Burung selalu dijadikan simbol oleh para wali-wali sufi untuk menggambarkan jiwa yang sedang mengalami peningkatan ruhaniah. Mereka menjadi ahli menulis sastra karena pengalaman ruhaniah membuat mereka harus menuliskannya dengan berbagai analogi yang dianyam dari isyarat dan simbol. Tanpa keahlian itu pembaca takkan merasakan indahnya keadaan fana' yang pada kenyataannya terjadi saat si pengarang mengalami perasaan terbakar dalam peleburan penyaksian terhadap Yang Disaksikan. 

Saya meyakini, setiap pengarang berstatus wali sufi itu menulis karyanya berdasarkan pengalam fana', sebagian besar dari mereka kalau tidak guru mursyid, adalah para murid yang mengalami ekstase sungguhan. Bukan menyalin kalam-kalam agama dalam bentuk karya sastra. Karya sastra mereka, benar-benar genuine karya sastra sufi. Orang yang mematut-matut menulis karya sastra bernuansa sufi tanpa mengalami ekstase sungguhan ditambah sepi pemhaman akan kesufian (ilmu tasawuf) akan terasa gersang, kering dari makna teologi, dan hanya tersedia serpihan-serpihan kalam yang bisa berbahaya, dalam rasa keakuan yang tinggi, misalnya mudah menyatakan wahdatul wujud, dan mewujudkan hulul dalam jiwa penulisannya. Padahal ia baru selesai membaca puisi Al Hallaj sudah begitu dia membacanya hanya dalam suatu esai. Belum teruji membaca banyak referensi tentang sufisme. Belum mempunyai rasa penasaran ingin menyelami dunia sufi yang lebih real. Yaitu benar-benar mencari komunitas tarekat.

Jika benar-benar belum merasakan mabuk dalam lautan dzikir, tidak ada karya sastra sufi, dan penulisnya pun tidak boleh langsung mengatakan "aku penulis sastra sufi", tapi kalau berkata "aku peminat kehidupan sufi," lalu dia menulis novel seperti Kuntowijoyo menulis Novel Pasar, itu lebih baik. Karenanya dalam berbagai kesempatan misalnya Abdul Hadi WM, hanya menyiratkan Sastra Sufi sebagai kelas karya sastra klasik. Sastra setelahnya hanya bisa disebut sastra profetik.

Orang Cendikiawan

Kadang antara profetik dan istilah sastra sufi ini kerap tumpang tindih pula. Apakah profetik itu pendamai antara modernitas dan sufisme? Orang cendikiawan yang memahami sufisme yang menulis karya sastra tentangnya minus pengalaman ekstase. Tapi kadangkala sastra profetik membicarakan pula seluruh kehidupan sastra bernuansa religi minus pengarang A dan B, padahal mereka pengarang sastra religius pula.

Adalagi sastra pesantren, apakah ini benar-benar sudah mencitrakan diri sepenuhnya sebagai kesusastraan Sufi? Saya rasa belum berani juga kita mengatakan begitu.

Kuntowijoyo dan Abdul Hadi WM adalah pemerhati yang memiliki ketertarikan akan kehidupan sastra sufi. Kuntowijoyo lebih banyak menulis novel sedangkan Abdul Hadi WM menulis Puisi. Keduanya aktif juga menulis karangan ilmiah, tapi dari keduanya pula, belum muncul kesadaran bahwa sufisme itu modernitas itu sendiri. Sufisme itu masih ada, dengan tidak hanya menyebut Hamzah Fansuri sebagai Mursyid Tarekat Qodiriyah.

Tapi bagaimanapun kita bersyukur keduanya telah mengurai jejak-jejak sastra sufi, terhentinya sastra sufi sebatas karya klasik, karena kelompok tarekat sendiri sudah jarang sekali menulis karya sastra. Belakangan para Mursyid hanya berani menulis karya Esai, lebih aman. Karena karya sastra sufi sering disalah pahami sebagai karya ilmiah semata, sebagian mereka menjadi korban hukuman mati. 

Kuntowijoyo mengambil peran sebagai pelanjut sastra sufi itu, dengan jas modernitasnya justru ia disebut sebagai perintis jalan sastra profetik. Dengan obor profetik ia bebas menulis apapun tentang sastra bernuansa religi, dua bukunya Wasripin dan Satinah dan Pasar bernuansa sufisme. Ia bebas membenturkan sufisme dengan modernitas

Burung tak lagi dijadikan objek simbolitas pergerakan spiritual. Tapi hanya sebagai "simbol yang menandakan", Pak Opsir Pasar yang mencintai burung dara yang nakal itu mengusir para pedagang keluar pagar dan menciptakan pasar dan Bank Pasar swasta. Sufisme di tangan Kuntowijoyo dibenturkan dengan kapitalisme.

Pesuluk

Diri Pak Opsir sendiri oleh Kuntowijoyo dipenuhi oleh karakter-karakter pesuluk yang mengalami kenaikan-kenaikan spiritual, dan akhirnya menjadi guru mursyid bagi bawahannya, menjadikan bawahannya mirip benar seperti dirinya baik dalam hal memimpin atau capaian religiusitasnya.

Burung dara kepunyaan Pak Opsir ini bukan burung Simurgh seperti gambaran pencapaian spiritual dalam Musyawarah Burung-nya Attar tapi bisa jadi merupakan burung yang terjerat rantai dari jebakan sangkar yang pintunya terbuka di dalam cerita Hikayat Burung-burungnya Syech Al Isyraq, di mana selompok burung terbang menuju eksistensi Raja di Raja kehidupan, di mana Suhrawardi menggambarkannya sebagai Raja yang keindahan Istananya tak dapat tersentuh oleh eksistensi-buruk. Burung-burung itu mengeluhkan kakinya yang masih merasa terpenjara meski dirinya telah berhasil menempuh perjalanan jauh. Sang raja menitahkan burung-burung itu kembali dengan dikawal orang yang mungkin bisa membebaskan mereka dari jeratan para pemburu. Karenanya burung-burung Dara Opsir Pasar menjadikan pasar mengalami nihilisme, dan karenanya terjadi proses nihilisme juga dalam diri Pak Opsir. Nihilisme ini titik tolak perjalanan suatu suluk.

Kuntowijoyo dan Suhrawardi merupakan cendikiawan Islam. Keduanya filsuf. Tapi Suhrawardi masuk ke dalam kelompok Tarekat. Kuntowijoyo? (Saya merasa Kuntowijoyo bukan sekadar pengamat kehidupan tarekat dalam masyarakat Indonesia, dia juga pegiat dan pengamal tarekat).

Kuntowijoyo dan Suhrawardi dua filsuf yang meyakini kebebasan adalah rasa terpenjara akan kebenaran yang bisa membebaskan manusia dari sangkar tipu daya dunia. Seperti halnya Muhammad Iqbal, sufisme konkret dalam menghadapi penindasan. Akan tetap itu dia, sufisme kini bermutasi dalam istilah Pemikiran Profetik tadi. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar