Minggu, 16 Februari 2025

ESAI


Peradaban Kaum Sufi Melahirkan Ilmu

M. Taufan Musonip


 

Lukisan Karya Marc Chagall (1964)

Seharusnya kalau telah berhasil mendatangi wali Allah, yang membimbing jiwa kemanusiaanmu, anda akan lebih mencintai ilmu. Tidak ada wali Allah yang lahir tanpa ilmu. 


"Tuntutlah ilmu sampai liang lahat."
Nabi SAW.  Hadits tsb. memberikan peringatan kepada umat Islam untuk selalu belajar.

Jika belajar menjadi kebiasaan, umat Islam akan unggul baik dunia maupun akhirat. Belajar memperketat diri dari hal-hal yang mubah. Ini salah satu bagian penting dari perjalanan suluk pula. 

Pahala belajar agama keruwetannya sama dengan sehari puasa, sedangkan menciptakan sekali waktu belajar dalam sehari bisa sebanding dengan seribu hari beribadah. Belajar agama memungkinkan belajar ilmu-ilmu dunia. Jika sebaliknya memerlukan hidayah untuk sampai kepada ilmu agama.

Semangat menimba ilmu memerlukan adab bertemunya guru dan murid. Maka lestarinya ilmu ditandai lahirnya peradaban. Adab dibentuk oleh kebiasaan berdzikir.  Seringnya berdzikir membuat kita tahu sisi-sisi keterbatasan kita. Bukan sebaliknya. Maka peradaban itu sering gagal karena mistik Islam tidak sejajar dengan keilmuan. Orang kerap bangga jika berhasil menemui seorang tokoh sufi tertentu, mengalami pengalaman spiritual tertentu. Lalu mengabaikan pentingnya majelis ilmu. Hati yang bersih adalah hati yang selalu mendorong pikirannya untuk diaktifkan, ia mendatangi majelis ilmu, lalu membangun masyarakat untuk menghadirkan Allah. Ini girah kaum sufi.

Transenden

Seharusnya kalau telah berhasil mendatangi wali Allah, yang membimbing jiwa kemanusiaanmu, anda akan lebih mencintai ilmu. Tidak ada wali Allah yang lahir tanpa ilmu. 

Di Pagentongan makam Mama Falak dikelilingi pesantren salaf, pesantrennya menjamur di tiap gang-gang. Gus Miek lahir dari tradisi pesantren salaf Al Falah Ploso. Lain cerita dengan Abah Anom Ra. Bukti kewaliannya ia bangun banyak sekolah modern, Inabah dan kampus. Pesantren Suryalaya ini tidak anti modernitas, karena  ada kalangan inteleknya. Banyak buku bacaan tentang tarekat dan modernitas menjamur di sana, penulis-penulis produktif diantaranya Asep Salahudin  penulis buku Sufisme Sunda, Ajid Tohir yang menulis buku Gerakan Politik Kaum Tarekat, Cecep Alba yang menulis buku Tasawuf dan Tarekat.

Dari kalangan alim juga ada yang menulis penerjemahan Sirrul Asror Al Jilani yaitu KH Zezen Zaenal Ba. 

Peradaban tanpa ilmu hanya melahirkan mitos. Mitos itu lahir dari rasa malas, anti tauhid, sudah tahu sesuatu yang lahir di dunia itu transenden ( Al Hudust), dan manusia adalah khalifah Allah untuk menciptakan pembaruan-pembaruan yang pada dasarnya bersumber dari Wahyu Al Qur'an, tapi kita hanya merasa cukup dengan pencapaian-pencapaian spiritual. Dan rasa malas adalah bagian dari kesombongan. Peradaban tak mengenal kesombongan.

Dzu An-nun
Dalam Tanbihul Ghofilin dikatakan, bukan hanya gerak dzikir yang akan melahirkan karomat -dalam tarekat gerak dzikir melahirkan karomat Guru Mursyid- tapi juga majelis ilmu. Ilmu masih alat sihir paling ampuh untuk mempengaruhi manusia, ilmu yang dilahirkan dari orang yang dawam dzikir sudah pasti ilmunya akan bermanfaat.

Dalam satu anekdot Dzu An-nun pernah kelihatan seorang sultan sedang berakrab ria dengan seseorang dengan berpelukan bergandeng tangan dan makan bersama. Saat ditanya siapa seseorang yang sedang bersama dengannya, Dzu An-Nun menjawab: aku tidak mengenalnya. Lalu untuk apa engkau berakrab dengannya? Ia datang dari Allah untukku. Sang Sultan mengambil pelajaran, dan tergerak mendirikan Khanaqah untuk perkumpulan kaum sufi, dari sini tradisi dan keilmuan sufi berkembang sampai sekarang.*







Tidak ada komentar:

Posting Komentar